Bab 1
Rangga tidak bisa menyembunyikan raut kengerian dari wajahnya, kedua kakinya bahkan nyaris bergetar. Bukan hanya karena kabut dingin yang menyelimuti tempatnya berdiri saat ini, tapi juga karena aura mistis yang begitu kental terasa. Ia berdiri di teras berlantai tanah rumah joglo tua yang pintunya tertutup rapat, pintu gebyog dengan ukiran indah bermotif bunga di kedua sisinya menambah kesan klasik rumah ini.
Keempat pilar yang menyangga atap teras juga masih berdiri kokoh, ia tidak menyangka kalau di belahan lain desanya masih terdapat rumah kuno macam ini. Bahkan dusun terpencil ini pun tidak pernah ia ketahui sebelumnya, jangankan menginjakkan kaki di sini mendengar namanya saja tidak pernah. Dukuh Pepaten, yang berarti kematian pasti mampu membuat siapa pun bergidik ngeri mendengarnya.
Sebenarnya jika tidak sedang dalam hajat besar tentulah Rangga enggan mengikuti ajakan sang Pakde menyusuri jalan setapak di tengah hutan kaki Gunung Lawu ini. Tidak tanggung-tanggung, empat puluh lima menit waktu yang mereka habiskan untuk berjalan kaki setelah motor trail yang mereka kendarai tidak mampu melewati medan yang kelewat sulit ini.
Pakde Handoko pria paruh baya yang berdiri membelakangi Rangga saat ini, berkali-kali mengetuk pintu rumah yang tidak jua terbuka. Usianya sekitar lima tahun lebih tua dari ayahnya, tapi hingga saat ini ia masih melajang. Sempat ia dengar cerita kalau Pakdenya memilih menyendiri karena cintanya yang kandas dengan sang kekasih hati, sungguh ironis cinta yang begitu besar hingga mampu menutup hatinya untuk wanita lain.
Terdengar deritan pintu yang terbuka pelan, Rangga yang tengah menyisir pandangan ke alam sekitar melihat burung-burung yang mulai hinggap di dahan pohon untuk bermalam mendekat pada Handoko, Berdiri tepat di belakangnya.
"Ayo, masuk." ajak Handoko padanya yang masih termangu.
Perlahan penuh kehati-hatian Handoko melangkah masuk, Rangga membuntuti dengan langkah Sam pelan Seketika aroma kemenyan menyeruak memasuki indera penciumannya, membuatnya tersedak dan mual seketika.
"Permisi, Ki. Saya ke sini memohon bantuan Ki Selo." tutur Handoko sambil menunduk sopan, Rangga menoleh ke kanan dan kiri tapi tidak mendapati siapa pun yang menjadi lawan bicara Pamannya.
"Duduk!" terdengar berat suara pria tua dari balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah rumah ini.
Perlahan Handoko dan Rangga mendudukkan tubuh mereka di balai yang terbuat dari bambu, suara berderit terdengar karenanya.
Ruang tamu ini luas, tapi kosong hanya ada sebuah balai bambu tanpa tikar. Jendela-jendela besar rumah ini pun tertutup rapat sepertinya sudah puluhan tahun tidak terbuka hingga terasa lembab di mana-mana.
"Pakde, mana kok enggak keluar-keluar?" bisik Rangga dengan sangat pelan, takut kalau yang ia bicarakan mendengar tapi rasanya tidak sabar juga jika harus lama menunggu apa lagi bulu kuduknya selalu saja meremang di tempat ini.
"Ssthh ... diem aja." desis Handoko sambil menaruh jari telunjuk di depan bibirnya meminta agar sang keponakan sedikit bersabar.
Rangga terdiam, tidak ada pilihan lain selain mematuhi sang paman.
Beberapa hari yang lalu saat diam-diam Handoko memberinya ide untuk menemui Ki Selo Chemeng di dukuh Pepaten, sebenarnya ragu menyelimuti hatinya tetapi rasa pesimis akan kemenangannya pada pemilihan kepala desa Genilangit membuatnya membulatkan tekad untuk mengikuti ide Handoko.
Bagi Rangga kalah di pemilihan kepala desa bukan hanya akan membuatnya merugi secara materi, tapi juga berarti kehilangan harga diri. Kehilangan harga diri di depan seluruh warga Genilangit dan juga di hadapan Panji Kertayudha rival abadinya.
Sebenarnya melengserkan klan Kertayudha dari kekuasaannya di desa Genilangit adalah hal yang nyaris mustahil, dari jaman nenek moyang dulu tidak ada yang bisa berkuasa di sana kecuali keluarga Kertayudha. Tapi sekarang saat jaman sudah modern, dan pemilihan kepala desa berjalan melalui pemungutan suara warga. Namun, walaupun begitu sejak beberapa puluh tahun belakangan tetap tidak ada yang berani melawan keluarga Kertayudha. Mereka selalu menjadi calon tunggal. Hingga saat ini, pemilihan kali ini keluarga Kertayudha menjadikan Panji sebagai calon mereka dan dengan tekad yang membara Rangga mencalonkan diri sebagai saingannya.
Jauh sebelum saat ini, Rangga dan Panji memang selalu menjadi rival bersaing dalam segala hal Bahkan sejak mereka akan dilahirkan, mereka berdua lahir di hari dan jam yang sama. Namun, karena berada di desa terpencil dan jaman yang belum modern di desa itu hanya ada satu paraji atau dukun beranak.
Banu Prasetyo ayah Rangga dan Wira Kertayudha ayah Panji, berada di tempat yang sama. Rumah dukun beranak untuk meminta bantuan sang paraji untuk membantu dalam persalinan istri mereka masing-masing. Namun, sang dukun beranak lebih memilih mambantu persalinan istri dari Wira Kertayudha yang saat itu adalah kepala desa.
Akhirnya Rangga terlahir ke dunia ini hanya dengan bantuan sang nenek, sang ibu sempat mengalami pendarahan hebat hingga nyaris nyawa mereka melayang. Itulah kisah pertama yang Rangga dengar hingga Rangga selalu menganggap Panji adalah rival abadinya. Persaingan mereka terus berlanjut baik itu di sekolah, di kampus, atau di mana pun hingga saat ini.
"Pakde yakin Ki Selo bisa bantu kita?" tanya Rangga, ragu kala itu. Kala pertama Handoko mencetuskan idenya mengajak Rangga menemui Ki Selo.
"Pakde sangat yakin." jawab Handoko sambil mengepulkan asap rokok yang ia hisap, hingga asap putih itu membumbung tinggi seperti harapan yang ia tumbuhkan dalam hati Rangga.
"Baik, Rangga ikutin saran Pakde." jawab Rangga, menganggukkan kepala.
"Kalau begitu lusa kita ke sana, konon Ki Selo cuma mau menerima tamu kalau malam Jum'at."
***
Kini dia termangu dengan dagu tertumpu di kedua ibu jari sedang jari yang lain membentuk segitiga menutupi hidungnya. Mungkin untuk meminimalisir masuknya aroma dupa ke paru-parunya. Duduk bersila di atas balai bambu dengan kedua siku tertumpu di lututnya, di hadapannya Handoko duduk bersila dengan kepala menunduk.
Mereka hampir tak sabar saat yang ditunggu tidak juga menampakkan batang hidungnya, bahkan kini ruangan itu semakin gelap karena matahari yang mulai meninggalkan tempatnya bertahta.
Rangga berganti posisi kini bersila menurunkan tangannya sambil menatap tajam ke arah tirai yang bergoyang karena ulah hembusan bayu, berharap segera muncul sesosok manusia dari dalam sana.
"Pakde---" bisikan Rangga tidak berlanjut melihat Handoko kembali menaruh jari telunjuk di bibirnya.
Menghela nafas kasar kesabaran Rangga hampir habis.
Dialah Ranggani Putra manunggal, sesuai namanya dia anak tunggal dari Banu Prasetya dan Lestari ningrum.
Dua bulan yang lalu usianya genap tiga puluh lima tahun, lulusan fakultas ekonomika dan bisnis UGM (universitas gajah mada). Dia sudah menapaki dunia bisnis bahkan sebelum selesai kuliah, tidak heran jika kini ia berhasil menjadi pengusaha sukses di kota Jogjakarta. Usahanya bukan hanya dalam satu bidang tapi berkembang hingga ke beberapa sektor mulai dari mebel, batik, hingga kuliner.
Tidak heran jika pemuda berkulit putih dengan pawakan tinggi besar berhidung mancung itu kini telah menjadi seorang yang kaya raya di usianya yang masih terbilang muda, tanpa mengandalkan warisan orang tua tentunya. Walaupun seorang putra tunggal tetapi Rangga telah terbiasa jauh dari orang tua, ia menetap di Jogja mengurus bisnisnya, lelaki itu baru pulang sebulan yang lalu untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa.
Baginya kemenangan adalah satu-satunya pilihan, atau dia dan keluarganya tidak akan memiliki muka lagi di hadapan keluarga Kertayudha. Bahkan bisa jadi akan lebih terhina. Ya seperti sejak dulu keluarganya memang tidak pernah bisa akur dengan keluarga Kertayudha, seperti ada kebencian yang mengalir turun temurun.
Sesaat Handoko dan Rangga saling bertatap mata lalu bersama-sama melihat ke satu arah, sesaat ada temaran cahaya dari balik tirai rumah tua ini. Seperti cahaya lilin yang menggantung di awang-awang, perlahan mendekat ke arah mereka menampakkan sosok renta yang membawanya.
Sosok renta yang sudah berbadan bungkuk berjalan membawa obor dengan getah damar sebagai bahan bakarnya, membuat aroma khas membaur dengan udara yang kian lembab di ruangan itu.
Sepertinya matahari sudah terbenam sempurna hingga buana sudah berubah warna, cahaya dari api yang bergoyang menjadi satu-satunya penerangan mereka. Suara binatang malam perlahan mulai terdengar menambah kengerian yang menguasai hati.
Kakek tua dengan jenggot lebat dan rambut sepanjang bahu yang telah memutih menggantungkan obor di tempatnya, tepat di dinding sebelah kanan balai yang mereka duduki.
Handoko menggeser tubuhnya hingga bersebelahan dengan Rangga, memberikan ruang yang cukup untuk Ki Selo duduk. Kini pria berpakaian serba hitam yang memegang tongkat dengan tangan kanannya telah duduk bersila di hadapan mereka.
"Angkat kepalamu anak muda." suara berat Ki Selo kian menggetarkan hati keduanya.
Rangga yang merasa terpanggil langsung melakukan apa yang Ki Selo minta. Namun, jantungnya semakin berdebar kencang saat beradu pandang dengan orang yang dikenal sakti tersebut.
Seolah ada kilatan api di mata tua Ki Selo, Rangga kembali menunduk tidak kuat beradu pandang.