Muliya memandang kosong ke depan, jemarinya menggenggam pagar balkon dengan erat. Tak tercetak ekspresi berarti di wajahnya, perempuan itu hanya terdiam hening. Derap langkah mendekat tak membuatnya menoleh, sampai sebuah lengan kekar melingkar di perutnya Muliya tetap diam. "Maaf..." bisikan itu terdengar begitu dalam dan serak, bahkan suaranya hampir seperti sapuan angin lalu. "Maaf-maaf-maaf..." ulangnya berkali-kali dengan d**a bergemuruh hebat, Adimas menangis hebat. "Maaf ... maafin aku.." ucapnya hanya mengulang kata yang sama sejak tadi. Muliya tak merespon sama sekali. "Aku b******n, b***t, aku bodoh ... tolong maafkan aku." Adimas terjatuh, berlutut di belakang Muliya dengan kepala menunduk dalam. Badannya bergetar hebat namun tak ada isakan yang terdengar. "Muliya ... tolo