Pandora – 6

1602 Kata
Aliando sudah keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Kakeknya benar, suhu air hangat yang di dalam kamar mandi itu bisa disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan. Ini benar-benar keren. Sudah berasa di hotel berbintang lima saja,´gumam Al seraya menyugar rambutnya dengan handuk. Pemuda itu sudah sangat tampan. Ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Kaddar dan Morena. Al juga sudah mengenakan hodie untuk menghangatkan tubuhnya. Suhu dua belas derajat selsius, masih cukup dingin di tubuh Al. “Pagi, Nek.” Aliando segera menghampiri Morena dan mengecup lembut pipi paruh baya itu. “Pagi, Sayang ....” Morena membalas ciuman Al dengan ciuman hangat dan dekapan sayang. Morena berbinar menatap cucu tampannya yang sudah segar dan wangi. “Nenek tampak berbeda hari ini? Tampak sangat segar dan cantik.” Al menatap neneknya dengan wajah lebih merona dari hari pertama ia datang ke tempat ini. “Iya, Al. Kedatanganmu ke sini membawa pengaruh baik untuk nenekmu. Lihat saja, ia sendiri yang sudah menyiapkan semua ini tanpa mau dibantu oleh kakek. Nenek Morena juga tidak ingin lagi memakai kursi roda atau tongkatnya. Katanya ia ingin sehat demi cucunya.” Kaddar tersenyum seraya menatap wajah Morena—wanita yang begitu ia cintai. Morena terkekeh ringan, “Iya, Al. Nenek akan lebih semangat lagi agar bisa sehat. Nenek sangat berharap Al bisa terus menemani kami di sini. Nenek seakan kembali memiliki semangat hidup.” Morena membelai lembut wajah Aliando. “Iya, Nek. Al juga sangat senang melihat senyum cantik di wajah nenek.” “Ah, kamu ini bikin nenek ge-er saja. Cantik dari mananya? Keriput di mana-mana dan ini lihat, hanya tinggal kulit pembalut tulang.” Morena memperlihatkan tangannya ke Aliando. “Makanya nenek harus makan yang banyak biar bisa gendut, hehehe ....” Morena kembali terkekeh ringan. Wajah tampan Al membuatnya sangat bahagia. Kali ini, netra Al menatap berbagai hidangan yang sudah tersedia di depan matanya. Hidangan yang sangat amat jarang ia temukan di ibu kota Jakarta. Bahkan sedari kecil, Al tidak pernah mencicipi masakan buatan tangan ibunya sebab ibu Al memang tidak pernah memasak. Ia menyerahkan semua tugas itu kepada asisten rumah tangga sebab ia terlalu sibuk mengurusi bisnisnya. “Kenapa, Al? Al tidak suka masakan nenek?” wajah Morena berubah sayu tatkala melihat cucunya menatap makanannya dengan pandangan nanar. “Bukan, bukan begitu, Nek. Justru Al sangat terharu. Di Jakarta, Al tidak pernah merasakan kehidupan seperti di sini. Al bahkan tidak pernah sekali pun mencicipi masakan buatan mama sebab mama tidak pernah mau mengotori tangannya dengan bahan masakan. Al juga sangat jarang makan bersama seperti ini.” “Oiya? Memangnya ayah dan ibumu kemana saja?” Wajah Kaddar berubah berang. “Mereka berdua sibuk dengan bisnisnya, Kek.” “Sammy masih belum berubah juga,” gerutu Kaddar. “Tapi nggak apa-apa kok, Kek. Al tetap bahagia kok. Al percaya, mama dan papa melakukan semua itu juga demi masa depan Al. Lagi pula ada bibi yang setiap saat selalu ada untuk Al.” Aliando mencoba membela ke dua orang tuanya walau dalam hatinya tentu ada rasa kecewa. “Ya sudah, kalau begitu Al pindah sekolah ke sini saja. Nenek jamin, Al akan bahagai di sini. Banyak pemuda sebaya Al di sini yang bisa menjadi teman baik Al.” Al mengerutkan keningnya, “Tapi di sini nggak ada Mall, nggak ada tempat nongkrong seperti di Jakarta. Lagi pula, udaranya sangat dingin di malam hari.” “Itu masih delapan derajat lho, terkadang di sini bisa sampai minus. Ya, walau cuma sesekali saja.” Kaddar mulai menyeruput kopi panas khas desa Pandora. “Apa?! Ini beneran udah kayak di luar negeri, Kek? Apa turun salju juga?” “Tidak, di sini tidak pernah turun salju. Sesekali hanya hujan es. Tapi tidak pernah sampai merusak apa pun,” jelas Kaddar. “Walau di sini tidak ada salju, tapi kalau musim dingin tiba, Al bisa bermain ice skating di danau ujung sana.” “Danau itu akan berubah jadi es?” Morena mengangguk. Wanita itu juga menyeruput kopi panas khas desa Pandora. “Kenapa desa sekeren ini tidak pernah masuk berita? Apa pemerintah tidak tahu? Ini kalau dikembangkan bisa jadi sektor pariwasa keren, Kek.” “Jangan, Al. Jangan sampai itu terjadi. Kakek ingin desa ini tetap alami sampai kiamat tiba. Bahkan satelit saja tidak bisa melacak keberadaan desa kita ini.” “Kenapa bisa begitu, Kek?” “Itu karena kakek buyutmu sudah menciptakan perangkat super canggih yang memancarkan radar hingga satelit apa pun tidak akan mampu menembusnya. Begitu juga orang asing yang datang ke sini. Jika mereka tidak memiliki darah dari masyarakat asli desa Pandora, maka mereka otomatis akan melupakan desa ini ketika mereka keluar dari desa ini.” “Seperti mistis saja.” “Bukan, Al. Semua ini bukan mistis yang berhubungan dengan alam gaib atau iblis. Semua ini murni karena kecanggihan teknologi yang sudah diciptakan oleh kakek buyutmu. Beliau adalah Alvoso Geneva. Kamu pasti sudah mengenal namanya, bukan?” “Kek, dari mana Al bisa tahu mengenai Alvoso?” Morena berbisik seraya mengedipkan matanya. “Nanti akan aku beri tahu,” balas Kaddar. Aliando merenung sesaat. Cerita yang sudah disampaikan kakeknya cukup menarik minatnya. Ada perasaan tidak percaya, tapi penasaran juga. “Sudah ... sudah ... nanti saja bicarakan masalah desa ini. Sebaiknya sekarang kita makan dulu. Nenek sudah capek-capek masak, nanti keburu dingin. Oiya, Al. Nenek sudah buatkan kopi s**u panas, asli hasil kebun dan olahan warga sini. Silahkan diminum untuk menghangatkan tubuhmu. Al menatap cangkir yang ada di depannya, “Kopi? Maaf, Nek. Al tidak suka kopi.” “Coba saja dulu, Nak. Minum agak seteguk saja. Nenek jamin, Al pasti menyukainya. Ini terbuat dari biji kopi pilihan yang di olah secara tradisional. s**u yang digunakan juga dari s**u kambing asli desa Pandora.” “s**u kambing?” Aliando semakin mengernyit. Sejak kapan aku menyukai s**u kambing? Al membatin. “Coba saja dulu. Setidaknya, Al sudah mencoba sebab nenek Morena sudah capek membuatnya. Kalau memang Al tidak suka, biar kakek yang habiskan.” Kaddar meyakinkan cucunya. Al mengangguk. Ia mencium aroma minuman itu sesaat . “Aromanya enak, Kek. Tidak ada bau amis sama sekali.” “Coba saja dulu. Kalau Al memang tidak suka, biar kakek yang habiskan.” Aliando mengangguk. Ia pun mulai meletakkan bibirnya di tepi cangkir dan mulai memasukkan minuman itu sedikit ke mulutnya. “Bagaimana, Al?’ tanya Morena. “Waw ... ini keren sekali, lezat ... Al tidak pernah menemukan minuman seenak ini di Jakarta.” Al kembali meneguk minuman itu hingga terasa hangat di kerongkongannya. “Coba kalau mama dan papa meminum kopi ini, pasti mereka akan menyukainya dan akan berpikir untk membisniskannya.” “Tidak, Al. Apa pun yang berasal dari desa ini, tidak akan bisa dibawa keluar. Sammy dulu pernah mengutarakan hal itu kepada kakek dan kakek sudah menjelaskan. Sammy kecewa dan diam-diam ia tetap membawa bubuk kopi dan sebotol s**u kambing ke Jakarta. Tidak lama, Sammy menghubungi kakek. Katanya bubuk kopi itu berubah warna menjadi merah dan baunya tidak enak. s**u yang dibawa Sammy juga berbusa.” Kaddar berhenti sesaat. Ia mengedarkan pandang ke langit-langit rumah. “Kakek cukup marah mengetahui hal itu. kakek tidak menyangka jika Sammy berusaha membohongi kakek.” Wajah Kaddar jelas menampilkan gurat kekecewaan. “Kenapa bisa begitu, Kek?” “Bukankah tadi sudah kakek katakan, desa ini sudah di lindungi oleh sebuah perangkat canggih yang memancarkan gelombang magnetik yang tidak bisa dideteksi oleh apa pun.” “Kenapa Al susah sekali memercayainya, Kek? Yang Al tahu, ada beberapa daerah yang juga memiliki keistimewaan seperti itu, tapi bukan karena teknologi. Yang Al tahu, Indonesia belum memiliki kemampuan secanggih itu. hal-hal ajaib itu terjadi karena mistis dan sihir.” “Di daerah lain mungkin saja, Al. Tapi desa Pandora berbeda. Di sini tujuh puluh lima persen penduduknya menganut ajaran kristen seperti kita. Dua puluh persen lagi adalah muslim dan sisanya agama lain dan ada juga beberapa yang tidak memercayai agama. Kakek sebagai pemimpin, tidak mempermasalahkan hal itu, asalkan mereka tidak melakukan ritual aneh apa lagi yang berhubungan dengan pemujaan setan.” “Bagaimana kakek tahu kalau tidak ada warga kakek yang memuja setan? Dukun, misalnya? Atau ilmu sihir?” “Setiap warga yang berani melakukan hal itu, ia akan mendapat petaka saat itu juga. Sebab kecanggihan ini membuat siapa pun tidak boleh bersekutu dengan makhluk gaib.” “jadi di sini tidak ada jin atau iblis atau yang lainnnya?” “Bukan tidak ada, Al. Akan tetapi manusia di sini tidak boleh bersekutu dengan mereka. Nanti kalau Al sudah jadi warga sini, Al akan mengerti.” Aliando kembali mengangguk. “Itu hanya berlaku untuk desa Pandora, kalau di kerajaan Pandora berbeda lagi.” “Maksud, Kakek?” “Sudahlah, Kek. Kelamaan ngobrol nanti makanannya jadi dingin. Awalnya dari kopi, tapi kok malah merembes ke masalah pemujaan. Terus ngomongin kerajaan Pandora. Kalau sudah membicarakan kerajaan Pandora, maka tidak akan ada habisnya.” Morena protes. Ia pun mulai memberikan piring kepada cucunya. “Maaf, Nek. Ternyata desa ini banyak sekali menyimpan keunikan. Al jadi tertarik,” ucap Al. Morena seketika merona mendengarkan pernyataan Al. Ia dan Kaddar saling pandang, berharap Aliando benar-benar akan meneruskan kepemimpinan desa Pandora dan juga mengembalikan kejayaan kerajaan Pandora. “Kakek dan nenek kok bengong saja. Ayo makan sama-sama. Jangan katakan kalau Al harus menghabiskan semua makanan ini seorang diri.” Aliando tersenyum melihat kakek dan neneknya saling berpandangan. “He—eh ... iya ... ayo kita makan sama-sama.” Morena tersetak. Ia mengambil piring dan memberikannya kepada Kaddar. Ia sendiri pun mulai mengambil nasi dalam porsi yang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Kaddar kembali tersenyum melihat isi piring istrinya. Pria itu merasa sangat bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN