Pada akhirnya Maura tidak bisa mengunjungi ibunya hari ini. Sudah pukul sepuluh malam dan dia baru menyelesaikan shooting untuk programnya. Jika ratingnya kecil kemungkinan program ini tidak akan dilanjutkan karena program kuis ini hanya program percobaan saja. Tidak banyak penikmat kuis belakangan ini. Orang lebih senang menonton gosip selebriti papan atas, talk show yang justru mengupas masalah pembawa acara dibanding guestnya, juga sketsa komedy yang menyindir pemerintahan.
Maura baru saja tiba di cafe milik Sherly, cafe itu masih beroperasi karena baru akan tutup satu jam lagi, dia langsung naik ke atas, Sherly dan Diva sudah menunggunya. Sesampai di lantai atas dia melihat banyak sekali tentengan yang berserakan di sofa dan meja, beberapa di antaranya sudah terbuka dan isinya sudah ke luar dari tempatnya, ada tas, baju, sepatu dan lain sebagainya.
“Orang sibuk baru datang,” sindir Sherly membuat Maura mendengus, memang sudah biasa wanita itu berkata ketus namun tentu saja tidak dari hatinya.
“Cerah banget kayaknya,” ucap Maura ke arah Diva yang cengengesan, padahal dia yang mempertemukan Maura dengan Ardana hingga dunianya seolah hancur kembali kini. Berantakan.
“Yes dong, kalian harus nikah pokoknya, saat jarinya bermain di pusat sensitif, duh enggak bisa dilukiskan dengan kata-kata, itu baru jari apalagi kalau-s**t!” cebik Diva karena wajahnya sudah terkena lemparan baju oleh Sherly.
“Jangan bicara hal kayak ini ke jomblo macam kita! Tabok nih!” cebik Sherly membuat Maura tertawa.
“Ok i know kamu jomblo, but Maura kan enggak? Ya enggak Ra, nanti honeymoon di tempatku deh pasti betah terus di kamar,” ucap Diva membuat Maura hanya tersenyum getir.
“Maura sudah bubar dengan Daniel, gara-gara cinta pertamanya,” celoteh Sherly seraya mengambil minuman dingin dari kulkas, memberikan salah satu minuman dalam kemasan itu ke Maura dan satunya untuk Diva.
“What? Ada apa lagi dengan Ardana?” tanya Diva yang memang tidak mengetahuinya. Baik Sherly atau Maura tidak mau merusak malam indah sahabatnya karena permasalahannya.
“Dia datang, ngajak aku nikah, dan di depan Daniel. Daniel marah lalu ngajak aku putus, sekarang sepertinya Daniel sudah berpacaran dengan adminnya, Sonia,” ucap Maura santai, menenggak cola dari kaleng miliknya.
“Oemjiii, apa selama ini Daniel selingkuh?” tanya Diva.
“Entah, sepertinya enggak. Sudah lah enggak perlu dibahas, kamu bawa apa banyak banget?” tanya Maura.
“Hanya barang enggak penting,” cebik Sherly, penampilan Sherly memang sangat casual sementara yang dibawakan Diva adalah sepatu-sepatu yang sangat girly juga gaun tidur seksi. Untuk apa coba?
“Ish, you enggak tahu sih, barang-barang ini susah di dapat di Indo, ck!” decih Diva sebal, merasa Sherly tidak menghargai pemberiannya.
“Tapi benar kata Sherly, dibanding barang seperti ini yang mungkin enggak kita pakai, kenapa enggak kasih mentahnya aja?” ujar Maura membuat dua sahabatnya menoleh ke arahnya.
“Ra, you need a money?” tanya Diva.
“Enggak, bercanda,” kekeh Maura, “ya sebenarnya ibuku masuk rumah sakit, tapi aku sudah bayar biayanya pakai kartu kredit, tenang saja. Aman untuk sementara ini,” imbuhnya.
“Ra, kamu tahu kan kita selalu ada untuk kamu, hubungi kami kalau kamu butuh,” ucap Sherly yang disetujui Diva. Maura hanya mengangguk seraya merentangkan tangannya, di saat seperti ini dia sangat senang karena dia memiliki sahabat yang mau mendengarkannya.
***
Pagi hari Maura memasak sayur sop daging untuk ibunya, barangkali masakan rumah sakit terasa hambar. Dia sengaja membesuk sang ibu di pagi hari karena siang nanti dia ada meeting kordinasi dengan para tim dan juga atasannya.
Sesampai di rumah sakit, dia melihat ibunya yang tertidur sangat pulas, sementara Elvan sudah berangkat sekolah. Maura yang menerima sarapan sang ibu dan berterima kasih pada petugas yang membawakannya. Lalu dia menuang sup dari termos khusus ke mangkuk yang memang dia bawa. Dia menyiapkan sarapan untuk sang ibu. Mencium aroma harum masakan Maura, membuat ibunya mengernyitkan kening dan terbangun. Dia bangkit dibantu oleh Maura meski tubuhnya seolah menolak sentuhan putrinya.
Maura hanya memaksakan senyumnya, menarik meja khusus yang menempel di ranjang dan menyiapkan sarapan untuk ibunya.
“Dimakan ya Bu,” ujar Maura, dia kembali duduk dan memperhatikan ibunya yang menyuap sayur sop buatannya tanpa keluhan yang berarti.
“Saya mau ke luar dari rumah sakit,” ucapnya sambil mengunyah makanan.
“Tapi ibu masih harus dipantau, kondisi ibu masih belum baik,” ucap Maura.
“Kamu tahu ini rumah sakit swasta kan? Dan di sini biaya perawatan mahal. Saya enggak mau hutang budi sama kamu,” decihnya. Maura mengerti, sejak kematian ayahnya memang sang ibu selalu ketus dengannya karena menganggap bahwa Mauralah yang membuat suaminya meninggal.
“Bu, mana ada orang tua yang hutang budi sama anak. Ibu jangan pikirkan masalah biaya, yang penting ibu sehat.”
“Kamu sudah bertemu Ardana lagi? Apa kamu kembali bersamanya?” tanya ibu Maura.
“I-ibu tahu dari mana dia kembali ke Indonesia? Apa dia bertemu ibu? Apa dia yang membuat ibu seperti ini?”
“Kamu enggak akan bisa bersama dengan dia, sebaiknya kamu segera melangsungkan pernikahan dengan Daniel,” ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Maura.
“Aku sama Daniel sudah putus, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan mencoba untuk kembali bersamanya,” tutur Maura, tidak mau ibunya khawatir dan kembali drop.
“Daniel punya keluarga yang baik, perekonomiannya stabil dan dia pintar. Kamu harus mendapatkannya jika ingin kehidupan seperti yang dijalani saya dan ayah Elvan,” ucap ibu Maura. Maura hanya mengangguk, dia sedang tidak ingin berdebat atau menjelaskan secara rinci karena ibunya belum tentu mau mengerti. Melihat ibunya yang sudah tidak semarah kemarin saja sudah membuatnya diterpa kelegaan yang luar biasa.
Maura tersenyum simpul ketika melihat ibunya menghabiskan sarapan pagi ini, dia masih memiliki sop setengah termos dan mungkin bisa dimakan ibunya siang nanti. Setelah makan, dia memberikan obat untuk ibunya.
Ada sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya, Maura terpaksa menerima panggilan itu karena dari atasannya.
“Iya mbak, baik saya ke kantor sekarang,” ucap Maura. Lalu dia menoleh ke arah ibunya.
“Pergi lah, saya baik-baik saja di sini, banyak perawat juga,” ucap ibu Maura seraya membuang pandangan ke arah lain.
“Setelah urusan selesai aku akan kembali ke sini.”
“Enggak perlu, ada Elvan nanti.” Maura hanya menghela napas panjang. Dia berpamitan dan keluar dari rumah sakit. Uang di dompetnya sangat sedikit, dia tidak bisa naik taksi. Karena itu dia memilih memesan ojek online agar cepat sampai meskipun matahari pagi menjelang siang ini sangat terik.
***
Di kantor, Maura yang sedang tergesa itu harus dihadang oleh petugas keamanan.
“Mau ke mana mbak?” tanya petugas keamanan itu.
“Mau kerja, Pak. Ini enggak lihat id card saya?” tunjuk Maura ke id yang tergantung di lehernya.
“Iya saya tahu, tapi mbak lihat kan yang lain saja belum bisa ke lift.” Pria itu menunjuk para karyawan yang masih berkumpul di lobbi.
“Memangnya ada apa?” tanya Maura.
“Anaknya bapak akan datang, jadi area harus clear, nah itu dia. Sebaiknya mbak tunggu sebentar lagi ya,” ucapnya. Maura memaklumi, pekerjaan mereka memang seperti itu. Dari kejauhan dia melihat wanita cantik yang mengenakan terusan selutut berwarna putih dengan blazer yang berwarna hitam, rambutnya tergerai indah sekali, wajahnya tampak terawat begitu pula kulitnya yang putih. Wanita dengan mata yang agak sipit itu tersenyum ke orang-orang di sekitar yang berbincang dengannya, lalu dia menuju lift area.
Maura memperhatikan penampilannya sendiri, melihat dirinya yang kusut. Hanya mengenakan kaos warna hitam dengan jaket jeans belel, juga celana jeans yang sepertinya sudah menemani selama lima tahun ini. Rambutnya yang dikuncir tinggi, juga sepatu warrior warna merah bata. Bagai langit dan bumi, pikir Maura. Lalu dia dan para karyawan dipersilakan menuju area lift setelah anak dari CEO yang kabarnya akan menggantikan CEO sekarang ini masuk ke lift menuju ruang kerjanya.
Tiba di ruang kerjanya, Maura langsung menuju ruang bosnya, wajahnya tampak sangat kusut. Wanita bernama Yosephine yang memilih melajang itu tersenyum kecut pada Maura.
“Ada apa, Mbak?” tanya Maura.
“Kamu enggak lihat berita atau bagaimana?” tanyanya. Maura mengerjapkan matanya dan menggeleng lalu dia duduk di kursi bersebrangan dengan kursi atasannya.
Yosephine memutar laptop ke arah Maura, “host program kamu tertangkap narkoba. Kamu tahu? Acara kamu tidak akan bisa ditayangkan,” ujar Yosephine geram.
“Mbak, enggak mungkin kan? Kita kemarin sudah menyelesaikan shooting tiga episode lho,” ujar Maura.
“Ya terus mau tetap ditayangkan? Yang ada kita dicekal nanti! Perusahaan pasti merugi dan ah siall!” rutuk Yosephine ketika ponselnya menunjukkan panggilan dari general manager.
“Mbak,” panggil Maura sedih, dia sudah menayangkan tujuh episode dari sepuluh episode yang disetujui oleh general manager untuk dicoba di slot program. Selama ini ratingnya termasuk aman sehingga tetap pada kesepakatan awal untuk mencoba sepuluh episode yang ditayangkan setiap hari, setelah itu barulah evaluasi program untuk diteruskan atau tidak? Namun dia harus gigit jari jika tiga episode lagi tidak ditayangkan.
Perusahaan tentu rugi, membayar bintang tamu, mencari program ganti yang tentu akan melibatkan para klien yang memesan iklan. Maura menarik rambutnya kesal, sementara Yosephine menerima panggilan itu dengan wajah yang juga kusut sepertinya.
“Mati kita, divisi kita terancam enggak dapat bonus tahunan bulan depan,” ujar Yosephine menatap pilu pada Maura. Sesaat setelah memutuskan panggilan tersebut.
“Mbak, apa enggak ada cara lain?”
“Kamu tahu kan kuis harusnya tayang saat ini, dan dengan terpaksa menayangkan film box office. Apa ada yang nonton box office di pagi seperti ini? Banyak klien mundur dari iklan, terlebih durasi box office sangat lama yang enggak memungkinkan menyisipkan commercial break yang panjang. RunTv benar-benar dirugikan karena masalah ini, dan kita harus memutar otak untuk dua hari berikutnya. Enggak mungkin memotong bagian host itu karena hampir semua frame ada wajah dia,” ucap Yosephine, panggilan teleponnya berdering dia tahu timnya benar-benar kesulitan sekarang ini.
Maura diminta ke luar dari ruangannya. Wanita itu terkulai lemah menuju teman-teman satu timnya yang sudah membentuk konfrensi meja bundar mungkin untuk menyidangnya. Maura benar-benar pasrah. Lalu teman tim lain melewati mereka seraya tersenyum sinis.
“Dapat masalah ya?” ujar mereka dengan sombongnya. Memang tim kreatif terdiri dari beberapa tim dengan satu head section. Tim Maura sendiri dipimpin oleh Yosephine, berbeda dengan beberapa tim lain yang memiliki fokus program sendiri.
“Mau kalian apa hah!!” ujar teman Maura menggebrak meja.
“Sudah-sudah biar aja anjing menggonggong, kita fokus aja siapin acara untuk mengisi slot kosong,” ucap teman Maura lainnya.
“Oh kalian enggak tahu? Tim kami yang akan ngisi acara untuk dua hari itu, dan kalian akan dikecualikan, tidak dapat proyek selama dua bulan ini, oiya satu lagi, kalian enggak akan dapat bonus tahunan. Padahal kabarnya bonus tahun ini bisa mencapai sepuluh kali gaji lho,” ujarnya memprovokasi. Maura tidak bisa apa-apa lagi selain mengetukkan kepalanya ke meja. Semua rekan satu timnya terkulai lemas menerima kenyataan ini.
Apa yang harus Maura lakukan untuk menyelamatkan timnya? Sementara dia tahu mereka semua pun sama sepertinya sedang butuh uang. Bonus ibarat angin segar bagi seluruh karyawan RunTV. Semua karenanya, Maura mengutuk dirinya sendiri yang tidak becus menjadi ketua tim.
***