Samara kembali pada tempatnya tertidur tadi. Oh ... Asmara baru ingat. Pantas saja Samara pergi tiba - tiba. Ia pasti ingin segera memastikan keadaan seseorang yang tadi diantarnya ke mari.
Sekali lagi Samara menunjukkan sifat uniknya. Segera bertindak ketika panik, bukannya justru kebingungan sendiri dan berakhir tak melakukan apa - apa.
Samara berusaha mengintip dari jendela. Meskipun percuma karena seluruh jendela tertutup korden. Asmara ingin bertanya siapa gerangan seseorang di dalam sana?
Apa mungkin pacarnya? Mengingat mereka terlihat seumuran. Tidak mungkin cowok yang sakit itu suami Samara, kan? Keduanya terlalu belia untuk menikah.
Sebagai informasi, Asmara sudah membuntuti Samara sejak gadis itu datang. Melihatnya dari kejauhan terus - menerus. Sampai akhirnya Samara tertidur, ia baru berani mendekat.
Raut panik Samara tadi, saat mengantar si cowok sakit, membuat Asmara merasa tak nyaman.
Seorang perawat keluar dari ruangan itu. Samara segera menghampirinya. Pun demikian Asmara.
"Gimana keadaannya, Sus?" tanya Samara.
"Mohon maaf, pasien atas nama siapa yang Anda tanyakan?" Suster itu bertanya dengan nada yang santun.
Ah, Samara baru sadar bahwa di UGD bukan hanya Samran saja yang sedang ditangani. "Makarios Samran Bachtiar."
"Oh ...." Suster itu mengangguk. "Pasien dengan nama Makarios Samran Bachtiar sudah dipindahkan ke ruang rawat beberapa waktu yang lalu."
"Ruang rawat mana?"
"Merkurius 9. Silakan jalan lurus, persimpangan pertama belok kanan, ada tangga, silakan naik, lalu belok kiri." Suster itu menjelaskan sembari memberi gestur arah yang ia tunjukkan.
"Makasih, Sus." Samara berjalan cepat mengikuti arah yang ditunjukkan suster tadi. Ia terlalu lama pergi sampai - sampai Samran sudah selesai ditangani pun tak tahu.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Asmara setia membuntut di belakang gadis itu. Samara nampak kebingungan sedari tadi. Ia akhirnya menemukan tangga yang menghubungkan lantai empat ini dengan lantai lima.
"Samara, nggak naik lift aja?" Asmara menunjuk lift di sebelah anak tangga.
Tak ada tanggapan. Samara tak mendengar ucapan Asmara karena terlalu berkonsentrasi mengikuti arah yang ditunjukkan suster tadi.
Asmara hanya tersenyum geli. Antara lagi - lagi takjub dengan sikap Samara, juga karena meratapi panggilan tak terjawabnya.
Asmara akhirnya lanjut membuntuti Samara, menggotong tiang infusnya menaiki anak tangga satu per satu.
Asmara akhirnya sampai di lantai lima. Ia mendapati Samara yang berdiri di persimpangan. Gadis itu terlihat kebingungan lagi. Sepertinya ia lupa dengan arah - arah yang diberikan suster tadi.
"Belok kiri, Samara!" seru Asmara.
Samara menoleh. "Lho ... kamu kok di sini?" Samara kebingungan. Gadis itu sama sekali tak menyadari ia diikuti Asmara semenjak tadi.
"Aku ngikutin kamu dari tadi. Kamu terlalu spaneng sampai - sampai nggak sadar aku buntutin. Untung aku cogan baik hati. Bukan begal jelek yang jahat!"
Muncul senyuman di wajah Samara. Senyuman yang indah. Senyuman yang tanpa disadari turut menciptakan senyuman lain. Senyuman di wajah Asmara. Senyuman yang tercipta karena rasa kagum akan keindahan senyuman gadis itu. Alangkah lebih baik jika Samara lebih sering menunjukkan senyuman itu.
"Aku tadi juga nawarin kamu buat lewat lift aja. Kamunya nggak denger tapi. Spaneng terus, sih!" Asmara lanjut menggoda Samara.
"Oh, ya?" Samara terheran - heran. Ia benar - benar tak mendengar. "Maaf, deh. Lagian cuman satu lantai naiknya. Nggak perlu pakek lift."
Asmara tersenyum kecut mendengarnya. Ia mengangguk. "Ya ... cuman satu lantai." Perubahan air muka Asmara terlihat cukup jelas.
Samara melihat dan menyadarinya. Namun gadis itu tak berniat dan berminat untuk bertanya. "Kamu masih mau ikut aku atau ...."
Asmara mengangguk. "Iya."
"Ya udah, ayo!" Samara mempersilakan Asmara untuk berjalan beriringan dengannya menuju merkurius 9.
Samara melihat Asmara memegangi dadanya. Sama seperti yang cowok itu lakukan saat mereka berada di UGD. Saat ia tertawa karena ucapan Samara. Samara juga menyadari raut Asmara yang memucat — lebih pucat daripada sebelumnya. Juga keringat yang menetes dari pelipisnya.
"Kamu nggak apa - apa?" tanya Samara akhirnya. Namun tak tersirat kepanikan dalam nada bertanyanya. Hanya sebuah pertanyaan datar.
Asmara mengangguk sembari tersenyum. "Nggak apa - apa kok. Tadi aku agak buru - buru naik tangga, jadinya gini. Bentar lagi juga baikan."
"Oh ...." Samara hanya ber - oh ria. Akhirnya ia mengerti kenapa Asmara tadi menawarinya naik lift. Meskipun hanya naik satu lantai.
Samara melihat bangku - bangku panjang yang berada di sisi dinding di sepanjang lorong. Masih tak tersirat kepanikan dalam rautnya. "Kamu mau duduk dulu?" Pun nada pertanyaannya masih datar.
Asmara menggeleng. "Nggak usah. Udah mendingan kok. Lagian ntar di Merkurius 9 juga duduk."
"Oke." Samara lanjut berjalan.
Tak ada pembicaraan apa pun lagi di antara keduanya. Sampai Asmara menyeru. "Sam! Kamu mau ke mana?" Asmara mengucapkan panggilan Sam dengan cara baca Bahasa Inggris. Seperti Sam pada Samantha atau pun Samuel.
Samara menoleh. Muncul kerutan di keningnya. Heran dengan dua hal. Pertama heran dengan panggilan aneh dari Asmara. Kedua heran karena Asmara berhenti berjalan cukup jauh di belakangnya.
"Kamu mau ke mana?" Asmara menunjuk ruang bertuliskan Merkurius 9 di hadapannya.
Samara membaca ruangan yang ditunjuk Asmara. Samara hanya mengangguk, lalu berjalan kembali. "Aku nggak lihat tadi."
Samara mendahului Asmara masuk ke Merkurius 9. Samara segera mencari - cari keberadaan adiknya di antara jajaran ranjang di dalam ruangan besar ini. Ada 9 ranjang berjajar di sini. Ada dua yang kosong. Sisanya terisi.
Samara tersenyum ketika akhirnya menemukan Samran yang tertidur di salah satu ranjang yang sudah terisi.
Berbeda dengan Asmara yang merasa keheranan. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk menjalani perawatan di rumah sakit ini, baru sekarang kali pertama ia masuk ke ruangan kelas tiga.
Ramai.
Tidak seperti kamarnya yang sepi.
Samara menyentuh jemari Samran. Asmara menatapnya dalam diam. Ada perasaan tak rela.
"Ibuk ...," ucap Samran dengan suara serak dan parau.
Asmara hampir terjungkal. Ibuk katanya?
Samara yang masih muda itu punya anak sebesar ini?
Atau jangan - jangan ... benar Asmara dan cowok ini sudah menikah. Makanya saling memanggil ibuk dan bapak.
"Gimana keadaan kamu? Apa yang kamu rasain sekarang?" Samara sibuk bertanya pada Samran.
Asmara lagi - lagi merasa tak suka. Nada dan raut khawatir Samara nampak jelas. Sangat berbeda dengan saat gadis itu bertanya pada Asmara tadi.
"Maafin aku, ya, Buk. Lagi - lagi aku bikin masalah. Aku udah nggak apa - apa kok," jawab Samran. "Lho ... ini siapa, Buk?" Samran menunjuk Asmara yang sedari tadi diam seribu bahasa.
"Oh ... dia ...." Samara berusaha mengingat - ingat. Nama cowok ini hampir sama seperti namanya, kan? Tapi siapa, ya? Samara lupa.
"Asmara," sahut empunya nama segera.
"Oh ... iya, Asmara!" timpal Samara. "Situ, kamu duduk dulu. Tadi kayaknya kamu capek." Samara menunjuk sisi kosong brankar Samran dengan dagunya.
Asmara terlihat canggung. Ia pikir di kamar ini akan ada sofa seperti di kamarnya. Atau minimal kursi plastik lah. Tapi ternyata tak ada sama sekali.
Asmara duduk perlahan — masih dengan canggungnya. Seandainya ia tak apa - apa, ia lebih memilih berdiri saja. Tapi karena dadanya masih sesak, ia harus duduk. Dari pada makin parah nanti.
"Dia siapa? Kok sama Ibuk?" Samran masih terus bertanya. Sejenak kemudian muncul senyuman di wajah Samran. "Oh ... pacarnya Ibuk, ya? Alhamdulillah ... akhirnya Ibuk nggak jomblo lagi! Mana namanya hampir sama pula — Samara sama Asmara. Jodoh emang gitu, suka ada mirip - miripnya." Samran bahagia luar biasa.
"Hus ... dasar adek kurang asem! Minta ditempeleng kamu, ya!" Samara mencubit gemas pipi Samran.
"Habisnya berdua - duaan tengah malem. Eh, udah hampir pagi ini, ya?" Samran cengengesan.
"Orang tadi aku ketemu dia di UGD waktu nungguin kamu!" jawab Samara apa adanya.
Asmara tersenyum - senyum sendiri. Ada beberapa hal yang melatari. Pertama, bocah ini bukan pacar, apalagi suaminya Samara. Kedua, bocah ini adalah adik Samara, bukan pacar ataupun suaminya. Ketiga, berarti Samara masih jomblo.
Sungguh bahagianya hati Asmara, sampai-sampai senyumnya terpatri sangat awet, seperti diberi formalin.
~~~~~ASMARA SAMARA - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
-- T B C --