Chapter 44 Bucinnya Gavin

1008 Kata
Hari ini hari libur, Gavin sengaja bangun kesiangan karena tidak memiliki agenda apapun. Sarapan telah tersaji di atas meja, bibi memasuki kamarnya lalu menyingkap tirai agar sinar matahai memasuki ruangan. Sreet. "Ah, bibi ini apa-apaan," gumamnya. Gavin berusaha melindungi matanya dan tertelungkup. "Bangun, Den. Hari minggu bukannya olahraga. Anak tetangga aja udah keliling komplek sampai tiga kali loh. Malu sama ayam jago." Gavin mengeryit. "Bibi ngomong apaan sih, ganggu aja. Sana keluar, olahraga kok di paksa. Sana bibi aja yang olahraga biar sehat." Bi Ira tertegun. "Kok bibi sih? Bibi kan udah punya keluarga, Den. Aden tuh, udah jomblo masih tiduran aja di siang bolong. Pantes nggak ada yang mau." Slet. Netra Gavin terbuka sempurna. "Bibi bilang apa barusan?" ucapnya dengan sorot mata tak terjabarkan. Bi Ira jadi kelabakan, tak di sangka Gavin benar-benar bangun. "Anu, Den. Mang Salim ngajakin den Gavin lari-lari di sekitar komplek, kasihan kan dia. Ngaku sebagai orang tampan tapi sampai usia setua ini belum juga menikah." Gavin meringis mendengar kata keluar dari mulut ART nya itu. Bi Ira mendadak ngeselin membuat moodnya berantakan. "Kalau begitu saja permisi ya Den." Wanita tua itu langsung cabut meninggalkan kamar majikannya. Gavin meremas pelan rambutnya, pintu telah tertutup rapat dan moodnya ambyar begitu saja. "Masih pagi juga, tumben si Bibi rajin banget sampai masuk ke kamar, ah, membuyarkan mimpi indah gua aja." Gavin menggapai ponselnya dengan malas, tidak ada pesan apapun sama sekali dari Rindu meski dia sudah meminta kekasihnya untuk saling berkabar. "Hah, sepertinya harus aku yang duluan bergerak." Gavin masuk ke aplikasi berwarna hijau dan merekam video saat dia baru bangun. [Selamat pagi, apa mimpimu indah? Kah tidak mengirimkan pesan apapun kepadaku. Aku menunggunya semalaman.] Gavin melihat isi pesan itu. Sesaat dia berpikir. "Yaak, mengapa terlihat begitu lebai." Gavin akan menghapusnya namun naasnya dia tidak sengaja menyentuh tombol send berbentuk segi tiga persis ujung panah. "Ah, malah terkirim. Aku harus menghapusnya." Gavin berusaha membuka tapi di ujung sana Rindu sudah melihatnya. Video sudah tak bisa di hapus untuk Rindu. "Ah ngeselin banget." Gavin menutupi wajahnya dengan selimut. Tring. Notif balasan masuk ke ponselnya. Gavin menyibak selimut dan bangun di tempatnya. Rindu mengirimkan video balasan. Isinya tayangan laut bergulung, Gavin menautkan alis. "Dia dimana sepagi ini?" Tak lama, terlihat Mama Asyla- Mama Rindu melambai bersama suaminya. [Pagi, Vin. Ah maafkan aku, semalam mama dan papa ngajakin ngobrol terus aku lupa dan ketiduran. Pagi ini karena buru-buru aku juga tidak sempat mengirimkan pesan balasan. Hehe, selamat hari libur.] Gavin melotot di tempatnya. "What!" Tak tanggung-tanggung dia langsung menelpon. Rindu keluar tanpa mengajaknya. Meski itu acara keluarga dia merasa hal itu juga penting baginya. Telepon berdering, panggilan tersambung tapi Rindu tidak mengankatnya. "Kok nggak di angkat sih, Ndu." Gavin mencoba lagi, kali ini panggilannya di angkat oleh Rindu. [Hallo.] [Hallo, kau dari mana saja. Dan, sekarang kau dimana aku akan menyusulmu.] Rindu terbelalak mendengar pengakuannya. "Vin, jangan aneh-aneh deh. Ini aku sama mama papa sedang di pantai mau nyoba sate baby gurita." Gavin kini mengerti. "Oke, aku akan segera kesana." Gavin memutuskan panggilannya begitu saja. Rindu tampak dongkol, dia merasa Gavin terlalu mengekang. Lelaki itu segera ke kamar mandi dan bersiap. Tidak menunggu waktu lama untuk menyelesaikan ritual paginya. Air yang dingin pun di abaikan begitu saja. Sepuluh menit kemudian, dia menuruni tangga dengan tergesa-gesa, bibi yang melihatnya memperhatikan penampilan majikannya itu. "Den, mau kemana? Sudah sangat terlambat untuk olahraga pagi." Gavin meliriknya namun tidak membocorkan kemana tujuannya. "Den, di ajak ngobrol kok diam?" Bi Ira mengikutinya hingga keluar rumah. "Aku ada urusan penting, Bi. Jangan di tunggu, bye!" Gavin segera naik ke kuda besinya, dia tak menggunakan mobil karena Rindu datang bersama orangtuanya. Pip. Piip. Pip. Pip. Piiiip. Suara klakson mengagetkan mang Salim di pos, lelaki tua itu segera bangun dan membukakan pintu pagar. Gavin memakai helm besarnya dan melaju meninggalkan rumah. Harinya sedikit menjadi lebih sibuk saat dia resmi memenangkan hati Rindu. Entah apa, Gavin cemburuan atau terlalu bucin. Tapi, dia tak mau Rindu keluar di tempat umum tanpa kehadirannya. Dua puluh menit berlalu dan dia memasuki kawasan pantai, macet dan skil nyalinya teruji saat dia harus melewati setiap celah yang ada. Gavin langsung memarkirkan motornya, membuka helm dan membeli karcis. Dengan langkah terburu-buru memasuki tempat wisata itu. Gavin tak menemukan Rindu, dia sampai menoleh ke kanan dan ke kiri berulang kali. "Dimana dia? Apa mungkin dia sedang mengantri membeli sate," tebaknya. Gavin berjalan maju, sembari memperhatikan ke sekeliling. Ponselnya berdering saat dia melangkah mencari kekasihnya. Telepon masuk dari Rindu, saat yang tepat dan Gavin langsung mengangkatnya. [Hallo, kau dimana?] tanyanya to the point. Tidak ada suara di ujung sana, Rindu diam-diam memperhatikan lelaki itu dari jauh. [Rindu, kau dengar aku?] Rindu masih enggan menyahut, jantungnya berdetak aneh. Dia telah biasa di samperi oleh sahabatnya itu namun getaran ini berbeda, tak kasat mata tapi sukses membuatnya gugup seketika. [Oh, kamu mau ngerjain aku ya! Oke. Aku hitung sampai tiga, jika kamu tidak keluar juga maka aku akan berteriak keras memanggil namamu.] Rindu semakin nervous, dia menutup mulutnya untuk tidak bersuara. [Satu ...] Gavin curiga gadis itu tengah memperhatikannya. [Dua ...] Rindu memilih diam. Orangtuanya berada jauh menggelar tikar. Rindu merasa aman dan tidak peduli dengan kegilaan Gavin. [Tiga ...] Rindu menutup mata bersiap mendengar suara Gavin memanggil namanya. [Tertangkap kau!] Wajahnya berubah pias. Gavin memeluknya dari belakang, Rindu terkesiap sedang Gavin tersenyum merekah. Wajah tampannya terlihat berbinar. "Gavin, kok kamu bisa?" Gavin menunjuk penjual kacang yang tengah berteriak dari tadi. "Kacang!" "Kacang hangat, silahkan!" Rindu meringis. "Kau memang tidak bersuara, tapi penjual itu tak berhenti berteriak." Rindu menepuk jidatnya. "Astaga! Penjual ini." Gavin menggengam tangan Rindu gemas. "Lagi pula kamu ini apa-apaan, berani sekali pergi tapi nggak ngabarin." Rindu mendelik. "Memangnya kau siapa? Kau bisa menentang mama dan papaku. Dasar!" Rindu berjalan lebih cepat. "Eh bukan begitu, tapi kan apa salahnya berkabar." "Ngapain, kamu keluar hang out belum tentu ngomong dulu sama aku, iya kan?" Rindu terus menentangnya. Gavin menghela napas di buatnya. "Baiklah, Tuan Putri. Aku janji, kapan saja dan dimana saja aku pergi, aku akan selalu ngabarin kamu, puas!" tekannya. Rindu mengulum senyum. "Oke,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN