Aku menatap sekeliling lalu melirik ke atas, seketika aku langsung memalingkan wajah karena jujur aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh aku lihat. s**l, aku mulai merasa kalau pipiku memerah. Dan sesuatu terjadi dalam tubuhku. Aku tidak berniat untuk mengatakannya sungguh.
"Sudah sampai di atas belum?" tanyaku. Aku memilih memperhatikan tangga. s**l aku ingin mengumpat karena ada perasaan ingin menantap ke atas.
"Sudah!" teriaknya.
Aku pun langsung menoleh ke atas lalu mendapati dirinya yang ternyata memang sudah berada di atas, kepalanya menyembul menatapku sambil tersenyum, lalu akupun memutuskan untuk naik ke atas.
Sesampainya di atas rumah pohon tersebut akupun tercengang melihat apa yang terjadi. Di hadapanku kini adalah sebuah padang rumput yang luas, ini sama sekali bukan pencerminan dari dalam rumah pohon.
Aku menatap Annaliese, dia tersenyum kepadaku, aku langsung mengalihkan pandanganku ke bawah, mencoba mencari tangga namun lubang tangga tersebut sudah tidak ada.
Aku melotot kaget lalu menatap Annaliese terlalu banyak yang ingin aku sampaikan kepada dirinya namun tidak ada satupun yang keluar dari bibirku. Aku di mana? Kini pertanyaan itulah yang terus bersileweran di dalam kepalaku.
“T-tangganya?” tanyaku kepada Annaliese.
Annaliese terkekeh melihat aku yang kebingungan.
“Sudah, ayo, kita temui seseorang yang bisa mewujudkan apa yang kau inginkan, Badrun!” seru Annaliese dengan penuh semangat sambil menarik tanganku.
“Kau yakin kalau dia adalah seseorang, maksudku apa dia manusia?” tanyaku sambil berlari mengimbangi larinya.
“Hahahaha aku juga tidak yakin sih.” jawabnya sambil terkekeh seperti biasanya.
Tunggu!
Aku melirik tanganku, tangan Annaliese benar-benar menempel di sana, aku bisa merasakan tanan itu, dia bukan lagi bayangan. Seketika keringatku mengucur deras, apa dia membawaku ke alamnya? Ah, apa aku sudah meninggal?
Sadar akan hal tersebut aku langsung berenti dan melepaskan tangan Annaliese dari tanganku. Aku tidak mau, meski aku sangat membenci hidupku, namun bukan akhir seperti ini yang aku inginkan, tidak, aku tidak mau!
“Aku ingin kembali! Aku tidak mau ikut denganmu!” seruku ketakutan.
Aku pun berlari dan tiba-tiba Annaliese ada di hadapanku. “Lho, kenapa, Badrun?” tanyanya.
Akupun hanya bisa menggelengkan kepalaku lalu aku memilih untuk berlari ke arah lain. Tidak, aku tidak mau menjawabnya.
Namun, meski aku sudah berlari sekuat tenaga ke segala arah namun Annaliese selalu bisa berdiri di hadapanku, “Kau sudah setuju, Badrun!” seru Annaliese.
Ini adalah kali pertama Annalinese terlihat kesal. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Yang jelas, aku harus berlari dan menemukan jalan pulang.
Akupun berlari lagi namun sejauh apapun dan kemanapun arahku pergi, Annaliese selalu bisa berdiri di hadapanku. Ah, aku benar-benar bodoh! Aku melupakan fakta kalau Annaliese itu adalah hantu! Dia tentu bisa berteleportasi, tidak seperti aku.
Akhirnya, aku pun menyerah.
Akupun menghentikan langkahku dan lagi-lagi sudah ada Annaliese di hadapanku. Kali ini wajahnya terlihat kesal, dia bahkan sudah menyilangkan tangannya di depan d**a.
“Aku ingin kembali.” kataku.
“Tidak bisa, Badrun! Sekali kamu naik ke pohon ini, kamu tidak bisa kembali sebelum menemui orang yang aku maksud.” kata Annaliese.
“Kamu bohong kan? Apa kau dan orang itu akan menjadikanku tumbal?” tanyaku.
“Hei! Kau kira untuk apa kami menjadikanmu tumbal? Tidak ada untungnya! Lagian aku bukan hantu seperti itu. Ah, sepertinya kamu menganggapku hantu seperti itu.” kata Annaliese kesal.
Saking kesalnya, Annaline terlihat berbalik dan berjalan meninggalkanku, aku seketika panik. Di padang rumput tersebut hanya ada kami berdua, aku memang bodoh tadi ketika berlari karena ingin mencari jalan keluar sendiri, namun aku kini sadar kalau aku tidak akan bisa keluar dari sini tanpa dirinya.
“Kau mau ke mana?” tanyaku.
“Aku ingin pergi, kau pergilah kalau ingin pergi. Aku tidak mau berteman dengan laki-laki yang tidak bisa memegang teguh perkataannya.” kata Annaliese berjalan.
Akupun langsung berlari dan mulai mengimbangi jalannya, “Kalau kau pergi aku bagaimana?” tanyaku.
“Aku tidak peduli. Kau juga tadi ingin pergi bukan? Yasudah kamu pergi saja sana, aku tidak akan mengganggumu lagi.” jawab Annaliese dengan ketus.
Kini aku mengerang frustasi dalam hati sepertinya Annaliese marah kepadaku. Namun, aku harus bagaimana? Akupun tidak tahu apa yang harus aku lakukan di saat-saat seperti ini.
Akupun memutar otak agar bisa memeluluhkan hati Annaliese.
“Annaliese, dengarkan aku!” kataku yang langsung berdiri di hadapannya menghadang jalannya.
Annaliese pun berniat untuk berjalan menghindariku namun aku buru-buru memegang bahunya, toh aku sudah bisa memegang tubuhnya.
“Bukankah kita teman? Seorang teman tidak boleh meninggalkan teman yang lain bukan?” tanyaku.
Annaliese terdiam dan memandangku, dari jarak dekat dia terlihat tambah cantik. Akupun merutuki otakku saat ini.
“Kau pasti berbohong lagi. Bukankah kau tadi ingin pergi meninggalkan aku?” tanya Annaliese dengan sinis.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali sambil berpikir. Aku mencoba memikirkan jawaban apa yang bisa kuberikan kepada dirinya.
“Iya, minta maaf, aku memang tidak setia kawan tadi. Tapi aku janji kalau sekarang kita berteman, aku tidak akan meninggalkanmu sampai kau sendiri yang pergi meninggalkan aku. Aku janji, kau boleh mengikutiku ke manapun selain ke kamar mandi. Bagaimana?” tanyaku.
“Apa kau serius?” tanya Annaliese.
Sedikit lagi! Dia mulai percaya kepadaku. Aku sontak menganggukkan kepalaku.
“Iya aku sangat serius. Lihatlah mataku, hantu bisa mendeteksi kebohongan bukan?” tanyaku.
“Ck, apa kau melihatku sebagai mesin pendeteksi kebohongan? Aku dengar Manusia membuatnya. Ck, manusia-manusia, selalu tidak pernah puas dengan apa yang tampak, selalu mencari yang tidak tampak, serba ingin mengetahui segalanya, apa kalian ingin belajar menjadi Tuhan, hah?” tanya Annaliese.
“Eh?” kataku.
Aku memutar otak, kenapa pembahasannya jadi jauh sekali? Aku harus cepat-cepat meluruskannya. “Nah, iya, memang manusia itu tidak ada puasnya. Mereka harus diberikan pelajaran.” kataku asal, yang penting aku terlihat seperti mendukungnya.
Annalise menatapku, “Kau juga manusia, Badrun!” kata Annalise.
Ah, s**l. Kenapa aku bodoh sekali. Akupun mencari dalih yang lain.
“Tentu, aku manusia. Tapi aku manusia yang lain dari pada yang lain.” kataku mencoba meyakinkan Annaliese.
Dia menatapku seperti menunggu lanjutan dari kata-kataku. Aku pun bersorak dalam hati,
“Iya, aku manusia yang lain. Aku manusia yang ingin menghapus ketamakan orang-orang di sekitarku. Aku akan membuat dunia lebih baik. Ah, aku tidak bisa menceritakannya leboh detail, yang jelas apabila kau membuatku kembali ke duniaku, aku akan membuat banyak perubahan.” kataku.
“Sudah kubilang bukan, satu-satunya jalan keluar dari sini hanyalah menemui seseorang yang aku ceritakan tadi.” katanya.
Rasanya aku sangat frustasi ssaat ini, aku kira Annaliese akan mau mengajakku keluar stelah aku membujuknya, namun baiklah kalau ini memang jalan yang harus aku tempuh untuk akan mengikuti perkataannya. Aku akan menemui seseorang itu.
“Baiklah, kamu bawalah aku kepadanya.” kataku.
“Tapi aku mau kau berjanji terlebih dahulu kepadaku.” kata Annaliese.
Aku menatapnya. “Janji apa?” tanyaku kepada dirinya.
“Kau harus menepati janjimu, kau tidak akan meninggalkanku sampai aku yang meninggalkanmu dan aku boleh mengikutimu ke manapun selain ke kamar mandi.” kata Annaliese.
“Baiklah, mana jari kelingking kananmu?” tanyaku.
Dia pun memamerkan jari kelingking kananku lalu aku mengaitkan dengan jari kelingkingku, melakukan pinky promises seperti anak perempuan dan anak kecil. Namun, biarlah.
“Aku janji kepadamu.” kata Annaliese.