Kanjeng Ratu berdiam diri di biliknya, duduk di depan meja rias sembari menatap kecantikan fisik. Cermin masih berkata bahwa dirinya tetaplah mengagumkan. Syukurlah tak ada kisah serupa putri salju dalam kehidupannya. Hadirnya sosok wanita yang melebihi kecantikannya di dunia manusia masih bisa diterima, tetapi tidak di dunianya. Kusuma gadis yang cantik. Ya, tentu saja itu berkat dirinya. Dia membesarkan Kusuma dengan baik. Kecantikan, tata krama, dan ilmu yang dimiliki Kusuma membuatnya pantas duduk sebagai putri di Kerajaan Laut Selatan.
Namun, apa yang telah dilakukan Kusuma kali ini mengingatkan dia pada kisah Rapunzel. Entah mengapa dongeng manusia itu berpengaruh padanya. Putri yang diculik sebab ingin memanfaatkan kekuatannya, lalu gadis itu menentang dan kabur bersama seorang pria, dan berakhir pada terkuaknya fakta. Itu hanya kisah fiksi fantasi meski logika berkata, "Mungkin kehidupan semacam itu ada."
Dia mendesah, mendongak, dan menikmati gerombolan ikan yang berenang di balik jendela. Dia suka mengamati ikan Pari. Tubuh lebar dan sayapnya yang naik turun, serta gerak lamban hewan itu seperti pertunjukan tari di keraton.
"Salam untukmu, Kanjeng Ratu," sapa Nyi Roro Kidul di balik pintu.
"Masuklah!" ucap Ratu Kidul.
Pintu terbuka. Kedua dayang yang berjaga di depan pintu mempersilakan mahapatih memasuki ruang pribadi sang Ratu. Sementara Nyi Roro Kidul melangkah masuk, mereka menutup pintu perlahan dan kembali berjaga.
"Ada apa gerangan hingga kamu menemuiku di tempat ini?" tanya Ratu Kidul sembari menyapukan bedak di pipinya.
Langkah Nyi Roro Kidul berakhir di belakang sang Ratu. Sambil tersenyum dia berkata, "Putri Kusuma tumbuh menjadi gadis yang cantik. Di usianya saat ini, bukankah wajar jika dia menaruh hati seorang pria?"
"Ya, kamu benar, Roro. Aku membesarkannya dengan sangat baik. Tidak sia - sia aku mengajarinya ilmu kanuragan. Dia gadis yang bijak, tak pernah sekali pun menyalahgunakannya. Dia juga gadis yang penurut dan penyayang. Aku rela memberikan apa pun yang dia inginkan, tetapi tidak untuk menjalin hubungan asmara dengan siapa pun. Apalagi manusia."
"Ampun, Kanjeng. Sekiranya diperbolehkan, hamba ingin tahu alasan di balik larangan itu? Kanjeng pun pasti memahami bahwa keputusan itu terasa tidak adil baginya."
"Ya, aku tahu itu. Bahkan dengan lantang dia menyuarakannya di hadapanku. Untuk pertama kalinya, putriku membantah perkataanku hanya karena seorang manusia. Sudah sekian lama dia ikut denganku, tapi mengapa belum jua mengerti seperti apa cinta yang manusia miliki? Cinta manusia hanya bersifat sementara. Mereka bisa pergi kapan pun, menyisakan kerinduan yang tak kunjung padam. Ah, itu benar - benar siksaan yang mengerikan."
Ratu Kidul meletakkan sisir di permukaan meja. Diam sesaat sebelum akhirnya beranjak meninggalkan meja rias. "Kamu tidak datang untuk membujukku, bukan?"
Nyi Roro Kidul mengikuti langkah sang Ratu. "Kanjeng, ini mengenai mustika itu."
Ratu tertarik dengan kabar yang dibawa Nyi Roro. Dia memutar arah, lalu merebah santai di kursi panjang, di depan ranjang. Sofa yang indah. Terbuat emas dengan ukiran manusia bertubuh ular di sandaran. Lapisan spons tebal yang terbalut kain beludru, membuat bokongnya nyaman. Tiba - tiba, wanita itu ingin merasa lebih santai. Dia mengangkat kedua tungkai ke kursi dalam posisi miring, lalu meletakkan siku kiri di sayap kursi untuk menyangga kepala. Di hadapannya, Nyi Roro telah bersimpuh.
"Kanjeng masih ingat dengan bayi yang kita titipkan kepada Brata 25 tahun lalu?"
"Brata?" Bola mata penguasa Laut Selatan itu bergerak ke kanan dan kiri. "Aaah, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu? Apa kamu sudah menemukan bocah itu? Dia pasti tumbuh menjadi sosok pria gagah dan tampan, seperti leluhurnya."
Nyi Roro menyatukan tangan di atas kepala. "Hamba mohon ampun, Kanjeng. Pencarian hamba belum membuahkan hasil. Namun ...."
Ratu Kidul melirik mahapatihnya sambil berkata, "Jangan berbelit - belit, Roro. Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan kepadaku?"
Kanjeng Ratu memainkan helai rambut yang tergerai di sisi wajah. Air mukanya masih terlihat tenang meski kecerobohan itu sangat disayangkan. Nyi Roro telah lalai menjalankan mandat. Akan tetapi, dia terlalu sayang kepadanya hingga menghukum pun tak rela.
"Saat kembali ke hunian itu, mereka sudah pindah. Rumah itu kosong. Saya juga tidak bisa menemukan bayi itu setelah sekian lama mencari. Akan tetapi, baru - baru ini, saya kembali merasakan keberadaan liontin itu. Dia dekat dengan kita, Kanjeng. Bukan bermaksud lancang, saya hanya takut kalau pemuda yang dibawa Putri Kusuma itu adalah ...."
Kanjeng Ratu tertegun. Keasyikannya bermain rambut usai sudah. Lengkung bibir pun membeku. Sementara, tergambar jelas keterkejutan di bola matanya.
"Dayang! Siapkan ruang meditasi untukku!" ucapnya lantang.
Penjaga di luar bilik mendengar dan bergegas menjalankan perintah. Nyai Roro masih dalam simpuhnya dengan kepala tertunduk. Dia tahu seberapa kecewa wanita di depan itu. Oleh karenanya, Nyi Roro tidak berani mengangkat wajah barang sekejap. Terlalu malu menghadapi dosa di pelupuk mata.
"Kanjeng Ratu, ruang meditasi telah siap," ucap dayang yang lantas undur diri.
"Cari keberadaan Yang Terpilih! Jangan biarkan dia pergi, sebab takdirnya dalam genggamanku."
Satu tarikan napas panjang dia keluarkan perlahan sebelum meninggalkan kamar. Langkahnya diikuti oleh Nyi Roro.
Dari biliknya, kedua wanita ayu itu berbelok ke kiri melewati tiga saka setinggi empat meter. Tiang - tiang kokoh nan besar itu berdekatan, jarak mereka tak lebih dari dua depa. Berwarna keemasan dan berkilau kala diterpa cahaya. Tak ada ukiran layaknya pintu - pintu bangunan itu. Kesederhanaan yang pas di antara kemeriahan istana.
Nyi Roro memisahkan diri di persimpangan. Di pertengahan koridor, dia melakukan teleportasi menuju pantai Alas Purwo. Tempat pertama yang akan dia periksa adalah istana keputren.
Masih di tempat yang sama, Kanjeng Ratu berhenti di tepi kolam. Dia menatap Narendra yang sedang duduk di gazebo apung. Satu kaki selonjoran sementara yang lain tertekuk dan dijadikan sandaran lengannya. Setelah diamati cukup lama, rupanya lelaki itu tengah terlelap. Kanjeng Ratu terkagum, sebab ketika tidur pun dia punya gaya sendiri tanpa merusak pesona dan karismanya.
Seulas senyum terlihat di bibir wanita penguasa laut selatan. Teringat akan janji yang telah menanti, dia berpaling dan masuk ke lorong sepanjang satu kilometer. Cahaya hanya menyinari di ujung lorong, sementara di depan, kegelapan seakan hendak menyergap dan menenggelamkannya. Kanjeng Ratu kembali melangkah. Satu per satu ruas dinding memancarkan cahaya kala dia melintas. Pendar hijau yang tak terlalu terang dan tak jua terlalu meredup, menemaninya hingga tiba di depan pintu kayu setinggi dua meter.
Dengan kekuatan pikiran, dia menggeser pintu ke kanan. Gelap, satu - satunya ruang tanpa celah sehingga tak secercah cahaya alam yang dapat menembus tempat itu. Setelah dia masuk, pintu kembali tertutup.
Kegelapan yang menyergap tak semata - mata menelannya dalam kedamaian, tapi juga kesenangan sebab perjumpaan yang akan dia lakukan bukanlah hal biasa. Dia duduk bersila, menyatukan kedua telapak tangan di depan d**a. Setelah menarik napas panjang, matanya terpejam.
Mantra terucap tanpa suara, hanya bibir yang sibuk meladeni kosakata yang dilafalkan. Kalimat - kalimat yang berasal dari kitab Sangsekerta itu menghadirkan cahaya yang begitu terang untuk sesaat, dan lenyap bersama dengan roh Kanjeng Ratu yang tak lagi dalam raga.
Jiwa wanita itu mewujud di hadapan seorang pria berpakaian adat Jawa, lengkap dengan udeng batik khas Keraton Mataram. Dia menyatukan kedua tangan di depan muka, sapa santun untuk wanita yang duduk tegak di kursi emasnya.
***
Setelah merasakan keberadaan wanita itu di sana, berdiri di antara saka dan menatapnya, Narendra membuka mata. Namun, wanita itu tak lagi di tempat yang sama. Mencari pun percuma, sebab bukan dia yang diinginkan ada.
Mata indah itu kembali terpejam. Bukan untuk memimpikan wanita yang kini menjauhinya. Dia sedang menerka penyebab peristiwa hari ini, landasan kemarahan Kanjeng Ratu Kidul pada Kusuma. Mustika atau pria yang memilikinya? Dan mengapa wanita itu dilarang mendekati manusia? Dia pun mulai mempertanyakan, siapa sosok Kusuma dalam kehidupan istana? Bahkan dalam kitab Jawa, dia tidak pernah menemukan silsilah wanita cantik itu dan bagaimana dia mendapatkan posisi istimewa di kerajaan.
Apa karena kesaktiannya? Atau kecantikan mereka yang setara? pikirnya dalam hati
Bibir Narendra melengkung ke atas kala bayang Kusuma melintas dalam imaji dan mengerut kemudian ketika teringat betapa besar keinginannya menemukan manusia itu. Narendra membuka mata lebar - lebar.
"Tidak! Manusia itu harus lenyap sebelum bertemu dengan Kusuma." Dia mencabut jam istirahatnya, lalu menghilang dari gazebo.
***
"Kedudukan dan takhta hanya bersifat fana. Aku tidak bisa menjaga kejayaannya sebab kuasaku tak sebesar Dia. Aku akan tetap membantumu, tapi dengan satu syarat, jangan pernah lagi ada dari keturunanmu yang mengingkari perjanjianku dan leluhurmu. Jika kalian ingkar, maka bersiaplah jadi budakku. Apa kamu bersedia?"
Pria berkumis itu tampak ragu. Setelah kematian kakak tertuanya akibat ingkar, kebimbangan meraja dalam pikiran. Iya atau tidak, dia tetaplah menjadi b***k. Bedanya, dia masih bisa bernapas di alam manusia dan butuh pamor yang luar biasa besar untuk menikmati hidupnya.
"Baiklah, Kanjeng. Saya terima," ucap pria itu.
Kanjeng Ratu tersenyum manis. "Bolehkah aku meminjam cincinmu?"
Pria itu mendongak, lalu mengangguk - angguk sembari melepas cincin akik dari jari manis. "Ini, Kanjeng. Silakan!"
Di atas bara arang dan kepulan asap beraroma kemenyan cincin permata hijau itu berpindah tangan. Kanjeng Ratu lantas menggenggam dan membawanya dalam dekap. Kelopak matanya turun. Pandangannya menggelap untuk sesaat.
Di menit berikutnya, benda di tangan bersinar terang layaknya neon yang tergenggam. Pancarannya menembus sela-sela jemari. Hijau dan putih, gradasi warna yang indah.
Pria di hadapannya terkejut. Seumur - umur belum pernah sekali pun dia menyaksikan fenomena itu. Cincin turun - temurun yang dianggap biasa, kini menampakkan wujud aslinya. Kekuatan yang entah bagaimana cara menggunakannya. Mungkinkah hanya Kanjeng Ratu yang bisa melakukan itu? Dia bertanya-tanya.
Sementara dia masih mengagumi, ratu pantai selatan itu berhasil mendapatkan pandangan yang diinginkan. Dia tersenyum manis. Seiring kelopak mata yang terbuka, cahaya itu pun meredup dan lenyap. Permata hijau itu berubah warna seperti sedia kala.
"Terima kasih," ucap wanita itu sembari mengembalikan cincin kepada pemiliknya.
Tak berapa lama, Kanjeng Ratu memudar, tergantikan cahaya hijau yang mulai menipis dan menjadi manik - manik yang lenyap dalam hitungan detik. Dia telah kembali ke tempatnya semula, di ruang gelap tempat semadi di istana.
Wanita itu melepaskan karbon monoksida perlahan sembari mengangkat kelopak mata. Irisnya berkilat. Manis senyumnya pertanda sesuatu yang menyenangkan telah tergenggam.
***
To be continue .....
***
NB : Ini hanya kisah fiktif belaka. Tidak ada kaitannya dg sejarah maupun mitos yang ada.