Setelah pelajaran pertama berakhir, Rindu dan Erika antusias keluar dari kelas. Di belakangnya ada Gavin dan Andra yang berperan sebagai bodyguard.
Mereka mulai di kenal sebagai geng yang tak terpisahkan.
"Ehm, ntar di traktir apa, ya? Eh kalau kita makan-makan, sore nanti nggak jadi nonton dong," ucap Erika.
Semuanya menoleh ke Gavin.
"Nggak dong, tetep nonton." Pemuda itu tersenyum, dia melirik Rindu yang tampak malu-malu.
"Janji, ya," seru Erika.
"Iya,"
Mereka berjalan menuju ke kantin, di depan sana the geng Zeana juga menuju ke tempat yang sama. Rindu dan Erika memilih tempat biasa.
"Mau pesan apa," tanya Gavin.
Rindu dan Erika tampak berpikir.
"Aku mau bakso," seru Erika. Rindu ikut menyahut lalu memesan hal yang sama.
"Aku juga!"
Gavin menaikkan kedua jempolnya.
"Ndra, lu mau pesan apa?" tanya Gavin.
"Nasi uduk deh, minumnya terserah."
"Oke."
Gavin pun bergegas untuk menuju stand bu Siti.
Tanpa sengaja, saat melewati meja milik The Geng Zeana, Gavin mendengarkan mereka mengobrol.
"Gimana keadaan Zeana, ya? Kata bu guru dia sakit, makanya nggak masuk sekolah. Duh, gue jadi nggak enak. Apalagi kita ninggalin dia sendirian kemarin. Belum ngebentak-bentak."
Gavin mendengarkan dengan serius.
"Kita ngebentak dia juga demi kebaikannya, kalau dia sakit gini ya mau gimana lagi? Kita jenguk aja pas pulang sekolah," ucap Tasya.
"Ide bagus. Ada -ada aja sih. Mana udah mau semester."
Gavin memesan makanannya dengan menulis di atas kertas untuk bu Siti. Dia mengambil beberapa botol minuman dan kembali ke mejanya.
"Lama banget, Vin," tegur Andra.
"Iya, biasa ngantri. Nih minum dulu."
Erika dan Andra menyambut botol minuman yang di berikan.
"Ada apa? Kok mukanya bete." Gavin tertegun saat Rindu bertanya.
"Bu Siti lama, gue udah laper."
Semua orang tertawa mendengar itu.
"Sabar dong, yang pesan kan bukan cuman kita."
Gavin kembali melamun, dia memikirkan tentang Zeana dan juga Devon. Gavin takut, abangnya akan kembali peduli pada gadis itu. Meski dia tahu pasti tentang kebenarannya. Zeana sangat lihai bersandiwara.
"Woi, Bro. Lo melamun lagi, lu kalau ada masalah mending cerita deh sama kita." Andra lama-lama gemas melihatnya.
"Ngawur lu!"
Beberapa menit kemudian.
Makanan datang, Gavin tampak senang menyambut mie ayam yang telah di pesannya.
"Selamat makan," seru semua orang.
Rindu menikmati makanannya dengan tenang, tanpa dia sadari. Gavin sesekali mencuri pandang padanya.
"Em, enak ya. Makanan yang di traktir memang jauh lebih nikmat dari apapun," seru Andra.
"Dasar, lo! Antara nyanjung apa nyindir gua nggak tahu dah."
"Nyanjung dong, Bro."
Erika dan Rindu hanya tersenyum menatap mereka.
"Makan aja sih, jangan buat Gavin bad mood," ucap Erika mengingatkan.
"Nah, denger tuh. Oh iya, pulang sekolah langsung berangkat kan?"
Erika dan Andra mengangguk tapi tidak dengan Rindu.
"Lo kenapa? Nggak mau pergi?" Gavin menatapnya lekat.
"Bukan, jadi begini." Rindu merasa ragu untuk bicara. Gadis itu meletakkan sendoknya dan menatap Gavin.
"Em, mama mau aku pulang dulu. Ganti baju dan makan siang. Mama aku orangnya khawatiran, jadi gitu deh."
"Oh, ya udah. Kita pulang ke rumah dulu nggak masalah," seru Erika.
Rindu tampak bimbang.
"Lo yakin hanya itu?" cecar Gavin.
Rindu tertunduk sejenak.
"Eh, begini sebenarnya. Mama mau ketemu kalian. Mama penasaran siapa aja temen yang selama ini bareng aku."
Andra dan Erika tertegun.
"Wow. Nyokab lo perhatian banget,"
Rindu merasa tidak enak.
"Ya udah, ntar gua antar pulang." Potong Gavin.
Gadis itu mengerjap beberapa kali memastikan apa yang dia dengar bukanlah halusinasi.
"Biasanya orangtua tuh lega ngizinin anak ceweknya keluar kalau di jemput temen cewenya. Erika aja yang jemput," usul Andra.
Rindu menatap mereka bergantian.
"Nggak, biar gua yang jemput. Sekalian mau kenalan sama mamanya."
"Cie, ehm!" Andra dan Erika menggoda Gavin.
Pemuda itu tampak santai dan melahap makanannya. Selesai makan siang, mereka berpencar. Gavin membayar semuanya dan cabut lebih dulu.
"Bro, gua keluar dulu ya, mau main futsal."
Andra mengernyit.
"Awas muntah lo! Baru juga kenyang."
Gavin tersenyum.
"Nggak akan, kan gua jagoannya gimana sih lo!"
"Ya dia kepedean."
Gavin meninggalkan kantin, pemuda itu menuju ke lapangan dan duduk di tepi lapangan. Siswa lain sedang main bola di depan sana. Dia hanya menatapnya dari jauh tanpa beranjak dari tempatnya.
Gavin sebenarnya bingung, dia memikirkan bagaimana caranya agar bisa mengesankan mama Rindu di hari pertama mereka bertemu.
"Duh, gua kayak berandalan nggak ya? Nyokabnya Rindu perfectionis nggak ya." Pikiran itu terus berputar di kepalanya.
"Hey, katanya mau main futsal. Udah aku beliin minum nih," Rindu duduk di sampingnya sembari menyerahkan minuman tadi.
"Tiba-tiba nggak mood."
"Kenapa? Cuacanya nggak begitu panas?"
Gavin termangu, tidak mungkin dia mengatakan semuanya pada gadis itu.
"Em, biasanya kalau temen lo mampir. Nyokab lo berkomentar apa, Ndu?"
Pertanyaan itu membuat Rindu terpaku. Raut wajahnya berubah dan Gavin mendapatinya sedang melamun.
"Ya dia bengong, hey gua nanya?"
Rindu bangkit dan berjalan menjauh.
"Eh, mau kemana?"
Rindu tahu jika permintaannya barusan sangat membebani semua temannya termasuk Gavin.
Pemuda itu mengikutinya dari belakang, Rindu berhenti di taman lalu menoleh melihat siswa yang lain.
"Tidak ada."
Gavin mengernyit.
"Apa yang tidak ada?" Rindu yang kini duduk mendongak melihat pemuda itu.
"Tidak ada yang pernah datang ke rumahku. Aku tak pernah memiliki teman sebelumnya."
Deg.
Pengakuan itu terdengar miris.
Gavin duduk tepat di sampingnya.
"Lo bercanda, ya?"
Rindu menggeleng. Dia duduk dengan tegak lalu memperlihatkan namanya.
"Ingat waktu kita pertama bertemu? Aku memintamu memanggilku dengan nama Sanjana," tunjuknya.
Gavin mengangguk, bagaimana bisa dia lupa hari itu.
"Nama Rindu pernah jadi boomerang bagiku. Semua teman meledeki namaku. Seolah namaku aneh."
"Gua nggak ngerti, dimana letak keanehannya? Rindu itu nama yang cantik. Bagus, lo nggak akan ngeh saat orang lain benar-benar merindukan lo atau nggak."
"Maksudnya?"
"Rindu, gua- "
Rindu menatapnya lekat.
"Kenapa?" tanyanya gemas.
"Akankah lo merindukan gua suatu saat nanti?"
Rindu merasa lelaki itu menjahilihnya.
"Kita bertemu setiap hari, Vin. Itu pertanyaan yang lucu. Emang kamu pernah merindukan aku, nggak kan?"
"Lo salah, gua sering malah."
Rindu terperangah mendengarnya.
"Kita kan bertemu setiap hari, kamu jangan aneh-aneh. Nggak ada yang akan percaya!"
"Suatu saat kita mungkin terpisah, nggak mungkin kan bakal sama-sama terus."
"Udah ah, omongannya nggak berbobot."
Rindu pergi dari taman dan menuju ke kelas. Bukan tanpa sebab Gavin mengatakan demikian. Dia takut Devon benar-benar akan berangkat ke Singapore menyusul orangtua mereka. Jika itu terjadi, mau tidak mau dia juga akan menyusul.
Langit semakin gelap tapi tidak ada tanda akan menumpahkan hujan di baliknya. Sepertinya hati pemuda itu. Dia galau tanpa alasan yang jelas.
Waktu berlalu dengan cepat.
Ting ting ting ting.
Lonceng berbunyi terdengar, waktunya pulang.
Erika dan Andra memutuskan untuk kembali ke rumah. Mereka harus menunggu kabar dari Rindu untuk memastikan hari ini jadi nonton atau nggak.
"Kita cabut duluan," ucap Andra.
Gavin mengangguk. Kelas mulai sepi dan Rindu baru selesai dengan catatannya.
"Sini gua bawain," ucap lelaki itu.
"Nggak perlu, aku bisa kok."
Gavin tetap memaksa. Tas Rindu di selempang di bagian depan. Gavin terlihat seperti orang aneh.
"Hey, kau mau jualan tas ya? Sini kembalikan!"
Gavin mengnggam tangannya dan membawanya ke parkiran.
"Pulang bareng, kita naik motor aja. Jadi bisa langsung cabut."
"Nggak ah, ntar roknya terbang. Lagian bapak supir udah sampai."
Gavin sedikit kesal.
"Naik nggak, kalau nggak aku nggak jadi ke rumah kamu."
Rindu Menghela napas panjang.
"Tetapi, janji nggak ngebut ya!"
Gavin mengangguk dengan seringai aneh.
"Awas aja, kalau kamu nakal. Aku nggak bakal naik ke boncengan ini lagi, nggak akan!"
"Iya, iya bawel. Cerewet banget sih kayak petasan."
"Gavin!"
"Iya, tuan putri."
Mang Khaidir tersenyum menertawai mereka. Rindu duduk di belakang. Dia merasa sedikit risih.
"Pegangan!"
"Ogah."
Gavin menoleh menatap gadis itu.
"Lo mau jatoh?"
"Makanya jangan ngebut!"
"Iya, tapi lu harus mesti pegangan ama gua. Kenapa sih? Risih! Kan udah gua ganjel pakai tas."
Rindu menghela napas kasar.
"Iya, iya! Nih, puas!"
Gavin tersenyum. Rindu benar-benar memegang pinggangnya.
"Berangkat ke rumah Rindu!" teriak Gavin lantang.
"Norak! Apa-apaan sih?"
"Biarin."
Motor melaju meninggalkan sekolah, Gavin tampak happy mengemudikan kuda besinya.
"Nyokab lo suka kue tart nggak?" tanya Gavin di tengah perjalanan.
"Suka, emang kenapa?"
Melewati toko kue, Gavin langsung berhenti dan mengajak Rindu turun dari motor.
"Kamu ngapain singgah di sini. Emang ada yang ulang tahun?"
"Turun aja sih, bawel banget."
Rindu menurut seperti anak kecil. Dia mengikuti Gavin hingga ke dalam toko. Berbagai macam kue tersaji di dalam etalase. Gavin menatapnya satu per satu.
"Lo milih yang mana? tanya pemuda itu.
"Kok, aku. Aku nggak mau beli kue, Vin."
"Bukan buat lo, tapi buat nyokap lo. Beliau suka rasa apa? Lo kan anaknya, pasti tahu kue kesukaannya."
Rindu kini mengerti.
"Kue itu aja, mama suka rasa jeruk dan vanilla pasti suka yang itu."
"Omongan lo terdengar kurang meyakinkan. Emang biasanya kalau lo makan kue bareng keluarga rasa apa?"
"Coklat, aku dan papa suka cokelat."
Gavin mengangguk paham.
"Oke, tunggu di luar."
Rindu mengernyit, dia tegiur dengan kue tart yang begitu menggoda di dalam etalase.
"Sana!" usir Gavin.
"Iya, iya!"
Tak lama lelaki itu keluar menenteng tiga kotak kue sekaligus. Ekspresi Rindu begitu terkejut.
"Kok banyak banget?"
"Terserah gue bawel. Pegang. Buruan, entar kita telat lagi."
"Kau keterlaluan. Ini kebanyakan."
Gavin tahu Rindu menyukai salah satu kue yang tersaji, bentuknya lucu dan gadis itu menatapnya seolah sedang jatuh cinta.
"Semoga nyokab lo suka ya,"
"Pasti suka, jangan mikir yang enggak-enggak."