Kedatangan Diana langsung disambut senyum hangat oleh Milla. Senyum hangat yang sampai detik ini masih membuat Diana bertanya-tanya. Apakah senyum itu tulus? Atau ...?
Diana menggeleng, mencoba mengenyahkan pemikiran buruk, beserta pertanyaan-pertanyaan lain yang turut hadir di pikirannya.
“Di ...? Kamu kelihatan sehat. Syukurlah. Dua hari enggak ketemu, aku khawatir banget sama kamu.”
Diana belum merespons Milla yang duduk selonjor di tempat tidur sebelah kiri, di kamar Milla.
“Duduk, Di,” lanjut Milla. Tangan kanannya menepuk-nepuk tempat tidur di sebelahnya, berharap Diana duduk di sana.
Diana menggeleng sekenanya dan memilih bungkam.
“Di ... aku tahu aku salah karena aku masih belum bisa membuat Romi bersikap baik kepadamu. Makanya, aku ingin minta maaf.”
Diana tetap bungkam, meski jauh di lubuk hatinya, ia ingin bilang, dirinya tidak butuh sikap baik Romi maupun Milla sendiri, sebab yang Diana inginkan hanyalah pergi.
“Suasana hati Romi sedang baik, karena dia baru saja mengetahui, anak kami berjenis kelamin laki-laki.”
Suara Milla masih mengalun lembut bersama senyum tulus yang tak hentinya terukir menghiasi wajah cantiknya yang masih agak pucat.
“Biar bagaimanapun, aku memang harus mengucapkan selamat kepada kalian. Selamat untuk kabar baiknya. Dan jika memang enggak ada hal penting yang perlu dibahas, aku pergi.”
Milla menatap Diana yang benar-benar akan meninggalkannya, dengan gelisah. “Di ....”
Diana yang sudah balik badan dan baru akan melangkahkan kakinya, refleks berhenti.
“Aku sudah bilang ke Romi. Malam ini, Romi tidur di kamar kamu, dan Romi sudah setuju.”
Ucapan Milla barusan sukses membuat kepala Diana seperti didihkan. Diana bahkan refleks menggunakan kedua tangannya untuk memijat pelipisnya demi meredam rasa menyiksa di kepalanya. Rasa menyiksa yang seolah akan membuat kepalanya meledak.
“Sampai di titik ini saja, aku sudah nyaris gila, Mil. Jadi aku mohon, jangan membuat semuanya semakin jauh. Cukup bantu aku lepas dari penjara ini saja.”
Milla menghela napas dalam dan berakhir dengan mendesah. Ia menggeleng, menatap punggung Diana dengan gelisah. “Enggak mungkin, Di. Romi butuh kamu ....”
Diana balik badan dengan cepat. “Butuh aku buat dijadikan tumbbal?” tegasnya emosi sambil menatap Milla dengan mata yang memerah sekaligus berkaca-kaca.
“Kalau Romi memang butuh bantuanku, dengan senang hati aku mau bantu. Tapi ya tolong, meski pernikahan kami karena pernikahan bisnis, kalian pikir hanya kalian yang dirugikan? Hanya karena kalian merasa hubungan kalian terganggu gara-gara aku? Heiii ... di sini aku juga korban! Bahkan adanya hubungan kalian, aku menjadi dua kali dirugikan. Dan ... perlakuan Romi? Dia bahkan memperlakukanku seperti binattang!” tangis Diana pecah, tapi dengan tegar, ia mengelap kasar air matanya dalam sekali sapuan.
Diana nyaris kembali meluapkan kekesalannya, tapi melihat Milla yang sampai menangis dan menunduk sedih, kenyataan tersebut membuatnya urung. Pikiran Diana mendadak buntu hanya karena melihat kesedihan wanita yang ia hadapi dan usianya jauh lebih tua darinya.
Tak ada hal lain yang bisa Diana lakukan selain pergi dari sana. Ia melakukannya tanpa menutup pintu kamar Mila. Di waktu yang sama, Diana mendapati Romi yang muncul dari dapur. Pria itu tertegun menatapnya penasaran, bersama langkah Romi yang berangsur memelan. Namun, Diana menepisnya dengan lirikan sinis sebelum akhirnya masuk kamar sekaligus mengunci pintunya.
Diana membeku di balik pintu dengan punggung yang menempel ke pintu. Dengan keadaan cukup membungkuk dan perlahan ambruk, Diana yang berakhir terduduk di lantai, mendapati ketukan pintu kasar dari luar. Lebih tepatnya, gedoran tak sabar dan terdengar jelas karena pelakunya emosi. Tanpa suara, yang sudah bisa Diana pastikan, Romi-lah pelakunya.
Beberapa kali, kenop pintu bergerak-gerak dengan kasar, tapi Diana hanya meliriknya, mengabaikannya. Diana lebih memilih melangkah menuju nakas di sebelah tempat tidurnya. Karena di sana, ponselnya tak hentinya berdering. Dering panggilan masuk. Meski yakin itu pasti dari Willy yang terus ia abaikan. Akan tetapi, kali ini Diana berniat meminta bantuan Willy.
Diana melangkah tak ubahnya zombie. Pelan, lebar, sedangkan pandangan kosong, meski sesekali, air matanya masih berlinang.
Tanpa memastikan penelepon di ponselnya, Diana berkata “Tolong bantu aku pergi dari sini. Aku ingin pergi.”
“D-di ...? Kamu ngomong apa?”
Suara yang terdengar galak barusan, langsung membuat Diana tersentak. Dipastikannya layar ponsel dan benar saja, itu bukan si berondong Willy dan sesore ini membuat ponsel Diana kehabisan banyak daya batre, akibat kesibukan Willy mengirimi Diana pesan. Baik pesan tulisan, foto-foto menyentuh bahkan romantis, juga pesan suara berupa suara Willy yang menyanyi diiringi petikan suara gitar.
“K-kak Dit-ta ...?” Diana refleks menelan salivanya. Masih tak percaya jika kakak perempuannya yang berprofesi sebagai model itu sampai meneleponnya. Apakah ada sesuatu yang sangat penting, hingga Dita terpaksa meneleponnya? Tak biasanya Dita menelepon jika tidak genting.
“Nah iya, ini aku. Terus itu tadi kamu kenapa? Kenapa kamu melantur kayak tadi? Sudah ngigo kamu? Eh, ini aku ganggu enggak? Kamu sama suamimu sudah tidur?”
Diana refleks menyeka tuntas air matanya. “Memangnya ada apa, Kak.”
“Gini, Di. Kakak butuh bantuan kamu. Besok, kamu tolong gantiin Kakak, ya? Gila saja, masa papah mau jodohin aku juga! Males banget, kan? Jadi besok, kamu saja yang temuin dia!”
Bersamaan dengan Dita yang berhenti bicara, Diana refleks balik badan lantaran suara benturan dari pintu seperti pintu tersebut sedang didobrak.
“Rom, sudah. Diana enggak salah.”
Suara Milla terdengar memohon dari luar. Diana refleks menelan salivanya karena yakin, sebentar lagi ia akan mendapatkan hukuman.
“Aku mau, Kak! Tapi Kakak jemput aku, ya! Kakak izin ke Romi!” Diana sengaja menerima tawaran Dita agar bisa keluar dari rumah Romi.
“Jadi serius, nih, kamu mau?” Dari seberang, suara Dita terdengar sangat bahagia. Bisa Diana pastikan, sang kakak yang tidak suka diatur dan terbilang pemberontak lain dari Diana, merasa sangat bahagia.
Bisa Diana pastikan, Dita akan melakukan segala cara untuk menghindari perjodohan yang harus dihadapi. Dan Diana akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk kabur dari Romi.
“Pokoknya atur agar aku dapat izin dan menemui calon Kakak, yah!” Diana bersemangat.
“Sip, Di! Beres! Sekarang juga biar aku ngomong ke Romi. Kamu tolong kasih hapemu ke Romi. Biar Kakak ngomong ke dia!”
Betapa bahagianya Diana dan merasa dewa vortuna sedang berpihak kepadanya.
“Iya, Kak. Sabar!” Semringah dan tak sabar, Diana berlari dan langsung membuka pintu yang masih berusaha Romi dobrak. Bahkan Romi sampai langsung mencengkeram salah satu pergelangan Diana dan seketika membuat Diana menjatuhkan ponselnya lantaran tak tahan dengan rasa sakit efek apa yang Romi lakukan.
“Romi!” tegur Milla.
Diana refleks menangis, tentu saja. Diana wanita biasa yang akan tetap merasakan sakit, meski ia sudah sering bahkan terbiasa merasakan sakit.
“Di, kok ada suara cewek? Kalian ada di kamar, kan?” Suara Dita terdengar lantang lantaran sebelum membuka kunci pintu kamarnya, Diana sudah me-loadspeker ponselnya.
Bisa Diana lihat keterkejutan yang luar biasa dari wajah Romi apalagi Milla yang refleks menggunakan kedua tangannya untuk menutup mulut.
“Diana ...? Di, jangan bikin Kakak mikir buruk, dong.”
“Kalau kamu tetap diem, Kakak langsung datang ke rumah suami kamu, ya?”
Dan penegasan Dita barusan, langsung Membuat Diana berseru, “Kak ....” Diana refleks terdiam lantaran Romi memungut ponselnya.
Tak hanya itu, sebab Milla juga sampai memukul tangan Romi yang memang sampai memelintir tangan kiri Diana. Dan ketika Milla menyentuh tangan kiri Diana, Diana refleks menyeringai sekaligus mundur lantaran tak tahan dengan efek sakit di tangan kirinya.
“Diana ... jangan bikin Kakak tambah cemas dong. Oke, sekarang juga Kakak ke sana.”
“Kak Dita, ini aku.” Romi mengambil alih.
Menyadari itu, Diana yang kecewa memutuskan untuk kembali ke kamar tanpa menutup pintunya. Diana masuk ke kamar mandi dan mengunci diri di sana. Akan tetapi, sekitar lima menit kemudian, Romi menggedor pintu kamar mandi keberadaan Diana, dan meminta Diana untuk siap-siap lantaran Dita akan datang.
Bersambung ....