Awal MoU dengan Kunti

1156 Kata
Tidak ada satupun manusia di muka bumi ini ingin menjadi orang yang jahat. Jika boleh memilih mungkin ia akan menjadi seorang Thanos atau yang kerenan sedikit seperti temannya Joker yaitu si Buto Ijo. Namun takdir berkata lain, pria yang telah lama men-jomblo itu tak mampu menolak ketika ada jalan pintas untuk membalaskan dendamnya sekaligus mengais rupiah di profesi tersebut. Semua karena keadaan yang telah memaksanya. Di sebuah ruangan yang tampak gelap dimana penerangan hanya mengandalkan sebuah lilin kecil sebiji. Di depannya ada seseorang yang sudah menanti sedari tadi. Seorang pria yang sudah cukup berumur dengan perlengkapan sesajen yang ada di depannya. Ada dupa, ada bunga mawar, melati, kantil, bahkan bunga bangkaipun ada tersaji di satu tampan. Telur godok yang belum masak, segelas kopi pahit, buah duren dan sebungkus rokok cerutu ala bos mafia juga tersedia. Asap mengepul yang keluar dari tempat sesaji dan juga mulut si pria karena merokok. Terlihat ia sedang sibuk sambil komat kamit dengan asap dupa sesaji di hadapannya yang terus mengepul, hingga asapnya memenuhi ruangan tersebut. “Ah akhirnya dateng juge lu, Setan! Gua udeh dari tadi manggil elu, lama beud sih hadirnye. Lu demit baru ye, lambat amat datengnya kayak keong.” Si pria gondrong itu terus nyerocos ga jelas. Sosok itu hanya terdiam melihat si pria ngebacot tak jelas sedari tadi. Ia kira pria itu bukan berbicara dengannya, makanya respon yang ia berikan begitu dingin. “Ok, gua ada job nih buat lu, Ti. Pertama, soal pellet. Tugas lu cukup membuat mangsa jadi jatuh cintong dengan pasien gue. Paham kagak?” Unti masih tetep diem, hanya menyimak bicara si pria tersebut. “Pokoknya lu harus buat korban jadi tergila gila dengan Mas Bogel. Ini foto orangnya dan ini korbannya. Paham kagak lu?” Lagi lagi Unti diem seribu bahasa, pandangannya datar melihat si pria. Sosok itu seperti tak kuasa menolak perintah pria tersebut. Ia seperti terikat oleh sesuatu agar menuruti keinginan pria tersebut. Berdiri seperti patung dan terdiam, hanya itu yang ia bisa lakukan. “Lu dari tadi diem bae, sariawan lu ye, Setan! Gue ngobrol dengan lu nih. Kalo memang lug a sanggup mending ngomong dah dari sekarang, jadi gue ga ngarep terlalu banyak dengan lu. Lu belum pernah ngerasain sakitnya di tinggal saat lu dah terlanjur berharap banyak, Setan!” Si pria rupanya mulai keki dengan tingkah demit yang telah ia panggil. “Mbah dukun ye?” Si pria lalu terjungkal ke belakang dengan kejang kejang, setelah itu tak sadarkan diri. Ia tak menyangka jika sosok kuntilanak di depannya ini tidak tahu profesi dia. Untung saja kejadian ini berlangsung beberapa menit. Si pria kembali siuman dan mempelototi sosok kuntilanak di depannya. Tampak wajah yang hancur nyaris tak dapat di kenali lagi sosok kunti tersebut. di tambah bau badannya yang tidak seperti kunti yang lain. “Baru kali ini gue nemu demit polos amat ye.” Sang kunti hanya celingak celinguk sambil menggerai rambutnya yang panjang menjuntai. “Itu apaan mbah? Kayaknya menarik.” Sambil Unti menunjuk sesajen yang ada di satu wadah. “Ya elah kunti, ini makanan elu. Ya udeh makan sono. Kalo ga ada ini gua ga bisa panggil elu tadi, masa lu kagak ngerti.” Sang kunti hanya menggelengkan kepala. “Lalu sebelahnya apaan mbah?” kunti menunjuk sesuatu yang di luar wadah tadi. “Nah kalau ini sesajen buat gue lah. Gue juga perlu ginian buat hidup. Eh lu bisa ga jangan panggil gue mbah? Gue mudaan daripada lu juga, masih 30an. Panggil abang aje nape, biar mesraan dikit gitu.” Si pria langsung menyeruput kopinya. Setelah itu memakan sebutir endog dan mencuci mulut dengan sebiji durian muntung dan menutupnya dengan sebatang cerutu yang udah expired. Terakhir ia kembali menyeruput kopi hingga dengan ampas ampasnya. Tak lupa gelas kaca tersebut juga ikut di kunyahnya. Rupanya si pria adalah salah satu alumni pemain kuda lumping. Makanya jangan heran jika ia bisa memakan beling atau kaca. Kalau hanya kaca segelas kecil masih bisa ia lahap dengan mudahnya. Kuntilanak hanya bisa pasrah ketika di suruh memakan sesajen yang ada di depan sang dukun. Tapi herannya ia bisa memakannya tanpa mengalami kendala sedikitpun. Semua ia lahap dengan cepat dan ludes tak bersisa. Bahkan ia sampai minta tambah 2 piring. Sayang porsinya hari itu hanya yang ada di depan mereka. Padahal perut Unti masih menginginkannya. Sang dukun yang melihat kunti begitu lahapnya menyantap sesajen hanya tersenyum kecut. Ia sudah tidak heran melihat kaum demit yang ia perintah untuk memakan sesaji yang sudah ia siapkan. Dengan begitu ia semakin mudah untuk mengendalikan demit suruhannya. Namun bila ia tidak mampu menyediakan sesajen buat demit, maka ia auto kesulitan untuk memberi tugas dari pasiennya. Setelah mendapat perintah dari sang dukun, kunti langsung menghilang dari rumah dukun. Seperti biasa cara menghilangnya tanpa permisi, yang ada hanya tersisa asap berwarna abu pekat serta bekas angin yang beraroma telor busuk. Rupanya Unti sedang kebelet tadinya dan tidak sempat membuang keluar, keburu keluar di ruangan dukun tapi. Makanya sedari tadi ia hanya diam tidak banyak berbicara. Ia sudah menahan cukup lama hasrat untuk buang angin tadi hanya merasa kurang sopan jika bertemu orang baru dengan membuang angin sembarangan atau tidak pada tempatnya. Dampaknya nyaris membuat sang dukun tidak sadarkan diri saking aroma yang di tinggalkan Unti  sangat bau dan baru ini ia mengalami hal demikian. “Dasar Setan sialan! Main kentut sembarangan!” maki si dukun. Unti yang sudah melayang di luar rumah hanya tersenyum simpul pramuka mendengar jeritan sang dukun. “Maafin ade mbah dukun, ade dah ga nahan dari tadi ngempet. Hihihihi …” Unti seakan puas dengan apa yang telah ia tinggalkan buat si dukun. Tertawanya yang melengking semakin mempertegas jika ia sangat bahagia malam itu. Dari pohon ke pohon ia menghinggapi seperti monyet yang berayun ayun dari dahan ke dahan yang lain. Hingga akhirnya tibalah ia di suatu rumah sederhana. Unti tidak langsung masuk tapi coba mengitari pandangan sekitarnya. Ia coba meyakinkan dirinya jika ini benar rumah korban yang di maksud. Seperti biasa setelah merasa yakin Unti memasuki rumah itu. Dari ruangan ke ruangan, dari toilet ke toilet lagi. Hampir sama ruangan yang ia lewati di rumah dukun tadi. Dalam lubuk hati yang paling dalam ia sudah merasa tidak enak. Sepertinya ini tempat yang tidak asing bagi Unti karena ia pernah melewati kejadian seperti ini. Tapi karena sudah tugas ia tetap melewati ruangan demi ruangan tadi. Hingga akhirnya tibalah ia di ruangan yang sesuai dengan dugaannya tadi. “Jiaahh, ngapain lu dimari Ti? Bukannya lu tadi sudah pergi meninggalkan gue dengan kentut lu yang bau busuk?” Betapa terkejutnya kunti ternyata ini masih di rumah si dukun. Bagaimana bisa ia kembali di tempat ini? Sang dukun pun masih di tempat yang sama. Rokok di mulutnya tetap utuh dengan asap kemenyan yang masih mengepul. Tapi aroma sesajen sudah tidak ada, melainkan aroma kentut yang ia tinggalkan tadi. Aromanya begitu pekat meski telah ia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Si dukun sendiri tidak menyangka jika aromanya seperti itu. “Pergi sono, dasar SETAN!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN