Chapter 64 pembicaraan Andra dan Gavin

1094 Kata
Rindu galau dengan perasaannya, hubungan dengan Gavin tak memiliki kepastian, semuanya menguar begitu saja. Perlahan dia tersingkirkan, membuat hatinya patah. Erika dan Andra sahabat Rindu senantiasa menemani, mereka sudah tahu kejadian sebenarnya. Karena melihat Rindu selalu murung, Andra coba menghubungi Gavin dan jawabannya luar biasa membuat mereka memutuskan untuk melindungi Rindu. Sore itu saat mereka menuju ke rumah Rindu. "Beb, sebaiknya kamu telepon Gavin, deh. Kasihan kan Rindu belakangan ini aku lihat nggak bersemangat gitu," pinta Erika. "Iya ya, udah lama juga sih, kita nggak nelpon Gavin. Ya udah deh, aku coba." Tanpa ragu Andra langsung menyanggupinya. Dia mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi Gavin di seberang sana. Telepon tersambung, Andra dan Erika saling menatap, Andra sengaja meloudspeker panggilan itu agar Erika juga bisa mendengarkan suara Gavin. [Hmm, halo] ucap Gavin tak bersemangat di ujung sana. [Hey, Bro. Ini gua, Andra.] [Ya, ada apa?] tanyanya dingin. Nada suaranya terdengar ketus, Erika dan Andra saling menatap sekali lagi. [Lo, sibuk enggak? Gua mau ngobrol sebentar.] [Ya, lo tahu kan, gua lelaki cacat. Tentu saja gua sibuk.] Deg. Andra terkesiap, sungguh bukan jawaban itu yang diharapkannya. [Vin,] [Katakan saja, sorry gua mau istirahat.] Erika menatap Andra yang seolah kehilangan minat untuk bicara, dia tak mau kekasihnya itu mematikan panggilan sebelum mengatakan pertanyaan yang penting. Erika memberinya bahasa isyarat yang langsung di pahami oleh Andra. [Baiklah, gua sebenarnya cuman mau nanya ini. Gavin apa lo akan pulang ke Indonesia? Kita kangen sama lo, apalagi Rindu. Lo nggak tahukan, jika akhir-akhir ini Rindu sering melamun.] [Gua enggak pulang, lagi pula gua nggak peduli dengan Rindu, jadi nggak usah repot ngabarin ke gua.] [Vin, lo kenapa sih!] bentak Andra. Dia tak suka mendengar sahabatnya itu berkata demikian. [Ya, lo yang kenapa?] balas Gavin tak kalah sengit. [Oh jadi gua ngerti sekarang. Rindu seperti ini pasti karena lo abaikan kan? Jawab!] [Bukan urusan lo!] [Jahat lo Vind, lo nggak tahu gimana Rindu di sini. Gimana dia berdoa agar lo segera pulang.] Gavin terkeke mendengarnya. [Bukannya bagus ya, dia bisa jalan ke sana sini dan nempel ke cowok lain.] Erika dan Andra mengerutkan kening. [Lo, bicara apa sih? Jangan bicara yang tidak-tidak.] Andra merasa ada yang salah. [Alah, gua tahu semuanya. Kalian mendukung dia kan, apa karena gue udah cacat? Apa karena gua udah nggak bisa jalan, jadi kalian serasa bisa bohongin gua, iya?] [Ngacoh lo, Vin. Otak lo bener-bener geser, ingatan lo belum pulih, tapi mulut lo nggak bisa jaga etika. Gua kecewa sama lo. Kalau lo nggak percaya sama Rindu, baiknya putusin dia baik-baik. Dia pantas bahagia dan nggak perlu nungguin cowok b******k kayak lo.] Erika terkejut mendengar itu. [Diem lo! Jangan memutar keadaan dan menganggap gua yang paling b******k. Nggak usah sok baik sama gua dan untuk Rindu, ya dia bebas. Silahkan cari cowok yang bisa antar jemput dia.] [Lo gila, ya? Bareng lo aja selama ini dia masih menggunakan jasa supir, Vin. Dia bukan tipe cewek yang seperti itu.] [Sorry, gue nggak ada waktu.] Tut tut tut telepon dimatikan begitu saja. [Vin, dengar dulu. Ach!] Andra terbawa emosi. "Sudahlah, biarkan saja dia. Kasihan Rindu berharap pada Gavin terus, ternyata dia hanya pecundang yang tak perlu di tunggu." Andra menatap Erika. "Lalu bagaimana sekarang?" "Entahlah, kita nggak mungkin meminta Rindu melepaskan Gavin secara terang-terangan, ayo pergi." Di perjalanan menuju ke rumah Rindu, Andra dan Erika justru menemukan gadis itu di taman. "Ndra itu dia, ya udah parkir di sini aja, aku akan kesana dan kamu beli jajanan ya." "Siap, Bos." Sejauh ini, hanya Andra dan Erika yang selalu ada untuk gadis itu. "Rindu!" seru Erika melambaikan tangan. Erika semakin mendekat, namun Rindu tidak menoleh sama sekali, Erika menyadari jika sahabatnya itu tengah melamun. "Rindu, hey!" Gadis itu menepuk pundaknya membuat Rindu terkejut. "Hah!" Dia spontan berdiri dan menatap Erika. "Apaan sih, kayak lihat setan aja." "Erika, kenapa nggak ngabarin?" "Ya mau gimana lagi, ponsel lo mati kan." Rindu tertegun, ponsel itu tidak mati tapi sengaja tidak di aktifkannya. "Hay!" Andra bergabung membawa es krim dan beberapa snak. "Nunggu matahari terbenam ya, nih sekalian gua bawah kesukaan lo, eh kesukaan Erika juga sih." Rindu terkekeh mendengarnya. "Es krim cokelat." "Wah," Erika segera menggapainya dan membaginya dengan Rindu. "Duh, makin lama Andra makin so sweet ya," ucap Rindu mencairkan suasana. "Iya dong, kalau nggak so sweet, pacarnya jadi so angry." Hahaha. Andra tak terganggu mendengar lelucon itu. Rindu tersenyum, ya dia seperti melupakan tentang Gavin jika Andra dan Erika mengunjunginya. "Ndu, bentar lagi kan ada pentas, sekitar Minggu depan. Tampil yuk," ajak Andra. Rindu sedikit celemotan. Erika dengan santai membersihkan mulut sahabatnya itu dengan tissue. "Eh, makasih." "Sama-sama." "Ndu, soal pentas gimana, dari pada lo bengong kan." "Tapi, aku sedang tak ingin melakukan apapun, Ndra." "Ah, nggak asyik, nyanyi itu seru loh. Dan, ya ini adalah kabar baru dari gue." Erika mengernyit. "Gua dapat tawaran manggung di cafe, jadi pengisi suara tetap. Lumayan uangnya dari pada ngamen di jalanan." Erika dan Rindu tertegun. "Serius? Wah selamat Ndra," "Ih, beby kok baru bilang sekarang." Erika merajuk. "Nggak sempet sayang, aku baru dapat telepon baru aja saat beli ice cream." Erika merasa bangga karena Andra sudah mulai mencari rezekinya. "Semoga kalian langgeng terus deh, dan Andra meraih cita-citanya sebagai musisi. Kita kan udah kelas 12 nih, setelah lulus kalian mau kuliah dimana?" Rindu berencana mengikuti mereka, dia tak memiliki teman yang lain dan tidak yakin bisa dekat dengan orang asing lagi. "Gue sih, ambil jurusan bisnis menegement," ucap Erika. Rindu satu pemikiran dengannya. "Sepertinya aku juga deh, agar selesai kuliah bisa kerja di perkantoran." Andra tertawa ringan. "Erika nggak kuliah pun udah bisa kerja di perkantoran, Ndu. Ayahnya kan seorang pengusaha. Dia anak tunggal." "Andra, ih," Erika tak pernah menceritakan itu pada siapapun. Andra pun tahunya karena tak sengaja melihat ayah Erika masuk di sebuah perkantoran yang merupakan milik keluarga sang pacar. "Wah, selamat ya. Nggak nyangka Erika ternyata orang kaya." "Apaan sih, usaha kecil kok. Semoga aja suatu saat nanti bisa berkembang, makanya gue mau kuliah bener-bener." Rindu setuju. "Oke, kita akan mendaftar di universitas yang sama. Papa nggak mungkin kerja terus untuk kami, jadi, mungkin aku akan bekerja paruh waktu di tempat Erika misal." Hahaha. Tawa menggema, Andra dan Erika berhasil membuat Rindu tertawa. "Ntar deh, gue tanya dulu ke bokap. Kalau lu dapet, mending gua juga kerja kan. Andra kan juga pasti sibuk, pulang kerja kita bisa mampir ke cafenya dia buat nyari hiburan." "Nah bener, tuh." Andra menggelengkan kepala. "Lo kenapa, Ndra? Nggak yakin sama kemampuan kita." "Bukan, bukan itu." "Terus, apa dong?" "Cewe kalau ngayal nggak ada yang ngalahin." "Sialan!" Rindu tertawa terbahak-bahak. Andra dan Erika bener-bener kocak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN