BAB 32

1684 Kata
“Kakak. Bangunlah.”   So Ji mencoba membangunkan Ko Ji yang masih tergeletak lemas di empat pertempuran. Bau menyengat mulai terhidu di sekitar lokasi. Pasalnya, banyak zombie yang akhirnya mati dan bertebaran di sana.   Ko Ji belum merespon panggilan adiknya tersebut. Tapi ia bisa tahu bahwa adiknya tengah menangis di sisinya. Mendengar hal itu, Ko Ji lantas sebisa mungkin membuka mata agar ia bisa menenangkan sang adik.   “Bangun kak. Kakak bilang tidak akan membiarkanku sendirian kan? Kakak akan melindungiku, kan?” isak So Ji yang masih belum menyadari jika Ko Ji telah membuka matanya. Belum sempat Ko Ji memberi kejutan pada adiknya bahwa ia terbangun, suara gemeretak gigi mengganggunya.   Ko Ji lantas mencoba bangun dan disitulah So Ji berteriak histeris – gembira – melihat kakaknya telah terbangun. Namun, di saat yang sama sebuah bayangan hitam mendekati So Ji. Setelah melihatnya dengan lebih seksama, ternyata bayangan tersebut adalah sosok Minerva yang berubah wujud menjadi monster.   “Kakak! Aku senang kakak –“   “Awas!”   Minerva langsung mengeluarkan kuku panjangnya ke arah So Ji. Dengan sigap, Ko Ji menggeser tubuh So Ji hingga terjerembab ke tanah sedangkan dirinya menangkis serangan Minerva dengan pedangnya. Minerva berubah menjadi manusia tengkorak hitam dengan rambut panjangnya. Yang mencolok dan menyeramkan dari sosoknya adalah tubuhnya menjadi tinggi kurus hitam dengan kuku panjang dan tajam. Belum lagi kepalanya rusak dan patah sehingga menempel ke bahunya. Mungkin karena Ko Ji tak menebasnya dengan tuntas,sehingga ia masih bisa bangkit dengan kondisi yang baru.   Yang lebih mengejutkan lainnya adalah Minerva tak menapak di tanah dan ia bisa terbang ke sana ke mari seperti asap. Sehingga menyulitkan Ko Ji untuk membalas ataupun menyerang tubuhnya. Dalam keadaan yang belum sempurna, Ko Ji sempat beberapa kali terjatuh karena tak tahan berdiri. Entah kenapa proses pemulihannya sedikit melambat. Mungkin karena ia memang kelelahan dan belum mendapatkan setetes darah pun untuk memulihkan keadaannya. Atau bisa jadi, serangan spiritual dari Minerva memang membuatnya lemah.   Minerva terus terbang ke sana dan kemari sambil tertawa. Tentunya menertawakan Ko Ji yang masih belum bisa menangkap dirinya. Ko Ji sendiri pun terlihat kesal karena tak berdaya. Melihat kondisi kakaknya seperti itu, So Ji menawarkan sesuatu yang cukup gila dan berbahaya untuknya. Dengan keberanian penuh di tengah-tengah pertarungan kakaknya dengan Minerva, So Ji menawarkan darahnya untuk dihisap oleh Ko Ji. Mendengar hal itu tentu saja Ko Ji terkejut.   “Aku tahu..kakak membutuhkannya kan? Kakak bisa mengalahkannya jika kakak pulih –“   Ko Ji menepis tangan So Ji dengan kasar. Matanya mulai berair. Ia sedih mendengar adiknya menawarkan sesuatu yang berharga untuknya itu. Ko Ji juga kecewa mendengarnya. Karena selama ini dia sudah menahan diri untuk tidak memangsa darah manusia. Dan yang ia khawatirkan adalah hal tersebut akan terus berlanjut sedangkan dunia masih dipenuhi oleh monster. Ko Ji menolak, karena ia masih bisa bertahan tanpa darah siapapun. Itu adalah janjinya untuk dapat melindungi sang adik.   “Apa kamu pikir kakak akan kalah darinya?” ketus Ko Ji disela-sela dirinya memperhatikan Minerva yang masih mengelilingi mereka hingga seolah jumlah sosoknya ada lebih dari satu.   Minerva tertawa mendengar penuturan Ko Ji itu, “Hidupmu adalah untuk menghisap darah Han Ko Ji! Hisap darahnya dan kau akan seimbang melawanku!”   “Ta..tapi kak –‘   So Ji masih mencoba membujuk kakaknya yang sedang berusaha tegar dan kuat di hadapannya. Tapi semakin So Ji ikut campur, semakin marah pula Ko Ji kepadanya. Karena tak tahan mendapatkan tekanan dari dua orang yang menghadangnya, Ko Ji melepaskan auranya dan kembali ke mode bertarung. Yaitu mode mata merah darahnya yang membuatnya terlihat kuat dan keji. Seperti Ko Ji yang memiliki dua kepribadian, baik dan jahat. Seperti itu juga Ko Ji menanggapi sekitarnya termasuk So Ji yang ada di belakangnya.   “Kalau kau ingin membantu, setidaknya hidup sehat dan makanlah dengan teratur. Darahmu akan lebih berguna nantinya ketika itu benar-benar dibutuhkan,” ucap Ko Ji yang memang seperti dikuasai oleh orang lain yaitu wujud jahatnya.   So Ji menerima nasihat itu dan mulai mundur beratur untuk membuat Ko Ji leluasa untuk menangkap Minerva yang masih berterbangan di atas mereka.   “Apa kau pikir bisa mengalahkanku?” Minerva tertawa dengan lengkingannya yang khas. Membuat Ko Ji semakin memburuk suasana hatinya hingga ia dengan mudahnya menjatuhkan Minerva dengan sabetan samurainya tepat mengenai pinggang Minerva yang ringkih. Tak disangka sabetan tersebut mengenai wujudnya yang asli. Setelah Minerva benar-benar telah jatuh, Ko Ji dengan cepat mendekati Minerva dan menancapkan pedangnya tepat di jantung wanita itu. Tapi lagi-lagi, Minerva kembali lolos setelah kembali berubah menjadi asap.   Suasana semakin mencekam sata Minerva menuju ke arah So Ji yang tak dilindungi oleh siapapun. So Ji berada dalam dekapannya hingga gadis itu tak bisa pergi ke manapun dengan kuku panjang Minerva yang siap menancap di leher So Ji.   “Kalau kau tak menginginkan darahnya, maka aku yang akan menghisapnya,” ancam Minerva yang sudah siap menancapkan gigi taringnya pada So Ji.   Ko Ji berang. Sayangnya sedikit saja ia bergerak Minerva terus mengancam untuk menerkam So Ji. Tapi Ko Ji tak kehilangan akal serta kesempatan. Ketika Minerva sibuk bermain-main dengan So Ji hanya untuk menggertaknya, Ko Ji menyiapkan siasat baru.   “Coba saja kalau kau berani,” gertak Ko Ji yang kini tengah membuat kuda-kuda menyerang.   Dengan kemampuan teleportasinya yang cepat, Ko Ji melemparkan samurainya pada sisi kepala Minerva. Dan ketika Minerva memanfaatkan So Ji sebagai tawanan untuk menerima lemparan samurai itu, Ko Ji datang dengan cepat dan langsung menyingkirkan kepala So Ji dari sana. Samurai berhasil Ko Ji tangkap dan arahkan telak kepada Minerva.   “Api kegelapan! Muncul lah!”   Dari pedang Ko Ji itu, muncul percikan api yang lama kelamaan menjadi api yang membesar. Dengan cepat Ko Ji menancapkannya ke kepala Minerva hingga wanita itu terbakar seutuhnya. Seperti arang yang mudah terbakar, api tersebut dengan cepat melahap Minerva tanpa bekas. Teriakan pilunya menyadarkan Ko Ji ke kondisi aslinya.   Minerva benar-benar telah terbakar menjadi abu. Angin membawa abunya pergi jauh begitu pula tubuh-tubuh rekannya yang lain. Ko Ji memandangi lingkaran debu itu pergi. Seperti ada sesuatu yang mengganjalnya. Namun kemudian Ko Ji teringat dengan sang adik. Yang hari ini dengan berani melakukan banyak hal. Tanpa banyak kata lagi yang terucap, Ko Ji menghampiri adik semata wayangnya itu lalu memeluknya erat. Sedangkan So Ji menangis di d**a bidang kakaknya itu dengan lega.   “Apa ada yang terluka?” tanya Ko Ji lembut. Tak seperti kondisi Ko Ji sebelumnya, kini Ko Ji terlihat bugar walau tak meminum darah. So Ji sempat bingung dengan kondisi tubuh kakaknya itu. Tapi kemudian ia menepisnya sambil mengingat semuanya kembali seperti semula.   So Ji menggeleng, “Tidak ada.”   “Semua sudah berakhir.”   So Ji melepaskan diri sambil mengangguk pelan. Airmatanya pun ia seka agar tak terlihat oleh Ko Ji yang tersenyum lega padanya. Melihat senyuman kakaknya itulah So Ji yakin, meskipun kakaknya adalah manusia yang berbeda, sikap hangatnya tetaplah sama. So Ji yakin kakaknya tidak akan pergi darinya apalagi berubah seperti vampire lainnya.   Tapi keyakinan So Ji tersebut tak sepenuhnya selaras dengan para warga. Dengan tertatih, mereka kembali masuk ke gerbang. Sesampainya di sana, tatapan penuh ketakutan dan ketidak sukaan mewarnai kembalinya mereka masuk. Salah satu warga bahkan dengan jelas bergumam, menolak dan takut dengan keberadaan Ko Ji.   “Apa dia patut kembali? Aku takut sewaktu-waktu ia akan menyerang dan menghisap darah kita.”   Sebagian dari mereka menyahuti ucapan tersebut. Mereka menyangsikan keberadaan Ko Ji dengan kemampuannya itu.   “Kenapa..kalian berkata begitu –“   Ko Ji menahan adiknya untuk protes. Tanpa mengatakan apapun, Ko Ji berbalik sambil menunduk sambil meminta maaf. Ia sendiri sedang berusaha untuk membuat warga Sobong merasa aman dengan kehadirannya. Tapi nyatanya itu tidak lah mudah.   “Saya minta maaf dengan ketidaknyamanan ini.”   “Apa kau masih punya muka untuk tetap di sini? Kau hanya akan membahayakan yang lainnya!” gertak salah satu warga yang lagi-lagi disetujui oleh beberapa warga. Ko Ji dan adiknya hanya bisa tertunduk.   “Lebih baik kalian –“   “Kalian apa? apa yang sudah mereka perbuat?” teriak kepala desa yang datang menengahi persoalan warganya itu.   Warga yang merasa terganggu dengan kehadiran Ko Ji dan So Ji meminta kepala desa untuk mengusir keberadaan mereka. Tapi sebagian yang lainnya pula tak serta merta menyetujui hal tersebut. Keributan terjadi saat Ko Ji masih belum istirahat dari pertempurannya. Dan hal itu sempat membuat So Ji berang dan ingin berteriak kepada mereka.   “Apa kalian buta sejak tadi Ko Ji bertarung untuk siapa? Jika dia membahayakan, dalam hitungan detik saja nyawa kita akan melayang sekarang juga,” bentak kepala desa mencoba menyadarkan mereka yang protes dengan kehadiran Ko Ji.   “Tapi kita tidak tahu di masa depan nanti dia akan –“   “Sekarang saja dia sudah terlihat sekarat dan tengah mencari makanannya. Bukan tidak mungkin dia akan mencari salah satu dari kita untuk dihisap darahnya,” ujar salah satu warga yang kembali disetujui oleh warga yang kembali bergidik ngeri.   Kepala desa yang tadinya mendukung itupun terdiam. Ia ingin memastikan hal tersebut takkan terjadi, tapi melihat keadaan Ko Ji bukan tak mungkin ia akan melakukan hal itu.   “Kakakku selama ini hanya memangsa binatang. Jika dia ingin memangsa kita bukankah seharusnya kita sudah mati sejak dulu?” tanya So Ji yang langsung membuat mereka bungkam. So Ji bahkan meyakinkan yang lainnya dengan tangisannya. Ia berharap semua kecurigaan ini akan berakhir.   “Kami akan mempercayainya. Jika Ko Ji benar-benar menjadi pelindung masyarakat di sini,” tukas mereka yang secara terang-terangan meminta Ko Ji menjadi pelayan masyarakat. Meski So Ji menentang hal tersebut karena mereka hanya memanfaatkan kakaknya, tetap saja So Ji tak bisamencegah kakaknya untuk menolak hal tersebut.   Ko Ji terdiam sambil bersedia menuruti permintaan warga Sobong tersebut termasuk dengan tinggal terisolir dari mereka. So Ji tak menyangka semua akan berakhir seperti ini.   “Kenapa  kakak diam saja?” tanya So ji kesal sembari menemani kakaknya itu membakar para zombie agar tk memancing zombie lain kembali datang.   Ko  Ji terdiam sesaat lalu kemudian tersenyum melihat sang adik, “Kakak harus melindungi mereka. Kalau bukan kakak, lalu siapa lagi?”   Kali ini So Ji yang terdiam. Ia ikut membayangkan para warga yang mayoritas malah para lansia.   “Kalau kita pergi dan kalau bukan kakak yang melindungi mereka, lantas siapa lagi?”   . . bersambung      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN