Kini Aku dan Annaliese benar-benar ditinggalkan, dan kita tidak pernah menyangka kalau kita akan ditinggalkan di tengah hutan. Aku melirik Annaliese yang terlihat tengah berjinjit ketakutan.
"Ada ap-..." kataku.
Namun, belum selesai aku melanjutkan ucapanku, aku pun melihat ada ulat kecil yang tengah berada di kaki Annaliese. Aku pun langsung menunduk, "Kamu diam sebentar!" titahku.
Annaliese pun menurut.
Aku langsung mengambil daun dan langsung menyingkirkan ulat kecil itu. Ulat itu sengaja tidak aku matikan karena aku pun merasa tidak tega untuk mematikannya. Terlebih dia tampak tidak berbahaya dan belum membahayakan jika dia memang berbahaya.
"Kenapa tidak dimatikan saja?" tanya Annaliese.
"Dia tidak menggigitmu bukan?" tanyaku padanya.
Annaliese menggelengkan kepalanya. "Yasudah." kataku.
"Tapi-…" kata Annaliese.
Aku pun langsung sengaja memegang pundak Annaliese. Dia yang merasa tidak nyaman langsung menyingkirkan tanganku. "Kenapa kau tidak membunuhku?" tanyaku.
Annaliese menatapku dengan raut kebingungan. Aku tersenyum tipis.
"Untuk apa aku membunuhmu? Kau kan tidak melukaiku." kata Annaliese.
"Nah, di situ poinnya." kataku dengan cukup percaya diri. “Aku tentu tidak bisa membunuh makhluk yang tidak melukaiku. Itu s***s sekali,” terangku.
Annliese berdecak sebal namun aku melihat senyuman mulai terbit di wajahnya.
Lalu, kami pun mulai melanjutkan perjalanan kami. Annaliese mengikutiku dari belakang, aku pun memelankan jalanku karena aku mau dia jalan di sampingku.
"Badrun! Lihat!" seru Annaliese yang tiba-tiba melihat seseorang yang tengah bergulat dengan binatang liar.
"Kita harus menolongnya!" seruku.
"Benar!" seru Annaliese.
Namun, seketika aku teringat sesuatu. Aku baru ingat kalau Annaliese tidak bisa aku biarkan untuk ikut membantu pria itu, sebab Annaliese bisa saja terluka dan aku tidak mau kalau hal itu sampai bisa terjadi.
"Kau tunggu aku di sini! Jangan lakukan apapun selama aku masih bisa menangani anjing liar itu!" titahku.
Annaliese tiba-tiba menurut seperti kucing. Aku pun langsung berlari dan membantu pria itu. Tubuh pria itu sudah tidak karu-karuan. Pakaiannya yang compang-camping dan tubuhnya yang berdarah-darah benar-benar membuatku bergidik ngeri sekaligus merasa kasihan dalam satu waktu.
Aku mengambil sebuah balok yang ada di dekatku dan aku langsung berlari untuk memukul anjing liar tersebut. Kakiku gemetar hebat. Ini adalah kali pertama aku merasakan ini.
Aku pun mengabaikan rasa takutku, aku kini fokus pada usahaku dan tujuanku menyelematkan pria itu.
"Pergi kau anjing liar!" seruku.
Aku langsung memukul anjing liar itu lagi. Namun, di luar dugaan, anjing itu kustru balik menyerangku. Aku yang tidak siap dengan keadaan langsung terjatuh saat anjing liar itu dnegan cepat menerjangku.
"Badrun!" pekik Annaliese yang aku yakin tengah ketakutan di tempatnya.
"Tetaplah di sana!" seruku pada Annaliese. Katakanlah aku terlalu percaya diri ketika mengatakan kalau Annaliese tidak kuperkenankan untuk mendekat, padahal aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padaku.
Aku terus memberontak namun kuku-kuku tajam itu benar-benar menyusahkan, terlebih wajah anjing itu terus menerus mendekati wajahku seakan hendak menerkam dan mencabik-cabik tubuhu dengan taring-taring panjangnya.
Aku mulai merasa menyesal karena tidak bisa berkelahi dengan baik, padahal aku seorang laki-laki.
Tenagaku mulai habis.
BUG!
Seseorang melempar batu pada anjing liat tersebut lalu anjing liar tersebut pun lari begitu saja. Aku pun langsung menoleh ke orang yang melemparkan batu pada anjing yang sangat sulit aku kalahkan.
Dan aku mendapati Annaliese di sana. Aku tidak tahu dari mana dia memiliki inisiatif dan keberanian melemparkan batu pada anjing itu, namun yang jelas itu keren sekali. Kalau dia tidak melemparkannya, aku tentulah sudah mati tercabik-cabik.
Setelah Anjing itu pergi, kini giliran Annaliese yang menerjangku, "Badrun! kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil memelukku.
Aku jadi merasa tidak nyaman, bagaimanapun aku adalah seorang laki-laki dna aku tidka bisa sembarangan dipeluk oleh seorang perempua, terlebih perempuan itu secantik Annaliese.
"Iya, tidak apa-apa. Menyingkirlah, aku akan bangun!"pintaku.
Annaliese pun menyingkir dari tubuhku. Lalu aku langsung mengambil napas banyak-banyak sekan persediaan oksigen akan habis.
"Kau tidak apa-apa?" suara asing itu menyapu indra pendengaranku.
Aku pun menoleh ke arah sumber suara. Lalu, aku mendapati pria itu. Namun, seketika aku seperti baru menyadari sesuatu. Wajah pria itu terlihat sangat familiar di mataku.
Pria itu menghampiriku, langkahnya begitu ringan, sesekali dia menoleh pada kakinya. Semakin dia mendekat, aku semakin mengetahui kalau pria itu adalah Pangeran Rama. Suami dari Putri Sinta. Dia mengulurkan tangan dan aku langsung menyambutnya.
“Saya berutang nyawa padamu.” Kata Pangeran Rama.
“Saya hanya melaksanakan tugas saya, Pangeran,” sahutku.
Aku sangat yakin kalau laki-laki yang aku selamatkan adalah Pangeran Rama, Annaliese menyikut pinggangku pelan. Seketika aku sadar akan sesuatu.
“Tetap saja, saya sangat berterima kasih. Kalau tidak ada kalian, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri saja.” Kata Rama.
Alku melirik Annaliese sebentar, Annaliese mulai memberikan kode kepadaku. Aku langsung menatap Pangeran Rama tak enak rasanya berbisik-bisik di hadapan orang. Annaliese memintaku untuk memperkenalkan dirinya kepada Pangeran Rama. Ck, dasar perempuan, dia terlihat sangat mengagumi Pangeran Rama. Hal itu bisa aku lihat dari sorot matanya sata menatap Pangeran Rama.
Aku tidka heran sebetulnya dengan situasi ini karena Pangeran Rama memang terlihat memiliki bentuk tubuh yang ideal dan wajahnya pun sangat tampan dan gagah.
“Sama-sama, Pangeran. Sebelumnya perkenalkan, nama saya Badrun dan di samping saya teman saya, namanya Annaliese, kami datang dari tempat yang jauh. Suatu kehormatan bagi saya bisa menoleh Pangeran. Tapi izinkan saya bertanya, apa yang terjadi?” tanyaku.
Aku tidak tahu mengenai bagaimana cara yang paling sopan untuk bertanya kepada Pangeran Rama ini. Sebab, aku memang tidak pernah mengatakan hal-hal seperti ini. Aku hanya mengandalkan ingatanku pada film kerajaan yang pernah aku tonton di layar televisi. Semoga saja apa yang aku tonton memang membantuku.
“Kaki saya tiba-tiba tidak bisa digerakkan, saya tidak tahu apa yang terjadi pada kaki saya.” Kata Pangeran tersebut.
“Apa Pangeran sedang sakit?” kini Gliran Annaliese yang bertanya.
“Tidak, saya sama sekali tidak sedang dalam keadaan sakit. Saya tidka tahu megenai apa yang terjadi. Namun, kaki saya tiba-tiba saja tidak bissa digerakkan. Jadi, karena itulah keadaan saya mengenaskan seperti ini.” Kata Pangeran.
Aku dan Annaliese pun menganggukkan kepala. Kini dalam kepalaku timbul pertanyaan mengapa pangeran bisa mengalami kejadian seperti itu. Aku pun mulai berpikir apakah apa yang dialami oleh pangeran adalah suatu ketidak sengajaan atau justru sebuah jalan. Aku hanya bisa diam.
“Baiklah, Pangeran. Kami senang melihat Angeran baik-baik saja. Kalau begitu biar kami antar Pangeran ke istana,” tawarku.
Aku tentu tidak bisa membiarkan seorang pangeran pergi ke Istamna dengan keadaan yang seperti ini karena takut sesuatu terjadi lagi selama di perjalanan.
Pangeran pun menganggukkan kepalanya. Entah apa yang akan terjadi kalau kami mengantarkan Pangeran ke Istana, namun yang jelas aku dan Annaliese memang harus mengantarkan Pangeran ke Istananya. Semoga saja ini bisa membuka jalan bagi Badrun untuk menyelamatkan Putri Sinta.