Glek!
Rai menelan ludah dan tak berani menatap Sakura yang saat ini menatapnya. Saat ini ia tengah menghitung belanjaan Sakura sementara Sakura berdiri di depan meja kasir dengan satu tangannya yang bertumpu meja dan memangku dengan tak berhenti menatap Rai. Kenapa rasanya canggung sekali? Akhirnya Rai mencoba memberanikan bertanya layaknya teman pada umumnya.
“Um … bagaimana hasilnya, Sakura-san?”
Sakura yang masih tak mengubah posisinya berdiri, sedikit mengembungkan pipi dan memasang wajah cemberut. “Aku terlambat, mereka sudah mendapat pegawai kemarin,” jawabnya.
“A—“ Rai tak tahu harus mengatakan apa sekarang. Padahal ia ingin mengucapkan selamat, tapi jika jawaban Sakura demikian, kiranya kata-kata apa yang pantas ia berikan? Namun sebelum ia selesai merangkai kata, suara Sakura lebih dahulu menginterupsi pendengarannya.
“Oh, ya, Rai-san, bukankah besok kau libur? Maukan kau membantuku?”
“Me—mebantu? A—apa?”
“Mungkin kita bisa jalan-jalan sekaligus mencari tempat kerja. Tapi, jika Rai-san keberatan atau sibuk tidak apa-apa,” jawab Sakura yang kemudian mengeluarkan uang dari dalam dompet untuk membayar.
“Apakah Sakura mengajakku kencan?” batin Rai. Namun ia segera mengenyahkan pikiran tersebut kemudian menjawab. “Ba—baiklah, aku sama sekali tak memiliki rencana untuk besok.”
Sakura hanya tersenyum tipis kemudian membayar belanjaannya yang sudah ia kira-kira berapa jumlahnya. “Baiklah, kalau begitu besok jam sembilan,” ucapnya yang kemudian membawa barang belanjaannya.
“Sakura-san, kembaliannya,” panggil Rai saat Sakura hendak berbalik.
“Simpan saja kembaliannya. Dan … sampai jumpa nanti malam dan besok pagi, Rai-san.”
Rai terpaku saat menatap kepergian Sakura yang tersenyum untuknya dan melambaikan tangan juga mengatakan demikian. Bahkan Rai hampir lupa bahwa nanti malam mereka ada janji makan malam, karena terlalu senang akan pergi kencan besok.
Tunggu! Rai segera menggeleng saat kata kencan kembali terlintas. Kemudian ia kembali menatap keluar toko yang mana Sakura terlihat mulai berjalan menjauh. Perlahan tangan Rai terangkat dan terkepal di depan dadanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman amat sangat tipis berharap hari ini segera berlalu agar ia bisa kembali melihat wajah ayu itu. Namun, harapan hanya tinggal harapan, saat bulan semakin meninggi, Rai tak menemukan Sakura sesuai janji.
Seperti biasa, Rai sengaja memperlambat langkah agar bisa berpapasan dengan Sakura di tangga. Namun sudah hampir sepuluh menit menunggu, Sakura tak juga kelihatan batang hidungnya. Bahkan Rai sengaja pulang sedikit lebih cepat dan menyempatkan membeli makan malam untuk mereka.
Rai melirik jam tangannya dan bergumam, “Apa sudah pulang?” Kemudian ia mendongak melihat ke arah apartemen Sakura yang tampaknya masih gelap. Itu artinya Sakura belum pulang. Dan akhirnya ia kembali memilih menunggu.
Rai duduk di anak tangga dan menyandarkan kepalanya pada railing dimana tangannya membawa sekantong plastik berisi makanan. Senyumnya pun kembali merekah membayangkan sebentar lagi akan menghabiskan waktunya bersama Sakura. Sayangnya, Sakura tak juga tiba hingga perlahan Rai mulai memejamkan mata karena kantuk yang mendera. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas waktu setempat, Sakura tak juga terlihat.
Plak!
Rai menepuk leher kala merasakan nyamuk menggigit lehernya dan seketika membuatnya terbangun dari tidurnya yang tak nyaman. Kembali melirik jam tangannya, rasa kecewa pun mulai menguap. Ia mengangkat sekantong plastik di tangan dan tersenyum kecut menatapnya. Mungkin Sakura lupa, batinnya.
Rai bangkit dari duduknya dan menengok ke arah biasa Sakura datang, namun jalanan masih saja sepi. Akhirnya ia menyerah menunggu dan memilih menaiki anak tangga menuju apartemennya. Namun saat langkahnya baru sampai di tengah anak tangga, samar-samar ia mendengar suara mobil. Rai pun menoleh, dan benar saja, di bawah ia melihat sebuah mobil berhenti. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat siapakah yang keluar dari mobil berwarna hitam itu. Dan dia adalah, Sakura. Namun bukan hanya itu yang menjadi atensi penglihatannya, melainkan seorang pria yang juga keluar dari dalam mobil kemudian berdiri di depan Sakura seakan menahannya pergi. Mata Rai melebar, tepat saat melihat pria itu mencium Sakura-nya. Bukan hanya itu, pria itu mendorong Sakura hingga bersandar mobil dan memperdalam ciuman mereka dengan tangan yang terlihat tak tinggal diam.
Hati Rai seolah terbakar, ia masih terdiam kaku dengan tangan yang memegang railing dengan lemas. Apa ia salah lihat? Tapi tidak, itu benar-benar Sakura. Lalu siapa pria itu? Apa kekasihnya?
Trap!
Kantong plastik di tangan Rai jatuh, saat rasa terkejut dan tak percaya bercampur menjadi satu. Dan hal itu sontak mengagetkan Sakura juga prianya hingga membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara.
Mata Sakura melebar sempurna saat melihat Rai menatap ke arahnya. Ia pun segera mendorong pria yang mengukungnya kemudian berdiri tegak dan berbalik memunggungi Rai. Sementara pria tersebut tampak tak senang menatap kearah Rai.
Rai tidak tahu apa yang pria tersebut dan Sakura bicarakan, namun beberapa saat kemudian pria itu segera memasuki mobilnya dan pergi dari sana.
Sakura mengambil nafas panjang dan mengebuskannya perlahan kemudian berbalik dan menatap Rai dengan senyum simpul yang merekah. “Selamat malam, Rai-san,” ucapnya.
Rai hanya diam dan segera berbalik kemudian menaiki anak tangga dengan langkah cepat mengabaikan Sakura juga makanannya yang teronggok di tangga.
Sakura terdiam menatap Rai yang tak lagi terlihat oleh pandangannya. Kemudian pandangannya jatuh pada sekantong plastik yang teronggok. Ia pun menaiki anak tangga dan mengambil kantong plastik tersebut. Diambilnya kantong plastik itu dengan pandangan tak terbaca. Namun sebuah senyum tipis pun tampak menghiasi bibirnya. Amat sangat tipis hingga nyaris tak seperti sebuah senyuman.
Jbles!
Rai menutup pintu dengan sedikit terasa kemudian tetap berdiri di sana selama beberapa saat dengan dadanya yang masih bergemuruh. Ingatan saat melihat pria itu mencumbu Sakura terekam sangat jelas. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak, kenapa rasanya amat menyakitkan?
“Mahrus sadar,bodoh, dia bukan milikmu!” makinya pada dirinya sendiri. Ia sampai memukul-mukul dadanya yang terasa sakit. Bahan sakitnya pukulan tangannya tak sebanding dengan rasa sakit yang terasa dalam dadanya.
Tok … tok … tk …
Rai tersentak saat pintu terketuk dari luar. Tangannya terkepal kuat, mungkinkah itu Sakura? Mengambil nafas panjang, perlahan kepalan tangan Rai terbuka dengan ia yang berusaha bersikap sebiasa mungkin. Tidak mungkin ia bersikap seperti kekasih Sakura yang cemburu, semenara ia bukanlah siapa-siapa. Bahkan kedekatannya dengan Sakura masih bisa dibilang hitungan jam.
Cklek … Kriet ….
Rai membuka pintu dan berusaha bersikap senormal mungkin.
“Rai-san, apakah ini milikmu?”
Rai mencoba tersenyum meski tak berani menatap Sakura. “Ah, ya.Aku … terlupa, terima kasih,” ucapnya seraya menerima kantong plastik itu dari tangan Sakura kemudian hendak segera menutup pintu. Namun sebelum itu terjadi, suara Sakura menghentikan niatnya.
“Apa kau melihatnya?”
Glek!
Rai tak tahu harus menjawab apa, rasanya masih terlalu sakit kala mengingatnya, dan sekarang Sakura justru menanyakan mengenai hal tersebut. Ia pun hanya bisa diam dengan setengah menunduk dan tersenyum kecut.
Sakura menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, menatap Rai dengan pandangan tak terbaca kemudian mengatakan, “Maaf, kau harus melihatnya, dan maaf, kau sampai menungguku. Jika kau tak keberatan, bagaimana jika aku menemanimu? Bukankah kau sengaja membeli dua nikujaga untuk kita?”
Rai terdiam, rasanya berat, haruskah ia makan malam dengan Sakura dengan keadaan seperti ini. Dengan ia yang melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang Sakura lakukan dengan kekasihnya. Tapi … jika ia bersikap aneh atau menolak, ia takut Sakura akan menganggap terlalu berlebihan sementara dia bukan siapa-siapanya.
“Ba—baiklah.” Akhirnya Rai hanya bisa mengangguk menyetujui. Tidak apa-apa Sakura sudah dimiliki orang lain, setidaknya masih bisa berteman dengan Sakura saja rasanya sudah cukup. Tapi kenapa rasanya masih sangat sakit?