"Kau membahayakan nyawa wanita itu, Shane." Pria yang duduk membelakangi Shane sembari menggenggam botol air mineral bicara pada Shane tanpa melihat ke arah Shane.
Shane mengusap keringat yang membasahi seputar rahang dan lehernya. Ia meluruskan kaki jenjangnya yang kokoh kemudian menjawab ucapan pria yang tidak lain adalah Mikhael.
"Dia membuatku tidak tahan, Mikhael. Aku tidak bisa pindah ke dunianya, jadi aku menariknya ke duniaku." Shane kembali duduk tegak. "Kau tahu aku suka bahaya, itu menantang."
"Bagaimana jika kau menjadi kacau karena dia?"
"Aimee tidak akan mengacau."
"Baiklah. Jika kau yakin akan hal itu. Kau hanya perlu ingat, Shane. Semakin banyak orang yang kau sayangi, maka kau harus semakin bekerja keras untuk melindunginya."
Shane tersenyum kecil. Mikhael memang terlalu suka mengingatkan. Jika saja Mikhael memiliki anak, mungkin anaknya akan lelah dengan tingkah Mikhael ini.
"Jadi, kau jauh-jauh ke tempat ini hanya untuk mengingatkan aku tentang itu?" tanya Shane.
"Kau pikir aku serajin itu?"
"Mungkin saja."
Mikhael berdecak. "Pemimpin El loco Cartel berada di kota ini. Dan aku memburunya."
"Kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal?"
"Kau sudah memiliki banyak pekerjaan, Shane. Aku bisa membereskan yang ini."
"Kau bekerja sendirian?"
"Aku tidak membutuhkan bantuan orang lain."
Shane memiringkan kepalanya, melihat ke Mikhael yang sekarang membuatnya khawatir.
"Aku sudah selesai. Aku pergi." Mikhael bangkit dari duduknya dan pergi.
"Pria kesepian itu mencari mati." Shane bergumam datar.
Shane kembali ke apartemen. Ia masuk ke ruang kerja bersama dengan Keenan yang mengekorinya.
"Lacak keberadaan Gonzalves. Mikhael datang ke kota ini karena Gonzalves berada di sini."
"Baik." Keenan meninggalkan Shane.
♥♥♥♥♥
Hanya butuh satu jam bagi Keenan untuk mengetahui posisi Gonzalves saat ini. Dan sekarang Shane sudah berada depan di tempat Gonzalves berada.
Shane memperhatikan kediaman Gonzalves yang dijaga ketat oleh banyak penjaga bersenjata lengkap.
Bukan Shane namanya jika ia gentar dengan penjagaan seperti itu. Shane bergerak masuk, ia menyelinap dari satu ruangan ke ruangan lain untuk mencari keberadaan Gonzalves.
Satu per satu penjaga yang berada di dekat Shane telah tewas oleh belati yang Shane sayatkan ke leher mereka.
Shane menghentikan langkahnya, ia bersembunyi dibalik dinding saat dua penjaga mendekat. Ia bergerak keluar ketika dua penjaga itu telah mencapai tempatnya bersembunyi.
"Ada penyusup!" Salah satu penjaga berhasil memberitahu kawanannya dan juga si pemilik rumah.
Shane menikam penjaga yang bicara tiga detik setelah ia membunuh rekan si penjaga itu.
Belati sudah tidak akan bisa menghalau para penjaga. Shane mengganti belatinya dengan pistol kesayangannya. Ia akan membuat lautan darah dengan menggunakan pistolnya.
Gonzalves yang sedang mandi tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengintainya. Pria itu asik berendam di dalam bathtub ditemani dengan dua wanita cantik tanpa busana.
Di jalan menuju ke kamar Gonzalves, Shane menembak satu persatu penjaga yang datang padanya. Pria berpakaian serba hitam dengan hanya bagian matanya yang terlihat itu terus melangkah seperti malaikat pencabut nyawa.
Meski tembakan terus diarahkan padanya, tidak sekalipun Shane berpikir untuk mundur. Ia semakin tertantang untuk membunuh semua orang yang ada di sana.
Shane membuka pintu kamar Gonzalves. Suara tertawa khas Gonzalves terdengar dari arah kiri Shane. Ia segera melangkah menuju ke arah sumber suara.
Tanpa memberi aba-aba Shane menembakan senjatanya setelah membuka pintu. Gonzalves yang baru saja meraih pistolnya tewas tanpa bisa menembakan senjatanya. Teriakan dua wanita di dalam bathtub terdengar nyaring. Dua wanita itu tiba-tiba bungkam setelah peluru Shane bersarang di kepala mereka.
Misi selesai. Shane bergegas melompati jendela agar bisa kabur dari kediaman Gonzalves.
Para penjaga yang baru saja datang ke kamar Gonzalves memaki geram. Sang pemimpin penjaga tempat itu memerintahkan anak buahnya untuk mencari si penyusup sampai dapat.
Di tempat lain, Shane sudah masuk ke dalam mobilnya. Ia membuka penutup wajah yang ia kenakan serta topi hitam di kepalanya lalu melaju pergi meninggalkan kawasan di pinggiran kota yang masih sepi itu.
Shane sampai kembali di apartemennya. Ia meletakan pistolnya di atas meja dan duduk di sofa. Bersamaan dengan itu Aimee keluar dari kamarnya.
Mata Aimee menangkap senjata api yang ada di atas meja. Entah siapa lagi yang Shane bunuh kali ini. Meski sudah beberapa kali berada dalam situasi seperti ini, Aimee masih berdesir takut. Iblis macam apa sebenarnya pria yang ada di depannya ini? Bagaimana bisa membunuh orang dengan mudahnya.
Aimee tidak ingin terjebak dalam pikirannya, ia meneruskan langkahnya pergi ke dapur. Mengambil air minum dari lemari pendingin dan menenggak air itu.
"Kau terlambat satu langkah, Mikhael. Aku sudah membunuh Gonzalves lebih dahulu." Kaki Aimee terhenti, mendengar kata 'membunuh' membuatnya tak mampu bergerak. Shane mengatakan kalimat itu dengan sangat mudah, seolah membunuh orang sama dengan membunuh seekor nyamuk.
"Ayolah, Mikhael. Kau kenal aku dengan baik. Membunuh adalah hal yang paling menyenangkan bagiku."
Jantung Aimee berdetak tak karuan. Meski sudah melihat sendiri bagaimana Shane membunuh orang tetap saja ia merasakan ngeri melandanya.
Haruskah ia mencoba kabur lagi dari Shane?
Setelah memikirkan kembali pertanyaan yang melintas di benaknya, Aimee tersadar bahwa saat ini ia berada di tempat yang sama sekali tidak ia kenali. Ia hanya akan berakhir mengenaskan.
Tapi, bukankah itu lebih baik daripada bersama Shane, si pembunuh berdarah dingin?
Haruskah ia benar-benar mencoba pergi? Bagaimana jika ia tertangkap dan berakhir mati di tangan Shane?
Dekapan di perut Aimee membuat Aimee tersadar dari pemikiran-pemikiran yang berputar di dalam otaknya. Napas Aimee tercekat saat ia merasakan sesuatu yang keras berada di pinggangnya. Ia bisa menebak bahwa itu adalah moncong pistol Shane.
"Apa yang sedang kau pikirkan, hm?" Suara Shane terdengar parau, membuat Aimee meremang. Tangan Shane yang tadi mendekap perut Aimee kini memindahkan rambut Aimee ke satu sisi, napasnya yang hangat menerpa kulit leher Aimee.
Aimee tidak bisa membuka mulutnya, seolah mulut itu dikunci rapat. Ia memejamkan matanya, merasakan gerakan pistol Shane yang menyisiri pinggangnya, dan juga bibir Shane yang mengecup lehernya.
Aimee menggigit bibirnya saat rasa sakit menyapa lehernya. Shane menggigitnya di sana.
"Aku bertanya padamu, Aimee." Shane bersuara lagi.
Aimee mempekerjakan otaknya. Ia berpikir apa tadi yang Shane tanyakan padanya. Senjata api yang Shane todongkan padanya membuat ia kehilangan fungsi otaknya.
Shane membalik tubuh Aimee, netranya menembus netra Aimee yang kosong. "Matamu sangat indah. Aku menyukainya."
Pujian di posisi seperti ini, bukankah hanya Shane yang bisa melakukannya? Bukannya Aimee merasa tersanjung, ia malah semakin merasa dikirim ke jurang terdalam dan mengerikan.
Kemudian Shane beralih ke cangkir yang digenggam erat oleh Aimee. Ia tersenyum kecil. Ia telah membuat Aimee ketakutan. Lihatlah tangan Aimee yang memucat karena cengkraman yang terlalu kuat.
Shane meraih cangkir itu kemudian meminum air yang ada di sana. "Menunggu jawabanmu membuatku haus, Aimee." Ia mengembalikan cangkir yang telah kosong ke Aimee. "Berhentilah memasang wajah seperti itu, pistolku tidak ada pelurunya." Shane melangkah meninggalkan Aimee.
Tubuh Aimee lemas. Ia bersandar di lemari pendingin. Ingin sekali ia menyumpah serapah Shane, tetapi ia tidak memiliki tenaga untuk itu sekarang. Shane, pria itu benar-benar suka mempermainkannya.