Maura mendengar suara yang sangat dia hapal, suara yang serak dan berat, milik kekasihnya Daniel. Dia menoleh ke arah sumber suara.
Tampak Daniel yang memegang paper bag dengan logo sebuah restoran besar, makanan cepat saji kesukaan Maura. Wajah Daniel tampak sedikit kusut, mungkin karena dia harus bermalam di kantor menyelesaikan pekerjaannya. Mendapati kekasihnya berada di pelukan laki-laki lain di pagi hari ini benar-benar membuatnya tidak habis pikir.
“D-Daniel, aku bisa jelaskan,” ucap Maura terbata.
“Baik, sekarang jelaskan,” ucap Daniel berusaha tenang. Maura menarik napas lega, dia tahu Daniel adalah pria dewasa, itu lah yang membuatnya nyaman bersama Daniel selama ini. Daniel bahkan menyerahkan kantung makanan untuk Maura. Aroma ayam goreng tepung yang mencuat nyatanya tak membuat perut Maura tergugah, dia terlalu takut Daniel akan salah paham. Karenanya dia hanya memeluk kantung makanan itu tanpa berniat memindahkannya.
“Dia, teman SMAku Daniel, kami bertemu kemarin di pesta pernikahan Diva, dan dia,-“ ucap Maura terputus karena Ardana sepertinya tidak puas dengan penjelasan Maura.
“Kita lebih dari teman SMA, hubungan kita sudah sangat jauh dan mungkin tidak bisa anda bayangkan. Jadi kedatangan saya ke sini untuk meminta Maura menikah dengan saya,” potong Ardana arogant. Maura mengernyitkan kening.
“Jangan dengarkan dia Daniel, dia memang suka keterlaluan. Sebaiknya kamu pergi Ardana, kamu hanya merusak pagiku!” sentak Maura.
“Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan kalian berdua di sini?” tutur Ardana. Daniel hanya menyaksikan itu dengan tangan terkepal, dia sangat kesal dengan laki-laki yang berbicara omong kosong terhadap tunangannya ini. Hubungan yang lebih seperti apa yang dia bicarakan? Dia tahu selama ini Maura selalu menjaga dirinya, bahkan mereka tak pernah melakukan hal-hal yang melewati batas. Daniel percaya bahwa Maura memang wanita baik yang bisa menjaga dirinya.
“Betul kata tunangan saya, sebaiknya anda pergi, jangan menggangu hubungan kami dengan omong kosongmu, saya mempercayai Maura. Melihat penampilan anda, sepertinya anda orang penting, apa anda tidak rugi membuang waktu di sini?” ucap Daniel.
“Tentu tidak, kenapa saya harus rugi ketika saya menemui calon istri saya,” ucap Ardana memprovokasi. “Sepertinya Maura enggak pernah menceritakan tentang saya kepada anda, juga sejauh mana hubungan kami?”
“Cukup Ardana, pergi sekarang,” ujar Maura. Mendorong tubuh Ardana menjauh dengan sebelah tangannya, namun Ardana memegang tangan Maura dan membalik tubuhnya, memajukan wajah untuk berbisik ke pada Maura, “seharusnya kamu cerita tentang malam panas kita,” ucapnya yang pasti bisa didengar Daniel.
Maura menjatuhkan paper bag berisi makanan itu, tangannya gemetar, namun dia berusaha mengendalikan diri dan menampar pipi Ardana dengan sangat kencang.
Ardana memegang pipinya seraya menyeringai. Dia tahu Maura sedang menutupi masa lalu mereka. Namun baginya, ketika dia sudah menginginkan sesuatu, dia harus mendapatkannya dengan cara apa pun juga. Termasuk merebut wanita yang dicintainya.
“Pergi,” geram Maura seraya menunduk. Ardana tak kuasa melihat Maura yang bersedih, dia akan datang lagi lain kali. Namun pukulan pertama ini diyakini bisa membuat hubungan Maura dan tunangannya goyah.
Ardana pergi dari kamar kost Maura. Maura berjongkok memunguti makanannya yang tercecer.
“Maura, stop it. Bisa kita bicara?” ujar Daniel dengan nada meninggi. Maura memasukan potongan terakhir ayam tepung yang terjatuh. Dia berdiri dan menghampiri Daniel. Daniel mengajaknya duduk di karpet kamar itu, dengan pintu yang terbuka lebar.
Dia sudah curiga tadi ketika melihat mobil mewah yang terparkir di depan kost, namun dia tak menyangka bahwa pemilik mobil itu merupakan tamu dari tunangannya yang selama tiga tahun ini bersamanya.
“Kamu jangan percaya omongannya, Mas,” ucap Maura. Daniel memegang tangan Maura yang bergetar.
“Aku hanya mau tanya satu hal, kamu hanya perlu menjawab benar atau enggak.” Daniel menggantung kalimatnya, menunggu anggukan dari Maura. Maura menatap dengan mata besarnya.
“Apa benar kamu pernah tidur dengannya? Aku berharap kalian enggak sampai melakukan itu Maura, aku percaya kamu masih perawan,” ucap Daniel lembut. Namun kata-katanya justru melukai hati Maura sangat dalam. Dia tidak mau berbohong, namun ... dia juga tidak bisa jujur saat ini. Dia memang pernah melakukannya, itu adalah kesalahan besar dalam hidupnya, namun tidak seperti yang dipikirkan oleh Daniel.
Maura hanya terdiam hingga Daniel melepas pegangan tangannya. “Aku sudah tahu jawabannya, kamu enggak perlu khawatir dengan rumah yang kita beli bersama, aku akan membayar uang muka yang kamu berikan, tapi biarlah itu menjadi rumah aku, anggap sebagai permohonan maaf karena kamu membohongi aku,” ucap Daniel pelan namun tegas.
“Mas, itu hanya masa lalu dan enggak seperti itu kejadiannya. Aku bahkan sudah melupakannya,” ucap Maura.
“Jika kamu bisa melupakan laki-laki yang merenggut harga diri kamu, itu berarti kamu akan mudah melupakan aku. Ya kan?” ucap Daniel seraya tersenyum sinis.
“Kita sudah dewasa Maura, selama ini aku percaya kamu wanita baik-baik yang menjaga harga diri kamu. Kamu yang selalu menolak seolah-olah belum pernah melakukannya, padahal status kita sudah bertunangan. Tapi ... sekarang aku tahu, kamu hanya enggak terlalu mencintaiku sampai enggak mau melakukan itu, aku kecewa sama kamu Ra, kita akhiri saja sampai di sini,” ucap Daniel seraya berdiri. Maura memegang tangan Daniel, memohon dengan mengiba, air matanya jatuh berurai.
“Mas, kumohon, bukankah seharusnya kita menikah sebentar lagi,” isak Maura.
“Seandainya kamu lebih jujur ke aku Ra, aku enggak akan sekecewa ini,” ucap Daniel, mengempaskan tangan Maura. Maura tahu Daniel pasti sangat kecewa terhadapnya, karena itu dia membiarkan Daniel pergi ke kamar kostnya yang berada di seberang. Bisa terlihat Daniel yang membanting pintu kamarnya.
Maura hanya tidak menyangka hal yang dia sembunyikan selama ini, hal yang selalu ingin dikuburnya rapat-rapat. Kini seolah menghantamnya dengan sangat keras. Tanpa dia duga, tanpa dia sangka.
Selama ini Maura memang menghormati Daniel, meskipun dia merasa sangat sulit mencintai Daniel karena mungkin hatinya yang lama tertutup. Namun bersama Daniel yang dewasa membuatnya sangat nyaman. Daniel menjaganya selama ini. Menerima keadaan keluarga Maura yang berantakan.
Maura tersentak dari lamunan ketika mendengar dering panggilan masuk dari salah satu rekan kerjanya. Astaga Maura bahkan lupa bahwa dia ada rapat pagi ini.
“Ya, aku berangkat sekarang,” tutur Maura lemah. Dia menatap onggokan tas makanan yang dibawakan Daniel tadi, membuat hati Maura tersayat. Di ambil satu potong ayam tepung itu. Dia memakannya sambil jalan dengan sisa-sisa hatinya yang remuk.
***
Sebuah mobil mewah memasuki gerbang besar menuju satu-satunya rumah megah yang berada di dalam jalanan itu. Di sepanjang jalanan ditumbuhi tanaman rambat juga pohon palm yang tingginya sejajar, menunjukkan bahwa seluruh tanaman itu dirawat dengan baik.
Pria muda itu ke luar dari mobil seraya mengendurkan dasi yang mengikat lehernya. Beberapa pelayan berpakaian seragam berwarna hitam ke luar dari rumah megah itu. Membungkuk hormat pada Ardana yang menyodorkan tas juga jasnya.
“Tuan dan Nyonya sudah menunggu di dalam,” tutur salah satu pelayan wanita itu. Ardana hanya berdehem dan masuk, langsung menuju ruang makan, di mana kedua orang tuanya sudah berada. Tampak ayahnya mengenakan pakaian santai, membaca koran yang mungkin belum sempat dibacanya pagi ini. Juga terlihat olehnya seorang wanita berpakaian rapih meski hanya di rumah saja, wajahnya yang full make up juga cincin berlian yang selalu dikenakannya. Tak pernah dia tampak polos tanpa perhiasan meski haya di rumah saja. Dia lah Alisia, ibu dari Ardana, sementara pria di sebelahnya adalah Randu Abiputra. Ayah dari Ardana.
Ardana duduk di salah satu kursi, menghadap sang ibu. Makanan sudah tersaji di meja. Ardana memang lebih sering menghabiskan waktu di apartmen miliknya yang berada di lantai teratas sejak kembali ke Indonesia. Mungkin ini ke tiga kalinya dia masuk ke rumah ini, rumah yang dihuninya sejak kecil. Rumah yang selalu membuatnya sesak ketika dia memasukinya, karena memasuki rumah ini seolah dia berada di penjara. Tak pernah dia bisa melakukan semuanya sesuka hati.
Orang tuanya selalu mengaturnya, terlebih dia adalah anak tunggal. Semua jadwal dari bangun tidur sampai tidur kembali sudah diatur oleh managernya yang hanya berkordinasi dengan Alisia, ibunya. Pelajaran, guru, sampai sekolah dipilih oleh mereka.
Hingga ketika SMA, Ardana mulai membangkang, lelah dengan hidup yang seolah bukan miliknya. Dia tidak takut apa-apa lagi. Ancaman orang tuanya hanya dianggap omong kosong belaka. Hingga dia jatuh cinta dengan seorang gadis, dan selain sebagai kekuatannya, gadis itu juga adalah kelemahannya. Karena gadis bernama Maura Lovata itu, dia kembali tunduk dengan orang tuanya. Ya hanya demi gadis itu, dia seolah mati kembali.
Ardana meminum air mineral yang tersedia di meja. Makanan sebanyak itu tidak satu pun menggugah seleranya. Terbayang wajah sedih Maura tadi, dia sungguh tidak menginginkan itu namun dia tak kuasa, hanya ini kesempatannya memiliki Maura, dia tidak tahu lagi jika Maura menikah, dia tidak akan punya alasan untuk bersama wanita yang dia cintai sejak dulu itu.
“Jelaskan kepadaku, apa yang kalian lakukan terhadap Maura sembilan tahun lalu? Kenapa dia sangat membenciku?” ucap Ardana, ibu Ardana terkejut namun tidak dengan suaminya. Melipat koran dan meletakkan di meja, hingga seorang pelayan mengambil koran itu. Pria tua itu tetap tenang, menerima layanan dari istrinya yang menyendokkan nasi juga lauk ke piringnya.
“Kami enggak melakukan apa-apa, memang dia yang ingin mengakhiri hubungan kalian kan?” ucap ibunya, Ardana bisa melihat gerakan sang ibu yang kaku seolah dia telah melakukan dosa besar.
“Jangan bohong. Sekarang aku sudah dewasa, aku berhak melakukan apa pun juga. Terserah apa yang kalian lakukan padanya di masa lalu. Tapi mulai kini aku akan bertindak sesuka hati aku!” ujar Ardana seraya beranjak. Percuma bertanya pada orang tuanya. Mereka tidak akan menjawabnya.
Sepeninggal Ardana, Alisia menatap sang suami dengan pandangan bingung.
“Bukannya wanita itu sudah mati? Kenapa dia bilang wanita itu membencinya? Apa mereka bertemu lagi?” tanya Alisia.
“Yang mati ayahnya! Lagi pula kita masih membutuhkannya untuk menyetir Ardana.” Randu menyuap makanannya dengan tenang. Sang istri tersenyum sinis, matanya menyiratkan amarah.
“Kita yang membutuhkannya, apa kamu yang tidak tega karena dia anak dari selingkuhan kamu?” ujarnya sinis. Randu terdiam beberapa saat, lalu melanjutkan makannya seolah ucapan sang istri hanya angin lalu.
***