BAB 2

1075 Kata
Pria muda yang diusir dari dapurnya sendiri itu keluar dari pintu restauran. Dengan penuh tersiksa ia terus menggaruk dan terbatuk di luar lorong dapur yang sepi dan kumuh. Tampak gelandangan dengan kantung bawaannya diam mengamati. Sambil terus mengais sisa makanan atau benda di tempat sampah untuk ia jadikan sumber pendapatannya. Gelandangan itu terus tak acuh hingga ia mendengar suara batuk besar yang seolah bisa membuat penderitanya mengeluarkan isi perutnya. Perhatiannya jatuh pada koki tersebut yang kini meringkih kesakitan akibat dari semua gejala yang ia terima. Sampai tak tertahankan, pria tersebut terjatuh hingga beberapa saat. Gelandangan tersebut terdiam. Dia ingin menyelamatkan tapi pikirannya berubah. Memperhatikan pria tersebut tak kunjung terbangun, gelandangan tersebut merogoh saku celana pria tersebut. Di sana ia menemukan apa yang ia cari lalu membawanya pergi untuk dirinya sendiri. Gelandangan tersebut tak terkejut lagi saat pria tersebut mengeluarkan banyak darah dari mulut dan hidungnya. Batuk itu langsung membuatnya terkapar hingga seperti mati. Pria itu tak benar-benar mati. Napasnya masih berbunyi dan tangannya masih bergetar. Tapi gelandangan itu lebih memilih mengambil barang berharganya lalu pergi. Terbiasa dikecewakan setelah menolong orang lain, membuatnya tak acuh dan memilih mengambil barang berharga mereka. Hingga rencana tersebut berhasil kali ini. Dengan semringah, ia menghitung jumlah uang yang tersimpan di dalam dompet yang ia rogol. Cukup untuk makan beberapa hari sebelum ia akan melanjutkan pencariannya mencari makan dengan cara mengais sampah. Saat gelandangan itu berbalik, ia merasakan betul bahwa tak ada orang lain selain dirinya. Tapi kali ini, dia ragu apakah benar-benar tak ada orang lain yang memergokinya mencuri dari pria yang sekarat? Karena jika ketahuan, berurusan dengan polisi menjadi hal yang merepotkan. Belum lagi hukuman mereka pada tunawisma seperti mereka akan lebih buruk jadinya. Mereka tidak punya uang untuk menebus diri mereka sendiri. Kerja sosial tanpa upah cukup mencelik leher juga. Maka akalnya bekerja. Ia tak ingin meninggalkan jejak apapun atas perbuatannya. Maka ia berbalik menghampiri lagi pemuda yang terkapar itu. Tak lupa menyisakan beberapa uang di dalam dompetnya, gelandangan tersebut bermaksus memasukkannya kembali ke dalam saku pemuda tersebut. Karena ia pikir pemuda itu tertidur, betapa terkejutnya ia saat melihat matanya terbuka lebar menatapnya menyeramkan. Meski pemuda itu diam saja tanpa melakukan apapun, gelandangan tersebut tetaplah terkejut. Ia sampai jatuh terduduk sambil mengamati apa yang terjadi pada pemuda tersebut. Matanya melotot dengan pupil yang memutih. Mulutnya penuh dengan darah dan bau yang tak mengenakkan. Telinganya juga mengeluarkan darah. Pemandangan yang lebih mengerikan lagi adalah, keluar ulat kecil dari sudut bibir pemuda tersebut. Gelandangan tersebut menjerit ketakutan. Bagaimana bisa seorang manusia yang masih hidup bisa tampak seperti telah mati berhari-hari dengan mengeluarkan ulat belatung seperti itu. Kalaupun ia sudah mati, tak mungkin secepat itu dimakan ulat. Pria lusuh itu tak mau berpikir panjang lagi. Keanehan pada pemuda itu sudah cukup membuktikan ada yang tak beres dengannya. Iapun beranjak. Berlari kecil dengan kaki pincangnya. Menjauh sebisa mungkin dari mayat yang baru saja mati lima menit yang lalu dan kini mengeluarkan belatung. Kakinya yang terseret-seret mulai merasa lelah. Ia pikir pergi beberapa blok dari tempat kejadian menghindarinya dari masalah. Tapi ternyata, dia masih belum bisa merasakan nikmatnya jalan santai tanpa mendapatkan masalah. Ia kini kembali merasa terpanggil dan merasa ada yang mengikuti lagi. Kali ini suaranya terdengar jelas. Seperti ada yang berlari namun tak kunjung sampai. Sampai ia berpikir bahwa itu mungkin orang lain yang akan melintas atau berlari di blok tersebut hingga ia memilih untuk abai. Tapi..baru saja ia membuka kantung sampah untuk kembali mengais, kakinya yang terseret menggantung beberapa senti dibarengi dengan suara erangan kesakitan darinya. Tak tampak jelas apa yang terjadi, kaki itu mengambang bersamaan dengan erangan dan embusan napas kasar dengan auman singa yang menggeram kelaparan. Meninggalkan banyak bercak darah di dinding dan trotoar jalan. Saksi bisu dari semua ini hanyalah lampu jalan yang tepat mengarah kepada sang gelandangan yang kini harus puas luka menganga di wajah. Ko Ji tersentak. Ia memperhatikan daging yang ia ambil sambil memperhatikan darah yang masih menetes dari sana. Matanya tertuju ke daging tersebut, namun pikiran dan penciumannya berada jauh entah kemana. Sekelebat bayangan rusa yang ia kubur di hutan kembali melintas. Perasaan tak nyamannya kembali mengganggu. Ko Ji beberapa kali mengendahkannya, tapi rasa penasarannya selalu kembali. Seperti ada yang tak mengena dengan rusa dan kemunculan pria yang mengganggu So Ji di terowongan tadi. Itu nyata. Apa yang So Ji alami itu adalah nyata. Bukan khayalan ataupun hanya perasaan adiknya semata. Ia melihatnya dengan jelas. Seseorang berjalan dengan terseok lalu menghidu dengan kuat ingin menghampiri So Ji yang sendirian. Lewat kabut yang mengaburkan, ia berlari menuju So Ji hendak menerkamnya. Tapi berhasil Ko Ji lenyapkan sebelum mayat hidup itu sampai pada tujuannya. Kondisinya mirip dengan sang rusa. Tapi mayat manusia lebih mengerikan karena mengeluarkan belatung dan bau yang menyengat. Mereka seperti mati setelah beberapa hari dan keluar dari kubur-kuburan mereka. Ko Ji sedikit bingung melihat makhluk tersebut. Ia mulai merasa ada yang tak beres di hutan tersebut. "Kak! Apa aku boleh main ke sini lagi besok?" "Mau apa ke sini?" "Malam terlalu silau. Aku ingin ajak EumJi jalan-jalan --" "Tidak." So Ji merengut. Dengan tidak semangat ia menjatuhkan kaleng sodanya sambil merengut ke arah sang kakak yang terus sibuk melihat ke arah sesuatu. So Ji pikir itu adalah seorang gadis, karena itu So Ji mencoba menggoda sang kakak yang sebenarnya tengah menghidu aroma anyir begitu kuat di belakang restauran ini. "Huumm seleramu boleh juga kak." Ko Ji melirik bingung, "Apanya? Daging?" "Bukan. Tapi dia," tunjuk So Ji ke arah gadis berambut pirang yang tak sengaja juga mengarah ke arah Ko Ji. Tatapan mata mereka tak saling bertemu. Tapi Ko Ji bisa tahu jika gadis itu melihatnya. "Jangan bicara sembarangan. Ayo pulang --" "Pulang? Ini baru jam berapa kak?" rengek So Ji. Pandangan Ko Ji terus awas. Entah kenapa ia mendengar banyak bisikan di sekitarnya. Dia seperti mabuk. Mendengqrkan suara sumbang yang berbicara entah darimana. Situasi restauran tidaklah terlalu ramai. Tapi di telinganya ia merasa ada suara yang membahas tentang darah dan mayat hidup. Ko Ji berusaha sadar dan melihat So Ji melenggang pergi karena ocehannya tak ia dengarkan. "Kakak menyebalkan! Aku ingin main-main! Jangan hiraukan aku!" teriak So Ji yang meninggalkan Ko Ji yang masih terpaku mendengarkan suara-suara sumbang itu. "So Ji! Jangan berkeliaran!" Ko Ji hendak mengejar. Namun atensinya jatuh pada seseorang yang berdiri tepat di luar restauran. Pemuda misterius yang mengenakan hoddie putih dengan headset di telinganya. Pemuda itu lantas menaikkan kepala plontosnya dan menyeringai. Beradu pandang dengan Ko Ji sambil menunjukkan taring lancipnya. Deru napas saling beradu.. . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN