Love Is Sinta Bab 12 - Janji Palsu

1472 Kata
Sebelum ke kantor, Agus mampir ke kontrakannya dulu. Dia ingin menemui Iwan, teman satu kontrakannya dulu. Agus berniat untuk menawari Iwan kerja di kantornya, karena Eyang Hadi membutuhkan karyawan lagi. “Wah... mimpi apa aku semalam, Bang, abang datang pagi-pagi sekali. Gimana nih, rasanya punya istri?” Iwan langsung menyambut kedatangan Agus dengan gembira. “Nanti juga kamu merasakan, Wan,” jawab Agus. “Kamu belum berangkat ke pabrik?” tanya Agus. “Aku sedang di rumahkan, Bang, mulai hari ini, entah sampai kapan, ini juga rencana mau cari-cari pekerjaan lain,” jawab Iwan “Kebetulan, Wan, bagian gudang kata Eyang membutuhkan beberapa karyawan lagi, kamu mau? Kalau mau nanti siang kamu menemui HRD, biar abang bilang sama Eyang,” ucap Agus. “Widiiihh.... baru jadi cucu menantunya sudah main nepotisme nih, Abang,” seloroh Iwan. “Bukan Nepotisme, Wan. Eyang tadi malam telfon, memang sedang butuh karyawan, kalau nepotisme, enggak ada lowongan, aku main masukin saja,” ujar Agus. “Iya juga, ya? Ya sudah, Bang. Nanti siang Iwan ke sana,” ucap Iwan. “Abang ada apa ke sini? Suntuk sekali wajahnya, pengantin baru malah kusut seperti ini, Bang,” ledek Iwan. “Semalam lembur sampai pagi,” jawab Agus dengan terkekeh. “Wah... berapa ronde, Bang?” tanya Iwan dengan berkelakar. “Sudah jangan bicara itu, Abang ke kantor, jangan lupa nanti agak siangan ke kantor, atau sekarang siap-siap juga boleh,” ujar Agus. “Siap, Bang!” jawab Iwan degan semangat. Agus mengemudikan mobilnya menuju kantor. Dia sebenarnya tidak ingin mengemban jabatannya sekarang, tapi Eyang Hadi terus memaksanya. Agus tidak mengerti kenapa Eyangnya itu melakukan ini semua. Agus terpaksa harus mengabulkan permintaan Atasan sekaligus eyangnya. Agus sampai di kantornya. Semua karyawan menundukan kepalanya pada Agus. Agus tidak mengerti kenapa semua karyawan di kantornya memperlakukan itu pada Agus. “Wah... CEO kok baru berangkat,” ledek Heri yang juga bekerja di kantor Pak Hadi, sekaligus orang kepercayaan Pak Hadi dan Agus. “Ini ada apa, Heri?” tanya Agus. “Maksudmu CEO?” imbuh Agus. “Ya sudah sana masuk ke ruangan Pak Agus,” ucap Heri. Agus langsung masuk ke ruangannya yang lama bersama dengan rekan kerja satu team nya yang lain. “Pak, ruangan Pak Agus di sana sekarang,” ujar salah satu karyawan yang tadinya satu ruangan dengan Agus. “Di sana? jangan bercanda deh, Lus,” ucap Agus pada Lusi. “Pak, itu sudah di tunggu Pak Hadi, dan ruangan Pak Agus di sana sekarang,” ucap Lusi. “Di sana?” tanya Agus. “Iya, masa aku bohong, Pak,” ucap Lusi meyakinkan. Agus berjalan ke ruangan yang bertuliskan Direktur Utama. Betapa kagetnya dia, nama Direktur Utamanya sekarang terpamopang namanya, padahal dia menolak pada eyangnya untuk di jadikan Direktur Utama. “Gus,” panggi Eyang Hadi. “Pak Hadi, ini kenapa seperti ini?” tanya Agus. “Ayo masuk ke dalam,” ajak Pak Hadi. Meski dia di rumah memanggil eyang, dia di kantor tetap memanggil Pak Hadi. Agus masuk ke dalam ruangan Direktur Utama. Agus sama sekali tidak menginginkan posisi ini, karena dia lebih senang bekerja di lapangan. “Duduk di sana, Gus,” titah Pak Hadi pada Agus untuk duduk di kursi kebesarannya yang dulu beliau duduki. “Pak, saya belum pantas dengan jabatan ini, saya tidak bisa,” ucap Agus dengan gugup. “Kamu pasti bisa, Agus,” ucap Pak Hadi dengan menepuk pundak Agus. “Jangan dengarkan kata-kata Sinta, biarkan dia berkata kamu menikahinya karena ingin jabatan ini. Eyang mengutus kamu menjadi Direktur Utama, karena Eyang percaya dengan kerja kamu, Agus. Lihat proyek yang kamu handle, semua cepat terselesaikan, dan perusahaan kita semakin berkembang memiliki orang seperti kamu,” ujar Pak Hadi. “Agus belum bisa mengemban semua ini, Pak,” ucap Agus. “Aku ini Eyang kamu, bukan bos kamu,” ujar Pak Hadi. “Eyang, ini terlalu berlebihan, Agus butuh bantuan Eyang, Agus tidak bisa menjalankan ini sendirian, Eyang,” ucap Agus. “Eyang di belakangmu, Nak. Eyang sudah ingin tenang di rumah, Sinta sudah bersama laki-laki yang tepat, jaga cucu eyang satu-satunya. Eyang takut, dia semakin nekat menemui Rangga seperti semalam,” ucap Eyang Hadi. Agus terdiam sejenak mencerna ucapan eyangnya yang berkata Sinta semalam menemui Rangga. Agus sama sekali tidak memberitahukan eyangnya perihal Sinta menemui Rangga, tapi Eyang Hadi tahu, dan Agus tidak tahu, eyangnya tahu dari mana. “Sebentar, Eyang tahu, semalam Sinta menemui Rangga?” tanya Agus. “Ya, eyang semalam mau ke rumah kamu, tapi melihat Sinta pergi sendiri pakai mobilnya, dan selang beberapa menit kamu juga pergi. Eyang mengikuti mobil kamu, dan ternyata ke Bar milik Rangga, ada Heri juga, kan?” jela Eyang Hadi. “Iya, semalam Agus mengikuti Sinta, sebelum itu Agus menyuruh Heri mengikuti Sinta dulu. Walau bagaimanapun, Sinta tanggung jawabku, Eyang. Meski aku belum mengenal Sinta, dan Sinta juga belum mengenal aku,” ucap Agus. “Kamu mencintai cucu eyang?” tanya Eyang Hadi. “Aku sangat mencintainya, Eyang,” jawab Agus yang hanya terlintas di dalam hatinya. “Tidak usah di jawab, eyang tahu jawabannya kok,” ucap Eyang Hadi. “Eyang bisa saja,” ucap Agus. Agus meminta eyangnya mengajari apa saja tugas Agus sekarang. Meski ruangan Agus sudah berpindah, tapi dia tetap ingin memimpin proyeknya yang masih berjalan. Dia tidak ingin meninggalkan pekerjaannya yang dulu. Eyang Hadi tidak keberatan soal hal itu, karena beliau tahu, Agus adalah pekerja yang andal dan profesional, jadi Eyang Hadi tidak meragukan jika dia masih mengingkan meneruskan proyeknya. ^^^ Siang hari saat jam makan siang, Agus mengingat Sinta yang katanya hari ini ada pekerjaan sampai malam. Agus mengirim pesan untuk Sinta, meski terus di acuhkan Sinta, dan selalu mendapat ucapan pedas dari Sinta Agus tetap memberi perhatian istrinya. “Sin, jangan lupa makan siang.” Agus mengirimkan pesan seperti itu pada Sinta. Agus melihat foto profil Sinta bersama Rangga. Ada rasa sesak di dalam rongga dadanya melihat foto Sinta yang sedang mencium pipi Rangga. “Sabar, Gus, namanya juga nikah di paksa, lagian siapa suruh kamu mencintai Sinta,” gumam Agus. Agus meletakan ponselnya karena pesannya belum di balas oleh Sinta. Dia keluar dari ruangannya dan meninggalkan ponselnya di atas meja kerjanya. Agus menuju mushola untuk menunaikan sholat dhuhur. Hatinya menjadi gundah gulana setelah melihat foto Sinta bersama dengan Rangga. ^^^ Sinta masih berada di lokasi pemotretan bersama Minah, sang Asisten yang selalu setia. Dia istirahat sejenak sebelum melanjutkan ke sesi pemotretan selanjutnya. Sinta mengambil ponselnya dan membukanya. Sinta berharap Rangga mengirimkan kabar padanya, tapi harapannya sirna, karena Rangga tidak membetikan kabar sama sekali sejak tadi pagi. Sinta hanya melihat satu pesan dari kontak yang ia namai “Si Kacung”. Ya, pesan itu dari Agus, dan dia memberi nama Agus di kontaknya dengan nama Si Kacung. “Ngapain Agus Si Kacung kirim pesan?” ucapnya lirih dengan membuka pesan Agus. “Enggak usah sok-sok’an perhatian lah, Gus!” umpatnya dengan kesal dan menaruh ponselnya lagi ke dalam tasnya. Sinta masih sebal, kenapa Rangga setelah dia pulang dari Bar nya belum memberi kabar sama sekali, apalagi dia memikirkan foto yang Agus perlihatkan semalam, Rangga sedang b******u dengan para wanita di bar-nya. “Kenapa Rangga tidak berubah? Dia selalu janji dan janji ingin berubah, tapi nyatanya seperti itu, hanya janji palsu yang ia katakan,” gumam Sinta dengan kesal. Sinta mendengar ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk dari Rangga. Dia tersenyum dan rasa kesalnya pada Rangga hilang seketika. Sinta langsung mengangkat telfon dari Rangga. “Sayang, kamu dari mana saja? Dari semalam sampai sekarang tidak ada kabar,” ucap Sinta dengan kesal. “Aku kan bilang, aku sangat sibuk sekali,  bukannya tadi pagi aku ngasih kabar kamu?” ucap Rangga. “Iya, tahu, tapi kamu Cuma jawab tidak bisa mengantar aku karena sibuk, kan?” ucap Sinta. Samar-samar Sinta mendengar suara perempuan yang tidak jauh dari Rangga. Sinta memikirkan video semalam yang diperlihatkan Agus, yang menampkkan Rangga sedang b******u dengan wanita lain. “Sayang, kamu dengan siapa?” tanya Sinta. “A--aku, sendirian,” jawabnya setengah gugup dan terbata-bata. “Oh, aku kira sedang bersama siapa,” ucap Sinta dengan setengah tidak percaya. “Sayang, aku butuh uang untuk menambah modal usahaku,” ucap Rangga. “Bukan untuk judi dan main perempuan?” tanya Sinta. “Kok kamu seperti itu, Sayang?” ucap Rangga. “Aku benar-benar butuh tambahan uang, Sayang,” imbuh Rangga. “Iya, nanti aku transfer. Aku kerja lagi, ya?” ucap Sinta. “Oke, kamu hati-hati, ya? Aku tunggu kamu transfer, love you,” ucap Rangga. “Hmm...,” ucap Sinta dengan menutup telfonnya. Mood Sinta semakin berantakan, karena dia jelas-jelas mendengar Rangga sedang bersama wanita, di tambah Rangga meminta uang lagi. Namun, entah mengapa Sinta langsung mengabulkan permintaan Rangga, dia langsung mengirim uang untuk kekasihnya itu, sesuai yang Rangga inginkan. “Kamu uangnya untuk apa sih, Ngga? Masa minta modal terus?” gumam Sinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN