Sang Pemimpi

1034 Kata
 "La, mbuh, Mak. Menurut Bapak ki hantu iku memang beneran enek, tapi yo nggak setiap bengi bermunculan gitu," jawab bapak.    "Lah, piye tho, Pak. Sampeyan mau ngomong karo Paijo, nek kui cuma halusinasi wae,"    "Bapak kan cuma nggak mau Paijo kepikiran terus, Mak. Iso-iso mengko setress, piye?"    "Ya weslah, Pak. Sing penting kita kudu rajin ibadah, supaya Gusti Allah ngirimke malaikat ngge njogo awake sekeluarga, yo, Pak?"    "Nggih, Mak. Ya wes, yok turu, wes bengi, iki,"    "Ayok, Pak."   Malam semakin larut mengantarkan suasana dingin nan sunyi kepada sang pemilik. Cukup lama Paijo berkutik di dalam kamar sebelum dia memejamkan kedua matanya. Ingatan setan itu terus mengelabui pikirannya. Paijo harus bisa menetralkan rasa takutnya agar tak membuatnya semakin meronta.   Ini pertama kalinya dia bertemu dengan setan, dan itu sangat membuat Paijo merasa was was. Meskipun dia sangat berperan dalam menampung dan mengoleksi film horror, tapi, ternyata mentalnya lemah saat melihatnya secara langsung.    Gimane ceritanye gua bisa ditemui ame tuh setan! Seumur idup gua kagak pernah tuh bikin idup orang sengsara. Ape jangan-jangan tuh setan kiriman dari, Lek Minto?   Paijo mengacak-ngacak rambutnya dan mulai memejamkan matanya.    Juminten, gadis berusia dua puluh enam tahun itu tampak stand by di meja makan dengan hidangan sarapan. Kedua matanya tertuju pada lauk di atas meja. Dia bergegas menyantap sarapan dengan lahapnya. Hari ini dia harus pergi untuk melamar pekerjaan di berbagai agency ternama. Untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya sebagai artis korea, Juminten memang sejak dulu memiliki ambisi untuk menjadi artis papan atas.   Mungkin harapannya tak sesuai dengan kenyataan, sudah berkali-kali Juminten ditolak secara mentah-mentah oleh para agency tersebut karena dirinya tak memiliki kriteria yang sesuai kategori. Namun, dia tak pernah berputus asa untuk menggapai mimpinya yang sudah melampaui batas.    "Jum, untuk apa lagi kamu melamar pekerjaan itu?" ujar sang bapak.    "Nggak papa, Pak. Juminten hanya ingin mewujudkan mimpi, dan membahagiakan, Bapak," balas Juminten.    "Halah, Jum. Ngebahagiain Bapak nggak harus begitu juga. Bukannya kamu sudah ditolak mentah-mentah di berbagai agency, Bapak nggak mau kamu kecewa nantinya,"    "Nggak papa, Pak. Juminten nggak akan menyerah begitu saja,"    "Ya weslah, Bapak nggak bisa melarang kamu, asalkan itu bisa membuat kamu seneng, Bapak pun ikut seneng,"    "Nggih, Pak."   Juminten pun meneruskan sarapan paginya dengan lauk seadanya. Dia sudah tak sabar untuk segera mengirimkan surat lamaran pekerjaan kepada berbagai agency ternama. Mungkin saja, dia dapat menemukan peluang di kemudian hari.                        *****   Mohon maaf, untuk saat ini kami tidak menerima karyawati seperti anda. Sebaiknya anda harus bisa mengintropeksi diri terlebih dahulu. Jika tidak ada cermin di rumah, kami siap mengirimkan untuk anda.   Juminten merobek kertas di tangannya, wajahnya sangat geram menyaksikan apa yang saat itu dibacanya. Sebuah balasan dari HR agency yang menolaknya untuk bekerja sama. Rasanya cukup membosankan. Semenjak banyak agency yang menolaknya, Juminten lebih banyak diam di rumah mengurung diri. Di sana dia mencari cara bagaimana dirinya bisa terbang dan menjadi sang pemimpi di negeri orang.   Kemungkinan biayanya relatif lebih mahal untuk terbang ke sana. Bukan hanya membutuhkan beberapa lembar uang saja. Melainkan perlu membawa sejumlah uang yang cukup banyak. Tapi, itu mustahil untuk dilakukannya.   Aku nggak bisa berdiam diri seperti ini terus, toh, aku harus bisa menjadi artis korea seperti K-popers lainnya.   Tekad Juminten telah membulat. Dia sengaja mengumpulkan beberapa dokumen dan peelengkapan untuk melamar ke agency di kota Korea. Urusan biaya akomodasinya, dia memikirkan belakangan. Yang terpenting saat ini Juminten harus bisa membuat surat lamaran yang menarik.    "Jum, Jum, ayo ke sini." terdengar suara bapak di luar.   Juminten bergegas keluar dan melihat sang Bapak tampak terengah-engah dengan keadaan terduduk lemas di atas kursi. Juminten mendelik tersentak saat menyadari sang bapak penyakitnya kambuh. Buru-buru dia bergegas pergi meminta bantuan para warga untuk menyewa ambulance dan membawanya ke rumah sakit.    "Bapak kudu kuat, nggih? Juminten janji bakal bahagiain, Bapak."   Di sela-sela itu Juminten menangis sambil mendekap tubuh sang bapak. Dia tak dapat mengontrol rasa sakit dan sesak yang kian menjalar di dalam tubuh. Bagaimana bisa sang bapak bisa kumat lagi dari sakitnya? Bukankah sudah lama penyakit itu sembuh dalam beberapa tahun lalu.   Hampir dua jam lebih Juminten menggu sang bapak sadar di depan ruang ICU. Di sana sesekali Juminten meremas semua jemarinya dengan rasa kecewa.    "Mbak, Juminten, sebaiknya Mbak tenang dulu. Aku yakin Bapak bakalan baik-baik saja." nasehat salah satu temannya.    Juminten hanya bisa mengangguk dan mendengarkan nasehat temannya. Di sana dia hanya ditemani oleh sahabatnya itu. Namanya, Intan. Dia salah satu sahabat yang paling mengerti keadaan dan keluh kesahnya.    "Permisi, Mbak Juminten. Kami sungguh meminta maaf, karena Bapak tidak dapat disembuhkan. Penyakit Bapak sudah sangat akut dan kami tidak dapat menolongnya." jelas dokter pada Juminten.   Seakan-akan Juminten ingin menjerit sekeras-kerasnya dan mencaritahu siapa yang telah mengirimkan penyakit itu pada bapaknya. Dokter sudah menjelaskan secara detail mengenai kondisi dan penyakit sang bapak. Rupanya Juminten baru menyadari bahwa penyakit itu bukanlah penyakit seperti pada umumnya, alias penyakit gawean.   Pak, pokoknya Bapak harus tunggu Juminten, ya? Juminten akan mencaritahu siapa yang sudah mengirimkan penyakit itu pada Bapak.   Dia beringsut bangkit dari dan meninggalkan koridor rumah sakit. Juminten tampak nekas berjalan menyusuri setiap lorong ruangan itu dan mencari cara supaya Bapaknya bisa sembuh. Mungkin salah satunya, dia harus meminta bantuan salah satu temannya, yaitu Sujimin. Mau tak mau Juminten segera bergegas menemui lelaki paruh baya itu di kediamannya. Selain Sujimin itu cerdas, dia juga terkenal bijak di kampungnya.    "Apa? Jadi, aku kudu membawa Bapak ke tempat Mantri?" sentak Juminten kala itu.    "Ya, itu merupakan cara yang paling ampuh dan manjur, Jum. Kamu kudu melakukan itu demi kesehatan Bapak," balas Sujimin.   Lelaki berusia tiga puluh tahun itu tampak menyesap kopi di gelasnya.    "Bagaimana? Kalau kamu mau, aku bisa mengenalkanmu sama seorang dukun yang hebat. Dia mampu menerawang segala penyakit yang diderita pasien dan juga penyebabnya. Si Mbah ini cukup baik dan kemampuannya, lumayan," "Tapi … aku nggak punya biaya yang cukup untuk berobat, Bapak,"    "Sekarang kamu nggak perlu pikirin itu, Jum. Kamu hanya perlu mikirin buat kesembuhan Bapak,"    "Nggih."   Juminten mengikuti langkah Sujimin menuju suatu tempat. Dengan mengendarai motor, mereka bergegas mencaritahu alamat sang dukun. Sepanjang perjalanan, Juminten hanya bisa diam tak seperti biasanya yang centil dan alay. Mungkin rasa duka yang dideritanya saat ini cukup parah dan membuat Juminten tak b*******h. Selain rasa duka yang menyelimuti keadaan sang bapak, Juminten juga merasa sakit karena penolakan kerja yang diterimanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN