Rindu bertanya-tanya akan kemana Gavin akan membawanya, lelaki itu hanya berputar-putar dari tadi membuatnya semakin bete.
"Vin, tujuan kita kemana sih?" tanya Rindu.
"Kenapa? Kamu capek ya?"
"Iya, kamu sih bawa motor nggak jelas banget."
"Ke rumah aku mau nggak?"
Rindu memikirkan hal itu.
"Nggak ah, malu mengunjungi rumah lelaki sendirian." Gavin melihat taman di depan sana, dengan cepat dia singgah dan berteduh.
"Kenapa motornya? Rusak ya!"
Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Nggak, aku cuman bingung mau ajak kamu kemana. Lagi pula ada yang ingin ku sampaikan hanya berdua."
Rindu menatap tempat itu.Taman yang terlihat sunyi dan hanya ada beberapa pengunjung yang duduk selonjoran di atas rumput.
Mesin motor di matikan, Gavin membuka helm dan menggandeng Rindu lalu berjalan bersisian.
"Kita kesana aja, nyari tempat yang nyaman untuk mengobrol.".
Gavin membawanya ke sisi lain, bunga-bunga bermekaran dan ada danau kecil di taman itu.
"Wah, indah sekali. Ini pertama kalinya aku datang ke sini."
Gavin tersenyum mendengar ucapan Rindu.
"Benarkah?"
Rindu mengangguk. Tiba di tempat yang di anggap cocok. Gavin pun mengajaknya duduk.
"Kau ingin bicara tentang apa?"
"Ehm!" Pemuda itu berdehem.
"Kau tahu Agatha kan?"
Rindu mengerutkan kening, di saat kencan dia merasa bete karena Gavin menyebut nama gadis yang lain.
"Si anak baru itu, masa kamu lupa."
"Inget, aku belum pikun, Vin. Ngomong aja."
"Jadi, kemarin sore aku baru tahu jika dia adalah tetanggaku." Netra Rindu melebar.
"Semalam juga saat pulang dari mengantarmu aku bertemu dengannya di lampu merah, dia sedang mengamen bersama anak kecil di sana."
Rindu merasa cemburu ada perasaan takut kehilangan pemuda itu bersarang di hatinya.
"Kenapa, apa pentingnya kau bilang padaku, apa peduli ku," reaksi Rindu membuat Gavin tertegun.
"Aku rasa perlu mengatakannya kepadamu, aku takutnya kau akan mengetahui dari orang lain dan cemburu."
Wajah Rindu tak tergambarkan.
"Cemburu kau bilang, ha yang bener saja."
"Dia tinggal tepat di samping rumahku, kami bersebelahan."
"Hentikan Gavin, aku tidak peduli meski kalian tinggal bersama."
Rindu akan beranjak, kesal merasuki hatinya. Melihat itu Gavin menahan langkahnya dan menarik Rindu kembali ke sisi.
"Ini pertama kalinya bagiku, Ndu."
Rindu terkesiap tak tahu apa maksudnya.
"Kau yang pertama, aku harap kau mengerti. Aku tidak tahu bagaimana caranya kencan yang wajar, mengajakmu kemana? Dan, bagaimana menjaga moodmu. Aku ingin menjaga perasaanmu. Aku belum pernah berpacaran dan berusaha menjadi yang terbaik."
Rindu pun demikian, dia beradaptasi dan selalu tak terkendali. Kadang dia merasa malu jika telah melewati sikapnya yang ke kanak-kanakan.
"Kenapa mengatakan semua ini kepadaku?"
Pandangan mereka saling bertaut.
"Karena aku ingin menghindari kesalahpahaman, takut suatu saat nanti aku ke sekolah dan tak sengaja bareng dia. Aku takut kamu marah. Jika kamu tak kasih izin ya sudah. Aku akan menolaknya mentah-mentah."
Itu terdengar mengerikan. Rindu merasa Gavin bukanlah orang yang suka menggoda atau ngecengin orang seperti seorang playboy.
"Tidak perlu, apa haknya aku melarangmu."
"Kau berhak sepenuhnya, bahkan jika kau marah dan menjambak siapapun itu karena aku, aku tidak akan melarangmu."
"Dih ngapain, mau ngejambak anak orang karena cowok."
"Kamu kan pacar aku, Ndu. Wajarlah, jika marah."
"Marah juga nggak harus ngebunuh anak orang kan? Malu-maluin."
"Heh," Gavin menghembuskan napas kasar. Dia merasa Rindu tidak benar-benar tertarik kepadanya.
Lelaki itu berbaring terlentang di atas rumput, membiarkan matahari menerpa tubuhnya untuk menghilangkan segala pikiran yang bersarang di sana.
"Kamu ngapain? Bajunya kotor loh."
"Biarin aja."
Gavin benar-benar dongkol, Rindu tidak peka sama sekali.
"Bagaimana kau tahu dia adalah tetanggamu. Kau yang mengunjunginya atau dia yang mengunjungimu?" pertanyaan mendadak Rindu membuat Gavin malas membuka mata.
"Di tanya kok diem? Jawab dong!"
"Dia datang membawakan kue tart, sebagai salam perkenalan. Agatha juga kaget jika kami tetanggaan. Sorenya si Bibi memintaku mengantarkan puding, dan bebar saja dia pemilik baru rumah sebelah."
Wajah Rindu berubah mendung, namun Gavin tak menyadarinya.
"Asyik dong, bisa saling berkunjung dan kerjain tugasnya bareng-bareng. Ada temen ngobrol dan nggak boring," ucapnya biasa saja namun nadanya terdengar sedikit mengganggu.
Gavin membuka mata lalu duduk berdampingan.
"Aku tidak menganggap ini mengasyikan kecuali kau yang pindah ke rumahku," godanya.
"Gavin!"
Rindu memukul lengannya.
"Apa? Aku benar kan. Dia pandai main gitar, melodinya terdengar merdu. Sepertinya dia mengambil sekolah musik."
"Kalian memiliki banyak kesamaan."
Gavin setuju soal itu.
"Ya, tapi dia belum menemukan teman duetnya, berbeda denganku."
Netra Rindu menyipit. Dia memutuskan untuk mempercayai kekasihnya.
"Kau beruntung aku menyukai Agatha. Kau boleh berteman dengannya."
**
Waktu berlalu dan tiba bagi Zean lulus sekolah, selama itu, hubungan Rindu dan Gavin semakin hangat, Zean terkecoh dan menganggap Agatha adalah teman dekat dari gebetannya itu.
Beberapa kali kesempatan, saat Zean datang berkunjung atas permintaan Devon. Agatha selalu ada di taman, memainkan gitar bersama Gavin.
Dia terus salah paham.
Lulus dengan peringkat terbaik. Zeana pun menyingsingkan perasaannya terhadap Gavin dan terbang ke Singapura untuk menyusul Devon di sana, sesuai dengan janjinya pada lelaki itu. Dan saingan yang baginya sulit di taklukkan. Zean memilih menyerah. Saat ini lah ujian cinta Gavin dan Rindu benar-benar di uji.
Naik peringkat kelas sebelas, formasi persahabatan mereka terombak. Agatha masuk ke lingkup pertemanan Gavin dan Andra.
"Ehm, gua mau ngumumin sesuatu, harap kalian semua mendengarkan dengan baik."
Suasana kantin sedang ramai-ramainya. Rindu mendongak, menatap aneh pada kekasihnya sedang Agatha tertawa melihat tingkah pemuda itu.
"Apaan sih lo, turun entar tu kursi yang ada rusak karena lo pijak."
Andra memperingatkan.
"Bawel lu Ndra!"
Andra dan Erika tertawa mendengarnya.
"Jadi untuk merayakan kenaikan kelas kita, gua mau umumin kalau. Gua dan Rindu, udah jadian!" serunya lega.
Rindu menutup wajahnya karena malu sedang Agatha tampak kikuk karena tidak menyangka. Tepuk tangan tampak riuh.
"Yuhuu, ada traktiran nggak nih!" sahut teman-teman satu kelasnya.
"Ada dong, masa iya nggak ada."
"Yes, selamat ya. Semoga langgeng sampai dewasa!"
"Suwe lu! Emang lu nganggep gua apa? Bocil!"
"Haha haha!"
"Sorry, Vin. Nggak gitu maksud kita."
Suasana kantin berubah hening.
"It's oke, kalian boleh pesan apa aja ntar gua yang bayar."
Bu Siti tersenyum, itu artinya dagangannya akan segera habis.
"Yey! Thank you Vin."
Semua siswa bersorak.
Kantin pun di serbu dengan cepat, Bu Siti seperti biasa, kewalahan melayani mereka.
"Akhirnya di umumin juga, berasa lo baru aja di akui tau nggak, Ndu!" Erika sengaja mengompori.
"Nggak kebalik tuh, yang ada gua yang baru dia akui," ucap Gavin kesal.
Rindu hanya tersenyum namun beda dengan Agatha. Gadis itu tampak melongo sendirian.
"Memangnya kalian udah lama berpacaran? Kirain sahabatan doang."
Rindu tersenyum canggung.
"Udah lama, sekitar empat bulan yang lalu."
"What!" Agatha tampak shock.
"Hari saat gue masuk sekolah?"
Gavin menggeleng.
"Keesokkan harinya setelah lo masuk sekolah."