Pandora – 8

1671 Kata
Aliando masih tercenung. Tanah kelahiran nenek moyangnya membuat jiwa mudanya dan rasa ingin tahunya seketika bergelora. “Sudah ah, jangan bengong-bengong terus. Ayo cepat jalan, aku ingin kenalin danau pandora sama kamu.” Aliando seketika tersentak. Pemuda itu mengangguk dan mengayuh kembali sepedanya menuju lokasi yang di maksud oleh Gladies. Di sepanjang perjalanan bagian sisi kiri, Aliando melihat hamparan sawah yang luas. Daunnya hijau berkilauan dengan ujung yang mulai menguning. Bagian sisi kanan, ada perkebunan bawang dan sayur-sayuran yang daun-daunnya juga terlihat sangat segar. Sepasang netra Aliando dibuat terpana dan tak putus-putusnya terpesona menatap indahnya bentang alam desa Pandora. “Di sini nggak ada pasar ya?” tanya Aliando yang terus mengayuh sepeda. “Ada dong, masa nggak ada.” “Di mana?” “Di sisi tenggara, sebelah sana. Di situ adalah pasar kami.” “Apa yang berdagang di sini hanya masyarakat sini saja?” “Tidak, beberapa ada juga dari masyakarat luar.” “Lho, kata kakek masyarakat sini tidak bisa berbaur dengan masyarakat luar. Katanya orang-orang yang bukan berdarah asli desa Pandora akan melupakan semua hal setelah meninggalkan tempat ini.” “Kakek tidak salah. Akan tetapi ada beberapa hal pengeculian.” “Pengecualian?” Aliando mengernyit. “Nanti akan aku ceritakan. Oiya, kita hampir sampai.” Aliando seketika menghentikan laju sepedanya. Hamparan danau luas kini terpampang nyata di depan matanya. Danau itu begitu tenang dan sangat bersih. Udara dingin kembali menusuk sebab Aliando hanya menggunakan selampis hodie. Apalagi ia belum terbiasa dengan udara desa Pandora. “Gimana, keren’kan? Lihat tu, danaunya mengeluarkan asap.” Gladies menunjuk ke arah danau. “Iya, keren banget ....” “Ya sudah, ayo kita ke sana.” Aliando mengangguk. Pemuda itu kembali mengayuh sepedanya hingga sampai di tepi danau. Danau itu sepi, Aliando tidak melihat satu warga pun di sana. “Gladies, apa danau ini tidak menghasilkan ikan?” “Ada, memangnya kenapa?” “Tapi kenapa tidak ada yang mengambil ikan di sini?” “Di sini, ikan-ikannya tidak bisa diambil disembarang waktu. Sebab di waktu-waktu tertentu, ikan-ikan di danau ini akan berubah jadi ikan larangan.” “Begitu ya? Lalu kapan bisa ditangkap?” “Jika danaunya tidak lagi mengeluarkan asap.” “Jadi masyakarat sini tidak makan ikan?” “Masyarakat sini membudi dayakan ikan sendiri. Jadi ikan-ikan di sini adalah hasil dari peternakan, bukan ikan alam apalagi dari danau ini. Kalau pun ada, biasanya warga memancingnya dari sungai. Itu juga biasanya tidak bisa untuk dijual, sebab jumahnya sedikit. Jadi ikan dari sungai, hanya bisa untuk dikonsumsi pribadi.” “Owh ....” Aliando mengangguk tanda mengerti. “Ayo kita turun. Kita ngobrol sambil menyusuri tepi danau.” Aliando turun, begitu juga dengan Gladies. Mereka pun mulai berjalan kaki menyusuri danau yang dingin dan indah. Aliando mendorong sepeda itu sementara Gladies berjalan di sisi kirinya. “Kamu nggak merasa dingin?” Aliando menatap Gladies yang terlihat santai tanpa mengenakan hodie atau jaket tebal lainnya. Gadis itu hanya mengenakan baju kaos lengan pendek dan celana katun yang menutupi kaki hingga bagian betis. Gladies menggeleng, “Aku sudah terbiasa dengan udara di sini.” “Masa? Aku lihat bulu tanganmu ikut mengembang.” Aliando memerhatikan lengan Gladies yang putih bersih dengan bulu lebat di tangannya. Gladies memukul bahu Aliando, “Kamu ini. Kamu sampai memerhatikan bulu tanganku.” Gladies tersemu merah. “Maaf ....” Aliando tersenyum, ringan. “Bukannya aku tidak merasa dingin, Al. Akan tetapi aku sudah terbiasa dengan udara di sini sehingga tidak terlalu menggangguku. Kecuali jika suhu udaranya sudah sangat kecil seperti malam hari. Itu juga hanya pakai hodie tanpa menghidupkan perapian.” “Kata kakek, suhu di sini bisa sampai minus?” “Iya ... kalau sudah minus, baru aku butuh perapian dan jaket tebal. Kalau tidak, aku bisa membeku, hehehe ....” Aliando memerhatikan senyum Gladies. Senyum itu cukup manis di balik wajahnya yang putih bersih. Wajah khas darah belanda yang masih mengalir di tubuh Gladies. Iris berwarna hazel yang sangat cantik memikat, membuat mata Gladies tampak berbeda dan bersinar. “Al, kita duduk dulu yuk. Di sana ada bangku besi.” Aliando mengedarkan pandang ke arah ujung telunjuk Gladies. Pemuda itu mengangguk. Aliando dan Gladies mempercepat langkah kaki mereka hingga sampai lebih cepat di bangku besi yang terlihat masih terawat. Terbukti dari cat yang masih belum terkelupas di setiap sisi bangku. Aliando menyandarkan sepeda Gladies di tepi sandaran bangku. Gladies mengambil kantong berisi camilan yang ia letakkan dalam keranjang sepedanya. Aliando duduk lebih dulu di bangku besi, Gladies menyusul. “Al, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku benar-benar nggak sengaja sebab begitu terburu-buru hingga mengotori pakaianmu. Mengenai keisengan kemarin, itu juga atas perintah kakek Kaddar.” Gladies mengulurkan tangannya. “Bukannya kemarin kamu sudah minta maaf?” “Tapi kamu belum memaafkan.” Gladies tersenyum. Aliando cukup terpesona dengan senyum manis gadis desa keturunan Belanda itu. Aliando pun membalas uluran tangan Gladies, “Lupakan ... aku sudah memaafkan. Lagi pula, aku tidak menyangka jika kamu cukup menyenangkan. Aku pikir, memang sangat menyebalkan.” “Hahaha ... Aku ini kaya bunglon, Al. Bisa menyebalkan, bisa menyenangkan juga. Tergantung suhu udara, hahaha ....” Al ikut tertawa ringan, “Desa ini benar-benar sangat indah, kakek dan nenek berharap aku mau tinggal dan menetap di sini. Tapi rasanya akan cukup sulit, sebab aku sudah terbiasa hidup di kota besar.” “Mengapa kamu nggak coba dulu? Aku pastikan kalau kamu akan betah di sini. Apalagi ada aku.” Gladies tersenyum kecut seraya membuang pandang menatap hamparan danau yang masih mengeluarkan asap. Aliando menoleh ke arah Gladies. Manis, pikirnya. Seketika Aliando teringat dengan Vanesha—kekasihnya yang baru saja ia putuskan seminggu sebelum berangkat ke desa Pandora. “Oiya, kita makan camilan dulu sebelum berjalan-jalan ke dalam gua gletser. Aku jamin, kamu pasti akan sangat menyukai tempat itu.” Aliando mengangguk. Udara dingin membuat perutnya mudah lapar. Walau ia sudah makan cukup banyak, tapi tetap saja mulut Al seakan sulit untuk menolak makanan. Gladies membuka bungkusannya dan meletakkan sebuah rantang kecil di tengah-tengah mereka. Gladies membuka rantang itu dan beberapa camilan terhidang di sebelah mereka masing-masing. “Al, ini minuman buat kamu.” Gladies memberikan satu buah termos kecil kepada Aliando. Air mineral hangat, akan menyegarkan tenggorokan Aliando setelah mengayuh sepeda cukup jauh. “Gladies, aku penasaran. Tadi kamu bilang kalau di sini di larang memancing ikan apabila danaunya masih berasap, memangnya apa yang akan terjadi apabila melanggar?” Gladies menggeleng, “Aku juga nggak tahu pasti, tapi menurut mitos, akan terjadi hal yang buruk apabila ada warga yang melakuka hal itu. Kata papa aku, kalau hanya sekedar memancing biasa, tidak masalah karena nggak akan dapat ikan juga. Yang dilarang itu apabila menangkap ikan dengan jala atau dalam jumlah banyak.” “Sejauh ini, apa ada yang pernah melanggar?” “Selama aku hidup di sini, belum pernah ada yang melanggar sebab semua warganya sangat taat akan hukum dan peraturan. Lagi pula tidak ada alasan untuk kami melanggar karena semua warga di sini hidup dalam kesejahteraan.” “Apa kamu pernah mendengar cerita aneh?” “Kakek Kaddar pernah cerita, katanya dulu pernah ada warga yang melanggar sebab ikan hasil dari danau ini rasanya memang sangat lezat dan harga jualnya relatif lebih mahal. Yang paling istimewa, ikan dari danau apabila di bawa ke luar desa Pandora, maka akan tetap awet dan rasa dagingnya empuk. Jadi ada satu warga yang mencoba menentang hukum alam dan tetap berusaha mengambil ikan di danau dalam ketika danau masih berasap sebab masih sepi.” “Lalu apa yang terjadi?” “Seketika terjadi badai besar, langit berubah hitam dan hal buruk mulai mendera desa kami. Sementara warga tersebut hilang tak berbekas.” “Hilang?” “Ya, kata kakek Kaddar ia hilang begitu saja. Kemungkinan masuk ke dalam danau ini dan tidak kembali.” Seketika Aliando bergidik. Pemuda itu menjadi ngeri. “Sekali sebulan, kami ada acara pameran seni di balai desa. Di saat itulah kakek Kaddar sebagai pemimpin selalu mengingatkan warganya agar jangan ada satu pun yang melanggar larangan di desa ini. Jika tetap melanggar, maka harus bersiap mendapatkan bencana. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga masyarakat banyak akan ikut menanggung bencana itu.” Aliando berpikir sejenak. Ia memegangi dagunya seraya menatap hamparan danau yang masih mengeluarkan asap, “Tidak masuk akal. Seakan danau ini ada penunggunya yang bersifat mistis.” “Tidak, Al. Tidak ada hal mistis di sini dan kakek Kaddar selaku pemimpin, atau para orang tua di masing-masing rumah sudah menyatakan jika tidak ada hal mistis di desa ini. Jika ada yang melakukan hal itu, maka hukumannya akan sangat berat.” “Jadi semua ini terjadi karena teknologi?” “Tepat sekali. Cerita itu sudah turun temurun dan selalu diceritakan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Sebagai anak muda desa sini, aku tentu juga sulit untuk memercayainya. Akan tetapi, sebagai generasi penerus, kami hanya boleh percaya dan mematuhi segala aturan jika tetap ingin hidup bahagia dan sejahtera di desa ini.” “Alvoso Geneva ....” Aliando bergumam, lirih. Gladies seketika mengalihkan pandangannya ke wajah Al. Gadis itu mengkerut. “Al, kamu sudah tahu cerita tentang Alvoso? Tahu dari mana? Sebab kata kakek, hanya aku saja yang tahu mengenai nama itu. Kakek tidak pernah memberitahu kepada siapa pun, termasuk anak dan cucu kandungnya sendiri.” Aliando tersentak, “He—eh ... tidak ada apa-apa. Aku tahu nama itu dari silsilah keluargaku yang aku temukan di dalam laci lemari di kamarku,” bohong Al. Gladies mengangguk, “Owh ....” “Gladies, kue buatan mama kamu sangat enak.” Aliando memuji sepotong cake yang baru saja masuk ke mulutnya.” Gladies terkekeh ringan, “Itu bukan buatan mama.” “Oiya? Lalu buatan siapa? Aku lihat tidak ada kue ini tadi di rumah nenek.” Aliando memegangi sisa cake yang masih ada di tangannya. “Itu aku sendiri yang buat, Al. Khusus buat kamu.” Gladies tersenyum tanpa menatap Al, sementara Aliando seketika melabuhkan pandang ke wajah gadis manis yang ada di sebelah kirinya. Gadis dengan hidung mancung dan iris hazel yang sangat menggoda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN