05. Merebut Sarapan Rania

1369 Kata
Malam hari kembali tiba dan itu menjadi masalah lagi bagi Rania. Pasalnya setelah sempat berdebat dengan Arga, dia kembali harus tinggal sekamar. Rania tak mau dan tentu saja menolaknya mentah-mentah. "Kamu berani membantah?!" geram Arga sambil menatap tajam dan mengintimidasi dengan dinginnya. Melipat tangan di depan d**a, sembari mengeluarkan aura mendominasi yang membuat Rania segera merinding dan meringis takut. Seolah tak puas dengan itu Arga mendekatinya dan memangkas jarak diantara mereka. "Ak-aku tidak bermaksud be-begitu Pak," jawab Rania sambil meneguk ludahnya kasar. "Aku hanya memastikan ka-kalau kita tidak mungkin tidur bersama. Kamu laki-laki sementara, aku perempuan Pak. Kita orang asing jadi kita tak mungkin sekamar," jawab Rania hati-hati dan sedikit gugup karenanya. Arga meremas telapak tangannya sendiri, kemudian brakk ... dia mendorong dam langsung menghimpit istrinya ke tembok. "Coba saja tidur di kamar lain, kamu tidak akan bisa!" jelasnya dengan tegas dan membuat kerutan langsung terlihat di jidat Rania. Puas mengatakan hal itu Arga berlanjut dan segera mencengkram rahang Rania dengan mudahnya. Dia semakin menekan Rania, bermaksud supaya perempuan dihadapannya segera sadar akan posisinya. Namun karena tak kunjung membuahkan hasil, Arga menyerah dan sedikit menghempaskan wajah Rania ke kanan. "Kita bukan orang asing!" tegasnya dengan dingin, sebelum kemudian berlalu dari sana entah kenapa. Rania tertegun dan segera meluruh terduduk karena merasa lemas. Seperginya Arga dia segera meringkuk memeluk lututnya dengan frustasi. Setelah beberapa saat merasa tenang, barulah kemudian Rania mencari kamar untuk dirinya sendiri tidur malam itu. Dia memang takut, tapi sepertinya ketakutannya pada perbuatan akan diapa-apakan suaminya lebih menakutkan, daripada ancaman lewat kata-katanya. Cklek-clekk! Kening Rania mengerut merasa bingung dengan pintu yang sepertinya terkunci. Dia kecewa, tapi kemudian tak menyerah dan segera mencoba membuka kunci kamar lainnya. Sayangnya, selain kamar yang sudah lebih dahulu Arga tempati, semua kamar di rumah itu terkunci. Jadi Arga benar-benar tak main-main dengan ucapannya. Rania memang tak bisa tidur di kamar lain di rumah itu. "Tidak masalah. Aku bisa tidur di ruang tamu!" seru Rania yang kemudian langsung melakukan ucapannya. Dia sangat keras kepala dan segera tidur di sofa. Arga yang ternyata menunggunya di kamar pun jadi kesal, tapi kemudian diapun acuh tak acuh. "Dasar keras kepala dan pembangkang. Baru sehari menjadi istri sudah berani melawan begini!" geramnya kesal. ***** Keesokan hari berikutnya, Laura dipanggil oleh nyonya besarnya Andini. Seperti pucuk dicintai ulam pun tiba, kabar baik segera menghampiri Laura. Padahal baru semalam dia memimpikan bisa seatap pagi dengan Arga dan paginya langsung terwujud. Pasalnya Andini memintanya agar ikut pindah ke rumah Arga anaknya, sebab dia pikir anaknya itu butuh asisten rumah tangga dan memang tak mungkin secepat itu didapatkan. "Kamu bekerja di sana saja, dan tolong bantu anak-menantuku itu," jelasnya dengan penuh harap. Andini masih marah dan kecewa, tapi sepertinya lagi-lagi jiwa keibuan membuatnya tak tega. Setelah merasa dikecewakan, rupanya dia masih tak bisa berhenti untuk memperdulikan. Rania masih kuliah, pasti fokus pada pendidikannya, sementara Arga pasti sibuk dengan pekerjaannya. Andini pikir inilah solusinya. Pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah tangga untuk pengantin baru itu. Akan tetapi setelah mengatakan dam Laura dengan gampangnya setuju, Andini tiba-tiba saja merasa ganjil. "Eh, tapi jangan deh Laura!" seru Andini kemudian berubah pikiran. Laura segera kecewa dan tak terima. Dia seperti diterbangkan kemudian dihempaskan ke tanah begitu saja. "Kenapa Nya?" tanya Laura heran. "Kamu tetap bantu mereka saja, tapi jangan tinggal di sana. Kamu tetap disini saja. Tiap hari Budi supir di rumah ini akan mengantarkan mu ke sana, dan apabila kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu kamu bisa memanggilnya dan pulang ke sini lagi," jelas Andini setelah mempertimbangkan. Ah, ya. Itu sudah benar. Membantu pengantin baru, tapi tanpa menggangu keduanya. Andini pikir itu sudah keputusan yang terbaik. Laura segera kembali ke kamarnya, setelah menemui sang nyonya. Mengumpat di sana dengan gusar karena merasa dipermainkan. "Dasar tua bangka, pandai sekali membuatku serasa terbang ke awan, tapi setelahnya dengan keji malah menghempaskan ku!" kesal Laura. "Sial, tapi baiklah. Ini tak buruk juga, setidaknya aku masih bisa bertemu dengan tuan Arga!" seru Laura melanjutkan ucapannya. "Setidaknya, walaupun kesempatannya tipis, tapi masih ada dan aku bisa menggunakannya dengan baik untuk merebut tuan Arga!" ***** Tak mau menyia-nyiakan waktu, Laura yang sudah diperintah untuk melakukan tugasnya membereskan pekerjaan di rumah Arga, segera berangkat dan langsung ke sana untuk bertugas. Dia begitu bersemangat, tapi tentu saja itu semua dengan alasan karena demi bisa melayani orang yang disukai olehnya. Sampai di sana, Laura yang sudah diberi kunci cadangan, segera masuk rumah dan menemukan Rania masih ketiduran di sofa. 