BAB 25

1132 Kata
Kedua kakak beradik itupun akhirnya selesai mengemasi barang-barang mereka. Meski keadaan sekarang kurang tepat untuk pindah rumah, hal ini mereka lakukan juga untuk menjaga perasaan keluarga Han yang terpukul setelah meninggalnya anak sulung mereka.   Ko Ji sadar jika ia dan adiknya masih tinggal di sana, perasaan sakit itu akan semakin mendalam. Karena hal itulah, dia dan adiknya sepakat untuk meninggalkan rumah tersebut dan memilih tinggal disalah satu rumah warga yang sudah tak dihuni oleh pemiliknya.   So Ji masih enggan beranjak. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu pada keluarga yang telah merawat dan menjaga mereka selama ini. Bagaimanapun kesalnya So Ji kepada sepupu-sepupunya dan juga sang bibi yang selalu melukai perasaannya lewat kata-kata pedasnya, ada rasa kasih dan sayang yang So Ji dapatkan bersama mereka. Kemarahan dan kekesalan itu hanyalah palsu. Selalunya So Ji terus merindukan rumah pamannya ini ketika mereka pergi ke ladang untuk bekerja. Karena menurut So Ji, rumah mereka adalah rumah yang hangat walaupun setiap kali harus diisi dengan perdebatan kecil.   Suara gaduh terdengar di luar. Beberapaperangkat desa datang untuk menemui Ko Ji. Mereka menyampaikan kabar tentang gerbang yang semakin banyak didatangi oleh zombie. Kekhawtiran muncul akan pagar kawat yang tidak akan bisa kuat menahan kerumunan zombie yang membuat kumpulan dengan bertumpuk-tumpuk.   “Kenapa kau membawa kotak-kotak Ko Ji?” tanya salah satu teman Ko ji yang bingung melihat rekannya itu tampak sibuk memindahkan barang-barang ke mobil pick upnya.   Dengan santai Ko Ji menjawab bahwa ia tengah pindah rumah.   “Aku sedang pindah rumah –“   “Di saat genting seperti ini kau masih berpikiran untuk pindah rumah?” kesalnya. Dan itu juga tampak diraut wajah rekannya yang lain.   “Maaf tapi ini juga penting. Tapi kenapa kalian ke sini? Apa yang kepala desa katakan?”   Rekan Ko Ji yang bernama Teddy itu hanya bisa menggaruk-garukkan belakang kepalanya mendengar pertanyaan Ko Ji itu. Pasalnya, kepala desa saat ini juga tak bisa diandalkan untuk membuat keputusan.   “Beliau malah minta pendapatmu tentang hal ini. Beliau terlihat semakin takut melihat zombie-zombie tersebut dan melindungi dirinya sendiri dengan tidak keluar dari rumah.”   Ko Ji menghela napas berat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sembari memikirkan cara untuk menghalau zombie-zombie tersebut. Ko Ji sudah bisa prediksikan bahwa zombie-zombie tersebut akan menumpuk di desa Sobong. Karena pastinya ada yang memicu mereka untuk mengarah ke sini setelah keluar dari hutan.   Ko ji berpikir bahwa mereka bisa membaui manusia hidup. Tapi terasa aneh saat mereka tidak bisa melakukan apapun ketika malam. Walau dalam jarak dekat sekalipun, zombie tersebut sama sekali tidak menyerang. Jadi sudah dipastikan indera penciuman mereka tidak bekerja.   Kemungkinan yang lainnya adalah mereka bisa merasakan jenis mereka sendiri. Selain manusia yang bisa mereka lihat saat siang atau tempat bercahaya, mereka cenderung akan mengikuti suara dari zombie-zombie yang mengejar lebih awal. Hakikatnya mereka sama sekali takkan melihat mangsanya sampai mereka melihat zombie lain yang berlari mengejar.   “Kita ke sana –“   “Kakak!” So Ji agak gelisah. Sekali merasakan perpisahan dengan sang kakak, sudah cukup membuat gadis delapan belas tahun itu jera.   Dengan erat So Ji menarik ujung lengan baju kakaknya. Dengan penuh kekhawatiran, So Ji berharap kakaknya tidak melakukan hal yang membahayakan nantinya. So Ji cukup tahu bagaimana perangai kakaknya itu. Terlalu baik kepada orang lain sehingga sering dimanfaatkan.   Kakaknya Ko Ji sering menganggap hal itu sebuah kebutuhan. Mereka membutuhkan dirinya dan Ko Ji akan siap sedia membantu. Namun bagi So Ji, justru itu adalah hal yang sebaliknya. Ia selalu merasa kakaknya selalu dimanfaatkan. Apalagi oleh rekan-rekannya.   Untuk kali ini, So Ji tak ingin kakaknya kembali menjadi sapi perah. Memang di desa ini, kakaknya seorang yang paling berani menghadapi para zombie dengan kemampuan pedang yang ia miliki itu. Tapi sehebat apapun itu, manusia memiliki keterbatasannya sendiri. Dan So Ji tak ingin kakaknya itu seorang diri menanggung semua ini.   “Jangan pergi –“   Ko Ji mengerutkan dahi bingung. Melihat riak wajah So Ji yang mencemaskannya, ia akhirnya tahu mengapa adiknya menahannya pergi.   “Tetaplah di sini. Kakak tidak akan melakukan hal yang membahayakan seperti yang kau pinta,” ucap Ko Ji menenangkan sang adik.   Pagi tadi, setelah semua orang selamat dari kejaran zombie, So Ji sempat membicarakan tentang masa depan mereka ke depannya. Melihat virus ini mungkin akan bertahan lama, So Ji yang melihat bagaimana gigihnya sang kakak menghadapi para zombie tersebut bahkan saat menyelamatkannya di kota, So Ji berpikir semua itu menjadi sangat menakutkan.   Kehilangan orang-orang yang terus bersama kita, semakin membuat orang-orang yang kita cintai ingin kita lindungi. Begitu pula dengan apa yang dirasakan So Ji yang hanya memiliki sang kakak tercinta.   “Kakak yang bilang sendiri kan bahwa entah sampai kapan virus ini akan berakhir.”   Ko Ji mengangguk sambil mendengarkan.   “Karena itu, berjanjilah padaku kalau kakak tidak akan melakukan hal yang berbahaya lagi. Aku juga berjanji akan ikuti kata-kata kakak mulai sekarang. Aku tidak akan berkeliaran tanpa seijinmu. Tapi kau juga harus janji untuk tidak melakukan hal-hal berbahaya. Kumohon kak –“ tukas So Ji panjang lebar.   Ko Ji terdiam sambil mengamati sang adik yang ketakutan. Dengan sapu tangannya, ia menyeka darah yang masih menempel di wajah cantik adiknya semata wayangnya itu. Sambil membersihkan So Ji dengan sapu tangannya, Ko Ji kemudian memberikan sesuatu pada sang adik.   Sebuah kalung dengan liontin daun keberuntungan dengan lima kelopaknya. So Ji seharusnya senang dengan pemberian kakaknya itu, tapi entah kenapa rasa bahagia yang tiada tara bagi So Ji saat ini adalah bisa bertemu kembali dengan kakaknya dan orang-orang di desanya. Jika Ko Ji tak menjemputnya atau mungkin mati saat akan mencarinya, mungkin itulah pukulan terberat yang akan So Ji rasakan. Tapi beruntungnya, ia bisa selamat kembali ke desa bersama sang kakak.   “Akan kakak coba penuhi permintaan kamu itu,” ucap Ko Ji sembari mengalungkan pemberiannya pada So Ji.   Dan sekarang So Ji tengah mengingatkan kakaknya lagi akan permintaannya. Dan tentu saja Ko Ji akan selalu ingat dengan hal itu. Karena mereka baru membicarakannya beberapa jam yang lalu.   Ko Ji pun akhirnya pergi bersama rekannya ke gerbang depan. So Ji yang masih terus kepikiran hanya bisa menahan diri untuk tidak kecewa saat kakaknya pergi. Iapun memilih mengendarai mobil pick up tersebut untuk dibawa ke rumah baru mereka. Baru beberapa meter meninggalkan ladang strawberry milik pamannya itu, So Ji menghentikan kendaraannya kemudian berencana putar arah. Namun ia berpikir lagi bahwa nanti Ko Ji akan memarahinya karena mengikutinya ke pagar depan.   So Ji pun akhirnya memilih jalan lain yang sama tujuannya ke gerbang depan. Meski ia harus memutar arah So Ji tetap mengendarai mobilnya sesuai rencana. Di kawasan kebun yang rindang, So Ji terpaksa berhenti lagi karena langkahnya yang terhalangi mobil pick up lain dengan banyaknya muatan yang tercecer di tengah jalan.   Meski merasa jengkel karena ia harus buru-buru, So Ji pun keluar dari mobil untuk menyingkirkan kotak-kotak tersebut sembari menemui sang pemilik mobil. Namun..saat ia menyelidiki mobil tersebut, ternyata di sana …   .   .   bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN