Roland menarik kursi kerjanya, duduk dan menggeser mouse. Di ruangan rapi dengan meja dan kursi serta lemari dan rak yang elegan, tampak jelas ruangan kantor itu berkelas, sangat menangkan bagi siapa pun yang duduk di sana.
Pandangan Roland beralih ke pintu saat mendengar sosok memasuki ruangan diiringi ketukan heels beradu dengan lantai. Stella, gadis cantik yang beberapa tahun belakangan menjadi tunangannya tersenyum tipis. Rambut sebahu berwarna kecokelatan tampak senada dengan bola mata gadis itu.
“Halo, Baby! Apa kabar?” Stella mengecup singkat pipi Roland. Sungguh kegiatan yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh mereka yang tanpa ikatan. Namun beginilah pergaulan buruk di negeri itu. Semuanya bebas tanpa ada larangan antara batasan hutam dan putih.
“Hm. Baik.” Roland menatap sekilas wajah Stella. Pandangannya kembali fokus ke laptop. Ia merasakan lengan Stella melingkar di bahunya, kepala gadis itu menyandar di pundaknya.
“Selepas bekerja, kita makan bersama, bagaimana, hm?” Kembali stella mengecup pipi Roland.
“Aku tidak bisa janji.” Roland menggerakkan tubuhnya maju hingga lingkaran lengan Stella melonggar. Pria itu mulai menggerakkan mouse.
“Ayolah, sayang. Pedulikan aku. Apa kau tidak merindukanku? Aku tidak suka melihatmu dingin begini.”
Roland memundurkan badan, menjauh dari meja kerjanya. Pandangannya kini tertuju ke wajah Stella. Lengan pria itu melingkar di pinggang gadis itu.
“Hm. Aku harus apa?” Roland menjepit hidung Stella.
Stella duduk di sandaran tangan kursi Roland. Ia memandu tangan Roland untuk mengelus ke rambutnya yang tergerai, tatapannya mendamba. "Aku ingin menghabiskan kerinduan ini sekarang."
“Ini di kantor!” Roland mengelak.
“Hei, bukankah ini pernah kita lakukan di sini sebelumnya?”
Roland hanya mengangkat alis.
“Sebentar saja,” bisik Stella.
Akhirnya semuanya kembali terjadi, perbuatan yang tak heran lagi bagi pemuda pemudi di kota itu, seakan perbuatan itu adalah pelengkap sebuah asmara yang menjadi keharusan.
Saat itu Roland sedang bersama dengan Stella, namun di matanya kini seakan dirinya sedang melihat Beby. Ia merasa benar-benar sudah terobsesi dengan bayi yang ada di kandungan Beby. Itu adalah darah dagingnya.
“Thanks, sayang!” Stella mencium pipi Roland usai kegiatan kilat itu.
“Pergilah!” Roland membuang tisu yang baru saja dia gunakan ke tong sampah. Keringatnya pun benar- benar harus diusap untuk dibersihkan. Ia menghabiskan banyak tisu.
“Kau mengusirku?” Stella tetap tersenyum.
“Aku banyak pekerjaan.”
“Hm.. Baiklah. Aku pergi.” Stella melenggang.
“Hei, rapikan pakaianmu!” Roland berseru.
Stella menunduk dan menatap ke bawah. Ia tergelak dan menurunkan bagian yang terlipat ke atas.
“Aku akan meneleponmu nanti.”
“Okey.” Gadis itu kemudian berlalu pergi.
Roland ke kamar kecil yang ada di ruangan kerjanya, lalu kembali setelah membersihkan diri. Entah kenapa pikirannya tertuju pada Beby meski orang yang baru saja dia temui adalah Stella. Gadis itu…
***