'Wah-wah, sepertinya aku beruntung sekali hari ini! Nyonya jala-ng ini sepertinya sudah tidur semalam disini, artinya mereka nggak ngapa-ngapain dong semalam. Bagus sekali itu. Hm, tapi lain kali jangan cuma pisah kamar, pisah rumah sekalian!' batin Laura kesenangan. Puas menatap Rania yang di sofa, dia segera ke dapur. Melakukan kejadian barusan dan pura-pura tak mau ikut campur, walaupun sebetulnya dia tentu saja akan mencampuri nantinya. Memberi luka di pernikahan tuan dan majikannya, kemudian menaburi garam untuk lebih menghancurkannya. "Aku pastikan kalian akan berpisah secepatnya dan aku akan menggantikan posisinya jala-ng itu secepatnya. Menjadi istri dari tuan Arga!" seru Laura yang saat ini sudah sedang memasak. Masakannya tak berselang lama pun jadi dan Arga yang biasa bangun pagi, tiba di dapur dan segera mengerutkan dahi. Heran dengan kehadirannya di sana. "Kamu di sini?" tanya Arga bingung. "Iya Tuan. Nyonya besar menugaskan saya mulai hari ini untuk membereskan rumah ini juga, tapi tak bisa menginap karena saya tetap dituntut tinggal di sana," jelas Laura melemah diakhir kalimatnya. Dia mengiba dan berharap Arga akan kasihan dengan dirinya yang bolak-balik setiap hari karena pekerjaannya. Dengan begitu dia mau majikan kesayangannya itu akan mengusut dan memerintahkannya untuk tinggal di rumahnya yang sekarang. Sayang sekali harapan itu tak jadi dan berganti dengan kecewa. "Oh, yasudah," jawab Arga cuek. "Hm, sekarang pergilah bangunkan Rania di ruang tengah, dia sepertinya tidur di sana karena terlalu keras kepala," lanjut Arga yang mau tak mau segera melakukan tugasnya. Selang sepuluh menit kemudian, Rania tiba di sana. Melihat istrinya tiba, Arga terlihat acuh tak acuh saja. Dia tak menyapa, tapi malah makan dengan dinginnya. Sementara Rania, bukannya ikut duduk di depan meja makan, perempuan itu malah langsung ke pantry. Mempersiapkan sesuatu lalu mengambil roti serta bahan lainnya. Segala memanggangnya dan membuat sarapannya sendiri. Mengabaikan sarapan yang sudah dibuatkan Laura dengan penuh cinta itu. Yah, walaupun cintanya cuma dibuatkan khusus Arga. 'Dasar perempuan menyebalkan. Jelas-jelas sudah ada sarapan di atas meja, tapi malah mau yang lain!' geram Arga membatin sambil mengepalkan tangan. Menyadari hal itu, Laura segera tersenyum. Dia senang mendapati gestur kemarahan yang tuannya tunjukkan. 'Bagus juga jala-ng ini tak sudi makan masakanku, aku takkan tersinggung apalagi sepertinya Tuan Arga marah padanya!' seru Laura membatin sambil menatap puas. Tak berapa saat, roti panggang untuk sarapan yang dibuatkan oleh Rania khusus untuk dirinya sendiri pun jadi. Dia menghidangkannya di piring dan langsung membawanya ke meja makan, kemudian bersiap untuk menyantapnya. Akan tetapi hal tidak terduga tiba-tiba terjadi. "Pak, itu untukku!" rengek Rania segera. Jujur saja dia sangat kelaparan sekarang, sebab sudah melewatkan makan malamnya. Arga tak menjawab selain hanya menatap datar Rania, lalu dengan tampang tak berdosa segera menyantapnya. Mau tak mau, Rania yang melihat Arga sudah menggigitnya. Segera membuatkan yang baru, tapi sayang hal yang sama kembali terjadi. Arga merebutnya dan kembali memakannya lebih dahulu. "Ih, Bapak kok gitu sih, sudah nggak merebut sarapanku terus, masih saja tak kenyang-kenyang!" protes Rania cukup kesal dan tanpa takut mengeluarkan ekspresi tak sukanya. Arga tak peduli, dia hanya terus memakan apa yang ingin di makan dengan dinginnya. Setelah kenyang pada roti ke tiga, dia lanjut merebut s**u yang ternyata juga Rania buatkan, dan kembali minum dengan acuhnya. Pergi dari sana ketika sudah puas dan masih tak buka suara pada istrinya. "Ishhh! Dasar menyebalkan!" gerutu Rania kesal, tapi setelahnya diapun lega seperginya sang suami. Karena setelah itu dia pun bisa menyantap sarapan buatannya yang ke empat. "Perut apaan itu, ngaret banget, sampai tiga roti masuk!" gerutunya kesal sambil terus makan dan sesekali menyela untuk mengatai suaminya. Sementara itu Laura yang rupanya sejak tadi di dapur untuk memantau interaksi kedua majikannya, segera mengeram kesal di sana. 'Sial. Ini pertama kalinya tuan Arga tidak menghabiskan masakan buatanku yang enak itu. Mana dia cuma makan tiga suapan doang lagi, dan malah bersemangat memakan roti mura-han buatan jala-ng itu!' geram Laura membatin tak terima. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN