Sobat Juminten

1313 Kata
Nella, gadis cantik berkaca mata itu tampak begitu khusyuk menekuri buku tebal yang tengah dibacanya, walau tinggal di Desa tetapi ia berstatus mahasiswi di salah satu universitas ternama di kota. Banyak pemuda yang menyukainya, baik mahasiswa di ampusnya maupun pemuda yang ada di desanya, namun semuanya di tolak secara halus, karena Nella lebih mementingkan pendidikannya di bandingkan sekedar berpacaran.   Suara lagu-lagu melow yang terdengar dari smartphonenya membuat Nella kian hanyut dalam buku bacaannya, sampai ketika Dering voice call dari w******p membuat lagu yang tengah di putarnya berhenti. Tanpa melihat siapa yang memanggil Nella langsung menekan tombol penerima panggilan di headshetnya.   “Ya hallo.”   Tak ada suara jawaban di sana, yang terdengar hanyalah deru suara angin dan suara Jangkrik malam.   “Halloo ...."   Masih tak ada jawaban. Dilihatnya smartphonenya untuk memastikan siapa yang memanggilnya, dan seketika wajahnya langsung pucat pasi. la segera melepas headshet dan lari kearah kasur. Smartphone yang tergeletak di atas meja belajar itu layarnya masih menyala.   Bukan wajah seram yang dilihat Nella di layar smartphone, hanya sebuah nama, nama yang begitu akrab dalam hidupnya. Sahabatnya. Juminten.   Layar smartphonenya tak lagi menyala. Namun degub jantung Nella masih berdetak cepat, bulu kuduknya merinding, karena ia tahu dengan pasti bahwa sahabatnya itu sudah meninggal dunia sahabatnya itu sudah meninggal dunia dengan cara mengenaskan.   Tok.. Tok.. tok...   Kali ini terdengar suara jendela seperti ada yang mengetuk. Tubuh Nella gemetar menahankan rasa takut yang semakin menjadi, dan dia seakan baru sadar bahwa sejak tadi terdengar lolongan anjing di kejauhan, lolongan panjang bersahut-sahutan, lolongan yang menghadirkan rasa kepedihan dan kesakitan.   Tok.. Tok.. Tok...   Pelan.   Tetapi ketukan itu terdengar jelas di telinganya. Sampai sebuah suara yang begitu di kenalnya memanggil namanya.   “Nella...”   Tubuh Nella beringsut mundur kedinding kamar. Lampu kamarnya mulai mengerjap-ngerjap dan..   Tok.. Tok .. Tok.. .   Kali ini suara ketukan itu berasal dari pintu kamarnya, nafas Nella tersengal menahankan rasa takut yang kian menjalari sekujur badan.   “Kak, buka pintu sih. Yanti ada perlu nih.”   Tidak. Itu bukan suara Juminten melainkan suara Yanti. Adiknya.   Nella menghembuskan nafas lega.   “iya, dik. bentar."   Nella turun dari ranjangnya untuk membukakan pintu. Saat pintu di buka Nella langsung terpana, ingin teriak namun suaranya seperti tercekat. Matanya melotot melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya.   Bukan adiknya, Yanti. Melainkan Juminten. Dengan gaun putih yang berlumuran tanah campur darah. Dengan wajah pucat tersenyum kepada Nella. Kedua matanya bolong, hingga yang terlihat hanyalah dua lubang hitam yang sangat menyeramkan. Nella tak sanggup berteriak. la sangat syok, dan seketika tubuhnya ambruk jatuh kelantai. Pingsan.   Damayanti yang mendengar suara sesuatu jatuh di kamar sebelahnya segera keluar untuk melihat, suara itu terdengar jelas dari kamar kakaknya, Nella.   Damayanti keluar untuk melihat asal suara itu. Pintu kamar kakaknya terbuka, bergegas ia masuk. la melihat kakaknya tergeletak di lantai.   Namun yang lebih mengejutkan Damayanti adalah bukan sosok kakaknya yang tergeletak pingsan itu, melainkan Perempuan bergaun putih yang melayang di kamar kakaknya dan membelakanginya. la ingin berteriak namun lidahnya terasa kelu, ia terus menatap sosok itu yang perlahan melayang kearah dinding kamar. Lalu hilang menembus dinding, Damayanti masih tertegun dan mematung di tempatnya.   Warung Pak Harjo yang berada di pinggiran jalan mulai ramai di kunjungi pembeli, baik dari warga Desa M maupun orang melintas yang kebetulan lewat di warungnya dengan perut lapar.   Beberapa mobil Truk berukuran besar juga ada disana, tampaknya para sopir yang membawa truk-truk itu sering mampir dan makan di warungnya Pak Harjo. Di kursi paling ujung tampak tiga orang lelaki sedang berbincang serius, mereka adalah Hadi, Prayit dan Parto.   Prayit yang pertama kali membuka obrolan,   “Desa kita mulai nggak beres.”   “Nggak beres bagaimana, Yit,” tanya Hadi sambil menyeruput gelas kopinya yang masih panas itu.   “Desa kita mulai di teror oleh Hantu!” kali ini suara Prayit agak di pelankan, walau pun pelan beberapa pengunjung yang lain tetap bisa mendengar. Dan telinga mereka mulai awas menguping pembicaraan.   “Serius, Yit ...” Parto bertanya.   “lya serius, baru Shubuh tadi aku dapat cerita dari Kang Mitro. Awalnya aku juga sangsi, kupikir Kang Mitro hanya iseng saja sekedar menakut-nakutiku dengan cerita Hantu.”   “Lha terus kamu tahu kalau dia serius dari   mana?” Hadi mulai tampak penasaran.   “Dari cara dia bercerita. Wajahnya tampak tegang. Matanya kadang tengok kiri kanan seakan khawatir kalau saat ia cerita, Hantu itu tiba-tiba nongol di sampingnya.”   “Hii.. ." Hadi dan Parto mulai menggigil, karena saat temannya Prayit bercerita, saat itu juga mereka mulai membayangkan apa yang sedang di ceritakan.   “Terus, gimana ceritanya?” Hadi mulai beringsut dan menggeser duduknya, dinyalakannya sebatang rokok menemaninya menikmati kisah yang akan di ceritakan itu.   “Kang Mitro mulai bercerita. Katanya kemarin sore, saat ia pulang dari sawah, ia melewati Gubuk yang ada di tengah sawah. Dari jauh dia melihat seseorang yang duduk disana, ia fikir itu adalah sesama petani yang sedang istirahat, tetapi saat di perhatikan ketika ia semakin dekat barulah Kang Mitro sadar kalau seseorang yang duduk itu bukan laki-laki tetapi seorang perempuan..”   “Bisa jadi itu ibu-ibu yang lagi istirahat menunggu suaminya.” celetuk Parto.   “Ibu-ibu gundulmu!, mana ada ibu-ibu yang duduk sendirian di tengah gubukan sawah pas Adzan Maghrib?”   “Pantes. Kata Pak Ustadz kalau menjelang Maghrib memang tidak boleh keluar rumah, apalagi anak-anak. Itu jam keluarnya setan!” kata Hadi, pandangannya menerawang mengingat kembali ucapan Pak Ustadz Mukhlish saat Pengajian bapak-bapak di Musholla.   “Itu maksudku. Saat Maghrib Kang Mitro belum pulang kerumah dan masih disawah, bisa jadi memang sedang apes dia.”   “Lanjut.. .” Hadi kembali mulai fokus mendengarkan, dihembuskannya asap rokok kreteknya dari mulut.   “Nah.. Walau pun Kang Mitro tahu itu perempuan, ia masih belum sadar kalau itu Hantu, ia baru sadar saat ia semakin mendekat. Ketika di lihatnya perempuan itu mengenakan gaun berwarna putih yang sudah lusuh. Dan lusuhnya itu seperti bercak-bercak tanah... ."   “Tanah kuburan pastinya!” Parto menebak.   “Wes ta lah. Ojo motong wong sing lagi cerito. Gawe kaget ae, (Udah dong, jangan memotong orang yang sedang bercerita. Bikin kaget saja)” kata Hadi yang mulai tampak kesal pada Parto.   “Lanjut ya?” tanya Prayit.   Semua mengangguk, “Lanjut, Mas Prayit!”   “Menurut Kang Mitro, sosok perempuan bergaun lusuh itu tengah memainkan rambutnya, ia duduk menyamping sehingga Kang Mitro tak bisa melihat persis bagaimana wajah perempuan bergaun putih itu ...."   “Bagus!, kalau melihat pasti langsung pingsan!” teriak Parto.   “a*u kowe! (Anj*ng kamu!). Iso meneng ora! (Bisa diam gak?)” spontan Hadi teriak marah pada temannya yang tak bisa diam menyimak itu, karena akibat celetukannya, imajinasi horor yang sudah begitu rapi terbangun di fikiran Hadi spontan buyar.   “Lanjut, Mas.. .” teriak pengunjung warung lain, yang tampaknya ikutan tertarik mendengar cerita Prayit.   "Kang Mitro sudah mulai merasa kalau ini jelas gak beres. la sadar kalau yang di lihatnya jangan-jangan... .”   “Kuntilanak..!” teriak Parto, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. “j****k!!. a*u tenan!! (Sialan!! Bener-bener Anj*ng!!)” suara Hadi ngegas dan meninggi, emosinya sudah meluap.   “PLAKK!!” Hadi memukul kepala botak Parto, Parto meringis kesakitan namun tak membalas, ia mengaku salah.   “Lanjut, Mas,” kata pengunjung yang lain lagi, semakin banyak yang duduk merapat dekat mereka bertiga.   “Kang Mitro langsung balik arah, dan lari sekencang-kencangnya, ia tak berani menengok ke belakang karena ia semakin yakin kalau sosok itu jelas Kuntilanak!”   “Kok iso weruh? (kok bisa tahu?)” tanya Hadi penasaran.   “Karena sepanjang ia berlari, di dengarnya adalah suara tawa cekikikan perempuan yang membuat bulu kuduk Kang Mitro berdiri!”   Semua yang menyimak ceritanya menghela nafas lega. Walau suasana masih terbilang pagi, di warung Pak Harjo yang di rasakan adalah aura kecemasan. Ketakutan. Nyaris semuanya merasakan kekhawatiran yang sama. Takut kalau sampai sosok Kuntilanak itu datang menjumpai mereka satu persatu. Masih mending kalau sekedar menakut-nakuti seperti yang di alami Kang Mitro. Mereka sampai merinding membayangkan seandainya sosok Kuntilanak itu mencekik leher mereka.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN