Chapter 20 Kedatangan Zeana

1040 Kata
Telepon berdering di rumah keluarga Ardian. Hari ini, hari Minggu, Gavin dan Devon libur sekolah. Keduanya bangun kesiangan. Dan bertemu di meja makan. "Siang, Vin," sapa Devon. "Siang, Bang." Roti bakar menjadi pilihan untuk mengisi perut. Bibi tampak kesal dan berdiri di samping telepon yang terus berisik dari tadi. "Siapa, Bi? Kok nggak di angkat teleponnya?" seru Gavin. Bibi tampak tidak enak menatap kedua kakak beradik itu. "Di tanya kok diam aja, Bi?" "Ini, Den. Dari rumah keluarga non Zeana. Mereka nyari Den Devon, bibi bilang sedang tidur. Terus maksa dan bilang bangunin. Ya, bibi nggak berani. Ini telepon ke sekian kalinya. Lama-lama bibi jadi kesal." Gavin dan Devon saling berpandangan. "Ck, tuh orang masih nggak nyerah aja. Biarin aja, Bi. Nggak usah di pedulikan." Gavin menikmati makanannya. Devon tampak berpikir di hadapannya membuat Gavin imenerkah-nerkah. "Abang kenapa? Mikirin Zeana? Heh, dia tahu abang punya ponsel, ngapain telepon ke rumah. Mau buat heboh atau cari perhatian sama si Bibi. Alah, dia aja kalau datang nggak pernah sopan sama si bibi." Gavin menggigit rotinya dengan lahap. "Abang udah mutusin, setelah berpikir semalaman." Gavin menatapnya lekat. "Abang telah bertekad untuk meninggalkan Indonesia." Gavin terkejut bukan main. "Maksud abang, apa?" "Abang merasa serba salah, semalaman memikirkan ucapan kamu. Abang jadi bertekad untuk menyusul ayah dan bunda ke Singapore. Berada di sini hanya akan membuat hati ini goyah." "Lalu bagaimana denganku?" "Dua tahun lagi, kau akan menyusul. Abang akan kembali untuk menjemputmu." Deg. Sendok Gavin terjatuh ke piring. "Jika Zeana bohong dan abang termakan rayuannya kau pasti marah. Tapi jika abang pergi semuanya akan baik-baik saja." "Ini gila!" Gavin mengebrak meja dan pergi dari sana. "Vin, abang hanya ingin kau senang." "Senang, abang kira keputusan abang ini buat aku senang!" Gavin kembali ke kamar dengan perasaan dongkol. Karena Zeana dia dan Devon terus bertengkar. "Ach, dasar ular." Devon termenung di meja makan. Dia merasa serbah salah dengan keadaan. Ting. Bell rumah berdenting. Devon dan Bibi menoleh saling memandang. "Den, bagaimana jika itu non Zeana?" "Dia kan sakit, Bi. Bibi cek aja jangan sampai malah orang lain." "Baik, Den." Sekarang waktu memasuki pukul 10:00 pagi. Seorang gadis berdiri di depan pintu dengan gugup. Ceklek. Pintu terbuka, Bibi termenung melihat tamu yang ada di hadapannya. "Maaf, siapa ya? Mau bertemu siapa?" Gadis itu tersenyum ceria. "Saya Rindu, temennya Gavin. Saya mau mengembalikan jaket." Bibi menatapnya dari kaki hingga ujung kepala. Rindu tak pernah berkunjung, ini pertemuan pertama si bibi dengan Rindu. "Gavinnya ada?" Bibi mengangguk antusias. "Siapa, Bi? tanya Devon menghampiri. Lelaki itu mendekat dan menemukan Rindu tersenyum ramah kepadanya. "Hay, gadis cat. Silahkan masuk." Bibi terperangah mendengar ucapan majikannya. "Terimakasih, Kak." Rindu berjalan masuk. Devon menuntunnya ke ruang tamu. "Bi, panggilkan Gavin. Bilang temennya datang." "Baik, Den." Rindu merasa gugup, Devon menatapnya lekat. "Oh iya, Kak. Sebagai permintaan maaf, saya menemukan kaos yang sama seperti milik kakak di sebuah distro." "Kaos?" Rindu mengangguk. "Iya, baju kakak kan rusak gara-gara kena chat sama aku." Devon mendekat Rindu memberinya paper bag. Devon meraihnya. Kaos itu sama persis dengan miliknya. Devon tidak percaya ini. "Kau tidak perlu repot. Tidak masalah dengan baju bernoda itu. Setidaknya kau memberikan warna lain." "Ha," Rindu melongo tidak mengerti. Gavin segera turun dari lantai atas setelah mendengar kabar tentang kedatangannya. "Rindu! Bukannya kamu sakit, kamu flu kan. Ngapain keluar rumah. Nggak istrahat." Rindu tertegun mendengar omelan Gavin. "Udah sembuh kok, Vin. Oh iya, ini jaket dan paper bag buat kamu." Gavin tampak bingung. Devon mendapatkan kaos dan dia, ... . "Apa ini?" "Jangan di buka dulu, nanti aja kalau aku pergi." Melihat kedekatan mereka, Devon jadi cemburu. Rindu sangat perhatian berbeda dengan Zeana. "Baiklah, kamu ke sini sama siapa? Aku anter pulang ya," "Apa sih, Vin. Orang baru nyampai juga. Udah di suruh pulang." "Bukan gitu, Bang. Aku tuh cuman." Ting tung, ting tung. Bel kembali berbunyi. Bibi tak keluar dari dapur membuat Devon harus membuka pintunya sendiri. "Abang duduk aja, biar Gavin yang buka." Devin menggeleng. "Eh, nggak sopan. Temennya datang malah di tinggal. Udah duduk aja sana." Devon menghampiri pintu, pandangan Gavin tak beralih darinya. Firasatnya tidak enak. Gavin akhirnya menyusul keluar. Ceklek. Pintu terbuka. Devon mematung di depan pintu. "Ada apa, Bang?" Pandangan keduanya fokus ke depan, Zeana berdiri dengan pucat. Gadis itu datang sendirian menemui Devon di kediamannya. "Zeana!" Rindu yang mendengar itu ikut mendekat. Gedubrak. Zean jatuh terkulai, beruntung Devon langsung menangkapnya. "Zeana, kamu kenapa?" Devon sangat cemas melihat keadaannya. Suhu tubuh gadis itu tidak biasa. "Bawa masuk dulu, Bang," ucap Gavin. Lelaki itu tak lagi marah, melihat Zeana yang tak sadarkan diri. Dia pun ikut prihatin. "Enggak, sepertinya kita harus membawanya ke rumah sakit." "Tapi?" "Nggak pakai, tapi. Cepat siapkan mobil!" Gavin segera bergegas. Rindu menyusul ke luar dan melihat Zeana dalam pelukan Devon. Rindu menekan denyut nadinya, lalu merasakan suhu tubuhnya. "Dia sangat lemah, sakitnya lumayan parah." "Kau!" "Ah, aku anggota palang merah." Devon takjub melihat Rindu, gadis itu sangat cerdas dan sopan. Gavin datang dengan mobilnya, dia membawa Zeana masuk ke pintu belakang bersama dengan Devon. "Hati-hati." Devon segera masuk di pintu sebelahnya. "Ayo, Vin. Tunggu apalagi," seru Devon. Gavin merasa tidak enak meninggalkan Rindu sendirian. "Kamu ikut, ya." Tanpa persetujuan dari Rindu. Gavin menariknya lalu membuka pintu depan. Blam. Gavin dengan tenang melangkah ke kursi pengemudi. "Kita ke rumah sakit terdekat." Mobil meninggalkan rumah dan melaju membela jalanan. "Devon, maafkan aku," guman Zeana dalam tidurnya. Gavin langsung melirik Abangnya lewat kaca spion. Pandangan mereka bertemu. Rindu merasa iba, dia merasa kasihan melihat keadaan Zeana sekarang. "Dia pasti sangat mencintai, Kakak. Lihat, dia sampai ngelindur memanggil nama kakak dalam tidur," celetukan Rindu membuat kakak dan adik itu spontan menatapnya. "Diem deh lu, nggak usah komen," ucap Gavin kesal. "Gavin," tegur Devon. Mereka tiba di rumah sakit, Zeana langsung di jemput perawat di lobby, mereka menuju ke UGD untuk pemeriksaan. Kondisi yang lemah dan tidak sadarkan diri membuat Dokter harus memeriksanya. Rindu menatap Devon dan Gavin yang mondar mandir tidak jelas. "Andai abang mengangkat teleponnya atau menjenguknya di rumah. Tentu tidak akan separah ini. Aku merasa bersalah melihatnya lemas seperti tadi." Gavin tak berkomentar, meski tidak suka mendengar ucapan Abangnya dia memilih diam. "Vin," ucap Rindu. Gadis itu berdiri tak jauh darinya. "Ada apa?" "Apa Kak Zeana sakit gara-gara di hukum waktu itu?" Gavin mendelik. "Entahlah,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN