Chapter 6

1656 Kata
Ini adalah cerita fantasi sama sekali tidak nyata, jika ada perbedaan dalam dunia nyata, perlu di tekankan sekali lagi, bahwa cerita ini hanya fiksi!! FIKSI! . . . Happy Reading ***** "RADEN!" Dor ... Dor ... Dor ... Nafas Bitna sampai tercekat, tepat saat Zombie di depan lift berlari cepat ke dalam, lebih tepatnya ke arahnya. Bitna bahkan tak mencoba menghindar dari serangan _yang hanya berjarak satu setengah meter itu_. Tapi untung saja Raden berinisiatif menembak kepala Zombie tiga kali, sehingga membuatnya dapat mengedipkan mata lega. Dor ... Sekali lagi Raden menambah tembakannya, hingga mau tak mau Zombie itu pun luruh ke bawah. Tubuhnya sampai tak bergerak, sepertinya Zombie itu sudah mati. "Graa ... Graa ..." Bitna yang awalnya fokus melihat Zombie yang tergeletak, sontak mengangkat pandangan mendengar suara itu. Si*l, mereka berdua melupakan lift yang belum tertutup, sedangkan banyak sekali Zombie di basement dan berbondong-bondong lari ke arah mereka. "Tutup!" Perintah Raden pada Bitna yang memang berada lebih dekat dengan tombol Lift. Bitna mengangguk cepat dan segera melakukan apa yang di perintahkan Raden, ia bahkan langsung menekan tombol lantai 4 tanpa berpikir dahulu. Yang ada difikirannya hanya bagaimana cara lift harus segera tertutup. Dor ... Dor ... Raden sendiri terus melayangkan peluru demi peluru ke arah para Zombie di luar, mencegah agar para Zombie tak mengganggu lift yang mulai tertutup. Tubuh Bitna berkeringat dingin, menunggu lift dengan harap-harap cemas. Apalagi Zombie di luar sangat banyak, jika lift sampai terbuka kembali, sudah dipastikan mereka berdua akan habis menjadi santapan para Zombie di sini. Ah tidak! Bitna tidak ingin itu terjadi. DORRR... Tembakan terakhir pun Raden berikan pada kepala Zombi bertubuh besar itu, tepat saat jarak antar pintu lift hanya tinggal 3 senti, atau bisa dibilang hampir tertutup sempurna. Dan, berhasil, pintu lift tertutup dengan tambahan satu mayat zombie yang terkapar bersimbah darah. Baik Bitna maupun Raden hanya bisa mengucap syukur di dalam hati, karena tuhan sudah memberkati sehingga mereka dapat selamat dari para Zombie. "Na, lo nggak papa?" Meski sudah selesai, tubuh Bitna benar-benar lemas hingga ia harus terduduk _luruh_ ke bawah. Ya bagaimana tidak lemas, nyawanya hampir melayang di saat mereka bahkan belum mencapai 10% perjalanan. "Na," Raden sangat khawatir dengan keadaan Bitna. Tapi saat mendapat gelengan pelan dari sahabatnya itu, perasaan Raden malah makin tak enak. "It's okay, Den. Serius. Gue Cuma lemes aja." Bitna mencoba memaksakan senyumnya. Ia tau, kalau ia sampai lemah bahkan menyerah, ia pasti akan jauh lebih menyesal nanti. Apalagi ibunya tengah menunggu di rumah. "Okay." Raden hanya bisa pasrah, toh Bitna memang wanita keras kepala dan gigih jika sudah mengambil keputusan. Setelah percakapan itu selesai, hanya ada keheningan yang mengisi di sana. Mereka _Bitna dan Raden_ fokus mengamati layar yang menunjukan angka berjalan atau petunjuk _tentang_ sudah sampai lantai mana mereka berada. Lantai dua, Lantai tiga, Nafas Bitna tercekat, ia mulai bangkit dari duduknya. Ia juga menggenggam erat pistol yang tadi Raden berikan. Mereka hampir sampai di lantai 4, di mana tempat lift ini akan berhenti. Ah, Bitna benar-benar sangat takut, fikirannya buruk sudah menguasai sebagian besar dirinya. Bagaimana jika di lantai empat Zombie malah jauh lebih banyak, atau bagaimana jika tidak bisa selamat dan berakhir di sini. "Na, ada gue." Raden menepuk bahu Bitna sekali untuk menyemangati sahabatnya itu yang nampak makin kalut saja. Bitna memejamkan matanya, Raden benar, di sini ada Raden yang akan melindungi dirinya. Dan lagi ia harus kuat, tidak boleh merasa ciut atau apapun. Lagi pula kenapa harus takut, Bitna saja menguasai banyak beladiri, kemampuan menembak dan berlarinya juga tidak main-main. Jadi, mari tunjukan apa yang dapat Bitna tunjukan kepada para Zombie ganas itu, kalau Bitna memang dapat melumpuhkan Zombie juga. "Okay, fighting!" Gumam Bitna penuh percaya diri. Mata Bitna terbuka pelan, dengan sorot tajam itu. Tangannya yang memang masih memegang pistol pun, makin tergenggam erat. Jangan lupakan jari telunjuknya yang sudah siap menekan pelatuk pistol, _kalau-kalau ada Zombie yang menyerang tiba-tiba. Ting, Lift pun terbuka pelan tepat di lantai empat. Bitna dan Raden saling menatap sebentar karena menyadari keadaan yang sepertinya nampak lenggang, tidak ada suara aneh maupun langkah-langkah kaki di sana. Raden mengangkat tangan kirinya menginterupsi Bitna untuk diam di tempat, sedangkan dirinya sendiri sudah melangkah maju ke arah luar lift yang terbuka, Raden hendak mengecek keadaan luar apakah benar-benar aman tanpa Zombie atau tidak. Dan saat Raden baru mengintip sedikit, ternyata dari arah ujung lorong terdapat sekelompok sosok zombie yang berdiri diam memunggungi keberadaan Bitna dan Raden. "Sial." Umpat Raden tanpa bersuara. "Gimana Den?" Tanya Bitna juga tanpa bersuara, hanya menggunakan isyarat mulut saja. Raden menggeleng lemas sebagai jawaban, lalu melangkah mundur kembali ke samping Bitna. "Ada." Lirihnya. "Okay, kita cari lantai lain." Putus Bitna cepat, karena memang percuma membuang-buang waktu di sini, yang mana malah beresiko terserang Zombie. Tanpa menunggu persetujuan Raden, Bitna langsung berjalan maju hendak menekan tombol lift tutup, dan mencari lantai lain yang mungkin tidak ada Zombie di sana. Tapi, tiba-tiba, Gelap. Lampu-lampu yang menyala di sana mati seketika, diikuti lift yang juga tak berfungsi. Membuat keadaan sekitar bertambah hening nan mencekam. "Sial." Raden dan Bitna mengumpat bersama, pelan. Bitna ingat tadi sudah ada pemberitahuan jika pemadaman listrik akan terjadi. Tapi ia tak menyangka akan berlaku secepat ini. "Gimana ini Den?" Bitna cemas, bagaimana mereka bisa keluar dari tempat ini, kalau liftnya saja tidak berfungsi. Raden terdiam tak menjawab, ia juga bingung, ia mencoba berfikir mencari solusi yang bisa dilakukan. Hening beberapa saat, sebelum Raden menjentikan jari. "Okay!" Raden sudah mendapat ide. Bitna berusaha menatap Raden di kegelapan, meski nyatanya ia tak nampak apa-apa. "Kita turun pakai tangga darurat. Itu jalan satu-satunya ketika nggak ada listrik begini. Tapi kalau Zombie juga ada di sana ... gua nggak tau apa yang bakal terjadi." Jelas Raden sedikit ragu. Bitna menyimak ucapan Raden dengan diam. Ia juga berfikir, bagaimana jika di tangga darurat ternyata ada yang menghadang. Apakah mereka bisa selamat. Tapi kalau mereka tidak maju, mereka juga tetap akan mati di sini. "Iya Den, Kita lewat sana." Ucap Bitna mantap tak ada keraguan. Meski tak dapat di lihat Bitna, sorot mata Raden mengartikan seolah sudah pasrah dengan keadaan. Memang sejak awal Raden juga sudah tau resiko yang akan mereka hadapi. Raden pun berjalan kembali ke depan diikuti Bitna di belakangnya, tapi baru selangkah maju Raden malah berhenti mendadak membuat Bitna mau tak mau menubruk tas super besar yang Raden pakai. "Duh, gue lupa," Raden menepuk dahinya pelan menyadari sesuatu. "Kenapa?" Tanya Bitna sedikit kesal, dahinya terasa lumayan loh menabrak tas punggung besar nan keras itu. "Tangga darurat ada di daerah utara, dan di sana tadi ada banyak, Zombie." Jelas Raden yang membuat Bitna membulatkan mata lebar. "Terus gimana Den?" Bahu Bitna lemas, padahal beberapa saat lalu ia sangat-sangat optimis menghadapi Zombie tapi sekarang ada saja masalah yang datang. Raden memainkan lidahnya seraya berfikir jika, jika ia melemparkan sebuah bom kecil ke arah selatan, apakah Zombie akan pergi? Dari buku-buku yang pernah Raden baca sih kemungkinan berhasil. Tapi Raden perlu mencobanya. Raden menurunkan tas punggungnya itu lalu membuka pelan. Bitna sendiri hanya menunggu Raden tanpa bertanya. Ternyata Raden mengeluarkan dua buah benda dari kantong celananya. Lalu menyerahkan satunya pada Bitna. "Ini." "Ha?" Bitna bingung karena keadaan sangat gelap membuatnya tak nampak apapun, termasuk benda pemberian Raden. Raden buru-buru memakainya, itu ternyata sebuah kacamatanya. Kemudian Raden menarik tangan Bitna dan meletakkan kacamata di telapak tangan Bitna. "Pakai. Kita bisa bantu kita melihat jelas meski dalam gelap Na." Dan benar saja, saat Bitna memakainya ia langsung dapat melihat Raden dan keadaan sekitar dengan sangat jelas. Tapi pertanyaannya bagaimana Raden mendapat benda-benda seperti ini? Tak... Raden yang sudah kembali berdiri sontak menyentil dahi Bitna pelan, karena wanita itu nampak mengerutkan dahi. "Jangan pikir macem-macem." Pada nyatanya memang kacamata yang Raden modif sendiri menggunakan lensa khusus. Tak mudah bagi Raden mendapatkannya, dan butuh waktu beberapa tahun demi mempunyai lensa seperti ini. "Ayo." Raden menggandeng tangan Bitna yang saat itu masih mengelus dahinya, akibat sentilan maut Raden. Raden mengintip sedikit keluar, Deg! Jantung Raden berdegup kencang, ia langsung memundurkan kepalanya lagi. Raden buru-buru menutup mulut dan hidung Bitna, sebab wanita ia seperti hendak mengeluarkan suaranya. Sial, Raden sangat terkejut karena saat ia mengintip tadi, ternyata ada sesosok Zombie tepat berada di depan wajahnya, mungkin hanya berjarak beberapa jengkal saja. Argh, Raden ingin muntah saja rasanya, melihat semerikan apa Zombie itu. Bitna yang tak paham hanya menuruti Raden dengan tak bersuara dan menahan nafas. Dan saat seseorang berjalan melewati lift depan mereka, Bitna sontak membulatkan mata faham. Deg! Bitna membulatkan mata saat Zombie di sana tiba-tiba memutar kepala ke samping melihat-nya. Raden di sampingnya hanya berdiri diam dengan mata terpejam beberapa, seolah tak khawatir Zombie akan berlari menyerang. Bitna yang tak bisa mengharapkan Raden mengangkat langsung saja mengangkat pistolnya. Tiga, dua, sat__ Hitungan mundur Bitna dalam hati terhenti, karena Zombie sama sekali tak bergerak menyerang dan malah melengos pergi begitu saja. Kenapa? Apakah Zombie tak melihat mereka dalam kegelapan? Benarkah? Setalah Zombie pergi, Raden buru-buru menurunkan pistol Bitna. Ia sebenarnya kesal sedari tadi, ia hendak menurunkan pistol itu tapi akut pergerakannya malah agak mengacaukan keadaan dan memancing Zombie itu makin mendekat. Bagaimana Bitna bisa sebodoh itu menembak Zombie di kegelapan, padahal jelas-jelas Zombie tak dapat melihat mereka. "Na," Desis Raden sangat pelan. "Zombie nggak bisa liat kita Den?" Bukannya takut karena kemarahan Raden, Bitna malah bertanya balik. "Lo nggak tau? Aish, kalau aja lo jadi nembak tadi, hidup kita udah selesai Na." Raden sangat gemas dengan Bitna. Padahal dulu sudah cukup sering ia membahas kalau Zombie tak bisa melihat di kegelapan. "Ya maaf." "Udah lah, ayo lanjut. Dan inget jangan tembakin tanpa arahan gue." "Iya-iya." Raden mengeluarkan sebuah benda bulat nan kecil seukuran bola pingpong dari saku celananya. Ia melangkah maju dengan merunduk, ia mengintip kearah samping kanan dan kiri sebelum menarik seutas tuas penghubung yang terdapat pada benda itu. Ia langsung melempar ke arah selatan jauh-jauh, hingga menimbulkan suara gedebum benda jatuh. "Graa." Sorak sorai Zombie langsung terdengar, karena mereka langsung menoleh ke arah asal suara. Dan, BOOM... ***** Tbc . . . Kim Taeya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN