“Jangan pernah membahas dosa, jika pada kenyataannya, hubungan ini sudah dimulai dengan banyak dosa!”
Episode 2 : Kejutan
****
Pemandangan yang membuat terkejut langsung Diana dapatkan ketika ia memasuki rumah pribadi Romi, selaku pria yang baru saja menikahinya.
Mereka baru saja menyelesaikan acara pernikahan mereka yang terbilang sederhana. Tanpa pesta megah dan hanya dihadiri oleh keluarga sekaligus kolega penting keluarga mereka. Di mana, di malamnya dan masih di hari yang sama, Romi langsung membawa Diana pulang ke rumah pribadi.
Terlahir menjadi anak ke dua dan masih sama-sama menjadi wanita layaknya kakaknya, berbeda dengan sang adik yang terlahir sebagai laki-laki, membuat Diana mendapat perlakuan berbeda. Benar-benar tak ada yang istimewa, baik perlakuan yang Diana terima, maupun apa yang ada dalam diri Diana. Hingga ketika perjodohan itu datang, demi nama baik keluarga, Diana tak bisa menentang, sekalipun Dita sang kakak masih melenggang bebas bersama karier yang cemerlang.
Diana terpaksa menerima perjodohannya dengan Romi, pria yang selalu menyikapinya dengan dingin, bahkan hingga detik ini, setelah mereka menjadi suami istri.
“Kamu sudah makan?”
Merinding, pertanyaan hangat penuh sayang itu keluar dari mulut seorang Romi yang selama dua bulan terakhir, sangat jarang bicara apalagi kepada Diana.
Tanpa terkecuali, belaian penuh sayang yang menyapu wajah berikut perut terbilang buncit, sesaat setelah Romi turut melayangkan rangkulan mesra. Masalahnya, Romi bukan melakukannya kepada Diana yang tertegun di depan pintu dengan mata yang semakin lama semakin basah, seiring rasa panas yang menyertai. Sebab Romi melakukannya kepada wanita cantik bertubuh semampai yang langsung menyambut kedatangan mereka, dan seketika langsung menarik perhatian Romi. Diana dibiarkan begitu saja, tanpa basa-basi apalagi perhatian lebih.
Wanita tersebut dan masih Romi dekap, teramat cantik, kendati hanya mengenakan daster polos selutut warna biru muda. Rambutnya panjang sepinggang bergelombang, berwarna hitam legam dan tampak sangat lembut. Sedangkan matanya lebar bermanik kecokelatan dan sangat berbinar. Selain kulit si wanita yang berwarna putih bersih, senyum yang begitu hangat darinya juga sampai disertai lesung pipit yang membuat kenyataannya semakin sempurna. Diana sampai bingung, kenapa Tuhan memberi wanita itu kesempurnaan luar biasa? Hingga rasa iri tumbuh begitu cepat dalam hati Diana.
“Rom, jangan gini. Enggak enak ada Diana.”
Diana yang mematung di tempat, refleks menelan salivanya. Ternyata wanita cantik yang bisa Diana pastikan sedang hamil, mengenalnya.
“Biarin saja, aku capek. Kita tidur. Kamu sudah minum vitamin sama s**u hamil, kan?” Melalui rangkulan mesra, Romi membimbing si wanita meninggalkan Diana begitu saja.
Dugaan Diana benar, wanita tersebut sungguh sedang hamil!
“Romi … kamu enggak boleh gini. Kasihan Diana jangan ditinggal. Malam ini kamu harus tidur sama dia, apalagi malam ini malam pertama kalian,” protes si wanita berusaha bertahan tak mau meninggalkan Diana begitu saja.
Meski belum tahu pasti, obrolan keduanya yang mengalun lirih sekaligus terdengar intens, sukses membuat Diana gemetaran. Lemas, sedangkan air mata terus berlinang bersama pemikiran buruk yang telanjur menguasai.
Siapa wanita itu? Wanita yang akhirnya melepaskan diri dari Romi, kemudian menghampiri Diana dengan tergesa sambil mengulas senyum yang begitu hangat dan membuatnya terlihat semakin cantik.
“Di …?” Tak hanya parasnya, suaranya juga teramat lembut.
Diana yang telanjur tenggelam dalam kesedihan, menatap kepergian Romi penuh tanya sekaligus luka.
Tangan kanan berjemari panjang si wanita terulur di hadapan Diana. Diana hanya menatapnya tak mengerti lantaran ia benar-benar bingung.
“Aku Milla, sekretaris pribadi sekaligus istrinya Romi ….”
Deg … jantung Diana seolah lepas detik itu juga. Sungguh sulit dipercaya, apa yang ia alami tak ubahnya kejutan yang sempurna!
Milla yang langsung terlihat tidak enak hati atas tanggapan Diana, susah payah mengulas senyum. Ia menyalami tangan kanan Diana.
“Demi Tuhan aku akan membuat Romi menyikapi kita dengan adil.”
Diana tidak yakin, apakah Milla benar-benar baik, atau … ada maksud terselubung? Mana ada seorang wanita bahkan istri yang rela berbagi pasangan, suami?
“Gaun ini bikin kamu tambah cantik. Berarti pilihanku pas,” lanjut Milla yang menjadi lebih ceria sembari mematut penampilan Diana dari ujung kepala hingga kaki.
Padahal, Diana yang sedang diamati dan perlahan menggeleng, sudah sangat ingin lari sambil menangis meraung-raung. Jangan bilang, semua yang Diana terima dari Romi juga bagian dari kesepakatan keduanya? Atau lebih parahnya, … Milla juga yang mengatur semuanya?
“Tapi … Mas Romi sekeluarga enggak pernah cerita tentang pernikahan Mas Romi sebelum Mas Romi menikahiku, bahkan di KTP-pun, status Mas Romi … masih lajang?” Pertanyaan tersebut hanya meledak-ledak di hati berikut benak Diana.
Melihat Diana yang kebingungan dengan air mata yang kian berlinang, Milla menatap wanita yang dikata Romi lebih muda dua tahun darinya itu dengan tatapan iba. Kedua tangannya meraih kedua tangan Diana yang nyatanya sudah basah karena keringat.
Diana menatap bingung Milla berikut apa yang Milla lakukan.
“Ceritanya panjang. Tapi percayalah, Romi akan menyelesaikan semuanya. Aku mohon percaya!” Milla berusaha menjelaskan, tapi semakin ia bicara, semakin cepat pula wanita di hadapannya menggeleng.
“Aku mau pulang ….” Suara Diana terdengar kelewat sumbang, tertahan di tenggorokan.
Milla menggeleng seiring wajah putihnya yang memerah menyertai butiran bening yang akhirnya luruh dari mata indahnya. “Aku mohon, … aku tahu bagaimana perasaanmu karena aku juga sudah mengalaminya lebih dulu. Pernikahan kami terjadi tanpa restu, sedangkan ketika kabar kehamilanku membuat kami yakin, kami mampu mendapatkan restu, nyatanya Romi harus menjalani perjodohan bisnis denganmu! Aku hancur, benar-benar hancur!” jelas Milla.
Diana menggeleng, tak sejalan dengan apa yang Milla yakinkan. “Seharusnya dari awal Mas Romi menolak!”
“Sudah … Romi sudah melakukan segala cara, tapi kamu pasti lebih tahu jawabannya. Kamu sendiri, kenapa kamu tidak melakukannya?” balas Milla masih mencoba membuat Diana mengerti.
Diana tetap menggeleng, tetap dengan keputusannya. “Tapi Mas Romi punya kamu. Mas Romi punya kalian!” tegas Diana.
“Diii, aku mohon ….”
“Aku mau pulang … bahkan seandainya keluarga kami marah sedangkan fatalnya aku dibuang, aku tetap enggak mau ada dalam hubungan kalian!”
“Aku mohon, Diii ….” Milla terisak-isak seiring ia yang merunduk kemudian bersimpuh sembari mendekap kedua kaki Diana. “Aku mohon … aku mohon tolong Romi. Romi bisa dalam bahaya jika kamu sampai meninggalkannya.”
“Milla … apa yang kamu lakukan, aku mohon jangan seperti ini.” Diana berusaha membimbing Milla untuk beranjak.
Milla menggeleng sembari terus mendekap Diana.
“Aku mohon, berjanjilah. Kita sama-sama berjuang,” pinta Milla masih mendekap kaki Diana.
Diana semakin merasa frustrasi. Ia menyugar rambut lurus sepundaknya ke belakang tanpa bisa memberikan balasan.
“Aku mohon, biarkan aku pergi ….” Sungguh tak ada hal lain yang Diana harapkan selain pergi.
“Iya … ayo!” balas Milla bersemangat.
Sungguh tanggapan di luar pemikiran Diana, apalagi sebelumnya, Milla terus menahan sembari memohon kepadanya. Milla menggandeng salah satu pergelangan tangan Diana berikut menarik koper berukuran sedang milik Diana yang sampai Milla ambil alih.
“Aku sudah menyiapkan kamar untuk kalian. Semoga kamu suka. Kamu siap-siap, ya? Kamar kita bersebelahan. Kamarmu yang ada di sebelah kanan.”
Diana yang sempat bertanya-tanya, kembali merasa sangat bingung. “Enggak, Mill!” tolaknya yang sedari awal Milla menjelaskan mengenai kamar, sudah sibuk menggeleng.
Sambil terus membimbing Diana tanpa melepaskannya, Milla yang masih berlinang air mata, berkata, “kamu enggak boleh bilang gitu, karena kamu sudah menjadi istri Romi, Di! Toh, seandainya kamu pergi dari sini, yang ada, kamu juga ada dalam bahaya!”
Demi Tuhan, Diana sungguh tidak tahu dengan apa yang harus dilakukan? Kenapa ketidakadilan itu masih ia dapatkan, padahal sebelumnya, meski belum ada sedikit pun rasa kepada Romi, Diana sangat berharap, pernikahan mereka akan membuatnya merasakan bahagia sekaligus kebebasan, meski hanya sedikit.
Milla membukakan pintu kamar yang dikata sebagai kamar Diana. Masih sama, Milla masih membimbing Diana untuk masuk.
Kamar terbilang mewah bernuansa putih tanpa terkecuali seperangkat yang menghiasi tempat tidur tersebut sudah sampai dihiasi bunga-bunga layaknya kamar pengantin baru pada umumnya. Buket bunga segar dalam vas besar juga menghiasi salah satu nakas sebelah tempat tidur, hingga aroma harum sekaligus segar membuat suasana di sana menorehkan kenyamanan tersendiri. Benarkah, semua itu masih Milla yang menyiapkan?
“Ya sudah. Aku panggil Romi. Sepertinya dia masih mandi di kamarku!” Milla bergegas pergi.
“Enggak usah!” tolak Diana.
Diana sama sekali tidak berharap memiliki hubungan lebih dengan Romi jika pada kenyataannya, Romi sudah memiliki istri yang bahkan sedang hamil.
Milla menatap bingung lawan bicaranya. “Kenapa? Dosa kalau kalian sampai enggak … bahkan aku juga bisa ikut dosa.”
“Jangan pernah membahas dosa, jika pada kenyataannya, hubungan ini sudah dimulai dengan banyak dosa!” tegas Diana yang menatap Milla dengan rasa serba salah tak terbendung.
Milla menunduk sedih. “Maaf, Di. Tapi aku janji, keluarga kita akan tetap harmonis. Kita bisa menjadi istri yang baik untuk Romi.”
Diana menunduk pasrah bersama air matanya yang kembali berlinang. “Tapi aku harap, ini hanya mimpi buruk.”
Tangis Diana kembali pecah, tubuhnya merunduk sedangkan kedua tangannya mencengkeram kedua sisi kepalanya hingga rambut lurus kecokelatannya yang tergerai, menjadi berantakan.
Bersambung ....