8. Bangkit

2440 Kata
"Mas Raka ...," Laki - laki itu menoleh sebentar sebelum melanjutkan aktivitasnya, "Mas?" panggil Genta.  "Ada apa?" Genta menggeleng, lalu melenggang pergi ke kamar.  Ada sebuah perasaan yang mungkin tak pernah ia sadari, perlahan mencuri ruang kosong di hatinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, setelah bertemu dengan orang itu perasaannya tak karuan. Namun, di sisi lain ia harus tetap menjaga egonya. Tak boleh terjerat pesona kadal buntung. "Aku harus apa, Ya Tuhan!" keluh Genta.  "Apa aku bisa seperti biasanya? Mengapa ini begitu sulit," lanjutnya.  Ia mencoba menguatkan hati dan jiwanya, teringat masih memakai seragamnya. Genta pun akhirnya berganti pakaian. Berjalan gontai, ia menyiapkan segala petuah yang akan di ucapkan Raka. Klek!   Selepasnya memakai baju Raka duduk di ranjang sebelahnya, matanya menatap Genta sebentar. "Udah makan?" tanya Raka yang di gelengi Genta.  "Yuk makan keluar," ajaknya yang di gelengi Genta. "Nggak usah, Mas. Aku masak aja," tolak Genta dengan berjalan keluar kamar.  Aku harus apa, biar kamu kembali seperti semula? Batin Raka dengan mengacak-acak rambutnya. Ia kemudian mengikuti langkah Genta.  Gadis itu tengah memasak nasi goreng, Raka menghampiri meja makan dengan hati-hati agar gadisnya tidak mengetahui keberadaannya. "Sudah makan, Mas?" tanya Genta yang membuat bahu Raka berjingkit, terkejut.  "Aku belum." Genta mengangguk. Lalu membagi nasi goreng tersebut menjadi dua piring.  "Ini, Mas. Maaf kalau nggak enak," ucap Genta dengan duduk di depan Raka. Raka mengangguk sekilas, lalu mulai menyantap makanannya.  "Genta?" Genta menatap Raka, lalu mengernitkan dahinya. "Nanti bicara sebentar," lanjutnya yang dijawab Genta mengangguk patuh.  Kadal satu ini mau ngapain lagi, nyidang aksi gue cium pipi Bang Manyu atau aksi pukul-pukulan sama Gentur ya?  Selesai makan, mereka duduk di ruang tamu. Bertemankan dua cangkir teh, dan hiburan di layar kaca. “Genta..., " Genta menoleh.  “Nyapo meneh? Ancen kakean omong, ono opo sih Mas?”  (Ada apa lagi? Memang kebanyakan suara, ada apa sih Mas?) "Maaf," ucapnya dengan tertunduk. "Aku nggak bermaksud berkata seperti itu. Aku hanya kesal, kamu pulang malam. Nggak ngasih kabar ke aku," lanjutnya dengan menghembuskan napas panjangnya.  “Harusnya kamu tau, Mas, batasannya kalau bicara. Ajining diri gumantung ono ing lathti. Lo harusnya mikir kalau jelek-jelekin istri kek gitu itu dosa, lo tau dosa kan? Gue dinikahin sama lo supaya ada yang jaga, kalau lo nggak mau udah ayo ke pengadilan agama aja. Percuma juga lo nggak harapin apa-apa dari pernikahan ini, yang di otak lo cuman warisan terus. Gue nakal itu udah dari dulu sebelum lo kenal gue, tapi lo bisa tanya sama Bang Manyu apa pernah gue having s*x sama cowok yang bukan suami gue. Pendidikan lo lebih tinggi dari gue, tapi kenapa bad attitude ya? Gue nggak peduli lo marah sama gue atau nggak, yang jelas perjanjian kita boleh kembali ke pasangannya yang dulu kan? Jangan marah kalau gue setiap hari di jemput pacar gue, karena gue nggak marah sama sekali lo jalan sama siapapun dan kapanpun. Kalau lo pengen gue berubah, rubah dulu diri lo. Berkaca dahulu baru berkomentr,” ucap Genta dengan menatap Raka tajam. "Tapi, gue sebagai suami lo wajib tau lo dimana dan dengan siapa. Kalau gue telpon di angkat, nggak peduli ada pacar lo atau nggak. Gue nggak peduli lo mau sama siapapun, tapi jaga sopan santun. Kalau lo sayang seseorang harus ada batasannya, jangan main nyosor di tempat umum. Yang kayak gitu nggak bisa di sebut bad attitude? Kalau ada masalah selesaikan di luar lingkungan sekolah, gue liat lo nonjok siswa SMK Bhineka kan? Itu juga nggak bisa di sebut bad attitude?  Heran gue, lo ngomong gitu seakan-akan gue manusia paling berdosa di muka bumi ini. Lo nggak nyadar kelakuan lo juga nggak jauh beda sama jalang! Sehari ganti dua kali cowok, hebat banget ya lo. Pantesan jadi pentolan anak SMA Garuda, lo itu penggoda!”  Genta mengepalkan tangannya kuat, ia mencoba control emosinya di depan Raka. “Terserah mau panggil gue apa, nggak ngaruh sama gue. Lagi pula kenapa lo ngurus banget hidup gue? Bukannya kita hanya manusia asing yang hanya tinggal satu atap? Nggak usah ikut campur urusan gue terlalu dalam, gue nggak suka!”  “Karena lo istri gue! Gue berhak ngatur lo!” desis Raka dengan menatap mata Genta tajam. Gadis itu tersenyum miring dengan bersedekap d**a. “Kita hanya manusia asing yang tinggal satu atap, jangan pernah anggap gue istri lo! Sampai kapanpun gue nggak bakal menunaikan kewajiban gue, lo boleh jajan dengan siapapun! Gue nggak pernah marah!” “Kita suami-istri, Ta, lo tanggung jawab gue! Tolong jangan masukin hati ucapan gue yang kemarin-kemarin, gue nggak maksud buat hati lo sakit.” Laki-laki itu memegang tangan Genta yang langsung di hentakkan. “Semalam tidur dimana?” "Di rumah Bang Manyu,” jawab Genta singkat. "Sejak kapan kamu punya abang? Maksud kamu dia itu pacar pemuas?" tanya Raka dengan senyum smirk. "Dia itu temen gue juga saudara jauh gue, jadi gue panggil abang. Dia baik, pengertian banget. Nggak kayak lo, dia selalu wellcome sama gue. Perlu lo tau gue pulang larut malam ke rumah dia, di sana ketemu temen lama. Kita nongkrong dulu, sampai malem. Jadi, nggak usah mikir yang macem-macem tentang gue." jelas Genta dengan menunduk.  "Terus kamu pulangnya sendirian?" Genta mengangguk. "Kalau di jalan ada begal gimana? Kamu cewek, Sayang. Kamu nggak takut?"  “Perlu lo tau sebelum gue nikah sama lo, gue sering pulang malam tanpa perlu takut ada apapun. Gue udah hapal, juga bukan anak kecil lagi. Gue nggak pernah takut sama siapapun, Mas, kecuali sama Allah. Dan aku percaya Allah bersamaku," jawab Genta mantab.  "Oh iya, Mas. Aku mau bilang ...," Genta menarik napas dalam, "aku memang sering keluar malem, temen aku cowok semua, aku juga ikut balap sana-sini, aku ikut tawuran juga. Aku nggak bisa anggun seperti perempuan lainnya, aku ya aku! Cewek brandalan, tapi satu yang perlu kakak tahu. Aku nggak murahan! Tujuanku nikah sama kamu bukan karena uang kamu. Tapi karena Ibuk, aku ingin beliau bahagia. Dan hanya ini salah satu cara membuat beliau bahagia, melihat aku menikah dengan orang pilihannya. Bahkan, aku belum kenal sama sekali sama kamu. Tapi aku mencoba untuk membuka ruang untuk kamu, biar aku bisa berbaur sama kamu." lanjutnya.  "Sejak SMP aku udah di Jakarta, aku salah pergaulan. Budheku, membebaskan aku berteman dengan siapa pun. Aku di beri mobil, motor sendiri. Aku sering ikut balapan, pulang larut malam, tapi satu, Mas, yang masih aku jaga sampai saat ini, kehormatanku. Aku memang nggak baik, tapi aku dari keluarga yang menjunjung tinggi norma dan agama. Walau kelakuan seperti itu, tapi aku nggak mau tubuhku kotor. Aku masih ingat Allah," ucap Genta dengan menitihkan air matanya.  "Terserah kamu mau nilai aku gimana, itu hak Mas. Yang jelas aku sudah jujur sama kamu, maaf kalau kata-kata aku tadi kasar. Aku kebawa emosi, Mas." Raka memeluk tubuh Genta yang kini tengah terisak tangis.  "Jangan nangis, aku nggak sengaja bilang gitu tadi. Soal pas mabuk aku bener-bener minta maaf, aku nggak maksud gitu. Apalagi soal anak, aku becanda. Maafin aku." ucap Raka dengan mengelus punggung kecil gadisnya.  "Udah jangan nangis, aku percaya sama kamu. Maafin aku, nggak mau dengerin penjelasan kamu dulu." Genta mengangguk dalam pelukan Raka.  Raka melerai peluknya, lalu menghapus jejak tangis gadisnya. "Jangan nangis dong." Genta mengangguk.  "Kamu belum bilang sama aku, siapa orang yang kamu cium tadi pagi?" selidik Raka dengan menatap sangar.  "Maaf, Mas. Itu Bang Manyu, aku kesel sama kamu jadi aku cium dia." jelas Genta. "Gitu kamu ya? Berani cium cowok lain? Terus aku nggak pernah di cium duluan?" Genta terkekeh melihat ekspresi Raka.  "Dia kan Abang aku, Mas." kilah Genta.  "Terus aku siapa kamu?" Genta terkekeh kembali. "Maaflah, Mas. Kamu kan suami aku."  Raka menunjuk pipi kanannya, "Ngapain tuh nunjuk - nunjuk pipi? Pengen di gampar?"  Laki - laki itu memajukan bibirnya, kesal. "Uluh uluh, kok imut sih kamu."  Cup!  Genta pun mencium pipi kanan Raka. "Udah?" Raka hanya menjawab dengan senyuman.  “Padahal pengennya di bibir,” bisik Raka.  Ting!  Abimanyu : ke rumah gue sekarang! jangan bawa motor, suruh anterin suami lo! penting!  Dahi Genta mengerut, "Kenapa?" tanya Raka.  "Mas, anterin aku ke rumah Bang Manyu."  "Bukannya tadi udah dari sana? Ngapain ke sana lagi?" ketus Raka dengan bersedekap d**a. "Ini di chat sama Bang Manyu, keknya ada masalah deh."  Raka pun mengangguk, pasrah. Ia tak mungkin membiarkan istrinya pergi sendirian, lagi pula hubungan mereka baru saja membaik. Tak ada salahnya jika ia membuka hati kembali, jujur di lubuk hatinya yang paling dalam rasa bersalah dan menyesal sangat mendominasi. Ego ia turunkan demi rumah tangganya langgeng. Ting!  Abimanyu : KESINI CEPET, GENTA!! GUE BUTUH LO! GPL!  Abimanyu : P Abimanyu : GENTA JANGAN CUMAN RI READ WOY! SAKIT TAU! CEPETAN KE SINI! ANAK - ANAK UDAH NGUMPUL! Genta : OTW SEYENG!! Ia pun memasukkan ponselnya di tas yang sempat ia bawa. Lalu, menggandeng tangan Raka menuju mobilnya. Sebenarnya ada rasa bahagia dan juga kecewa, tapi entah mengapa bahagia lebih mendominasi. ### "Kita dirikan lagi ELANG," ucap Abimanyu santai. Genta yang di sampinya melotot, tajam. "APA?!"  Abimanyu memegang telinganya, "Jangan ngegas juga kali!"  "Bang, yang bener aja? Elang udah lama bubar! Terus abang bangkitin lagi? Dalam rangka apa sih?" Abimanyu mengangguk.  "Nggak ada cara lain, makin hari mereka makin jadi. Lo jadi ketuanya, Ta. Ini demi semuanya, demi anak Garuda dan Pancasila."  Lagi - lagi Genta melotot tajam, "Abang ku sayang! Kenapa nggak cari yang lain? Saya cewek, jangan saya."  "Emang cewek nggak boleh jadi ketua? Mereka juga setuju, anak SMAPA juga setuju. Kita semua udah kenal lo, dari lo jaman SMP. Gue nggak ragu lagi sama kemampuan lo," jelas Abimanyu.  "Bang ...," Abimanyu menggeleng. "Sebagai wakilnya gue pilih Aldo, dari anak SMAPA. Gue nggak mau tahu, anak SMAPA sama SMAGA harus saling membantu. Jangan ada yang musuhan, kita satu! Satu terluka, terluka semua. Satu sedih, sedih semua. Satu bahagia, bahagia semua. Inget kita saudara!"  "ELANG!" teriak lantang Abimanyu. Yang di jawab dengan kepalan tangan ke awang - awang. “Anaknya Om Wahyu!” tambah Genta yang disusul tawaan oleh teman-temannya. "Berpikir luas, jangan asal bertindak. Itu moto kita!" Semua mengangguk paham.  "Oh iya, anak Bhineka jangan sampai ada yang tahu. Gue yakin mereka pasti ngincer kita semua. Dan ...," teriak Abimanyu, "kalau sampai ada yang berkhinat di sini! Hidup lo kagak bakalan tenang!" ancam Abimanyu.  "Oh iya, kita pilih tempat nongkrong di mana?" tanya Genta.  "Rumah gue aja," usul Abimanyu yang langsung di gelengi oleh Genta. "Kejauhan dari SMAGA, Bang. Yang deket, terus jauh dari anak Bhineka."  "Kafe gue aja," usul Afandi, salah satu anak SMAPA. "Oh iya, lo punya kafe ya?" tanya Abimanyu yang di angguki oleh anak itu.  "Nggak papa emang kalau anak Elang nongkrong di sana?" tanya Genga tak enak hati. "Ya elah, kek sama siapa aja. Sama Fandi mah biasa aja, Kafe gue nggak jauh dari SMAGA atapun SMAPA. Anak Bhineka jarang yang lewat di depan kafe gue," Genta mengangguk - anggukan kepalanya.  "Oke! Mulai besok kita nongkrongnya di Kafe-nya Fandi, namanya paan, Fan?" tanya Genta.  "Elang ajalah, biar ketceh!" jawabnya dengan terkekeh. "Terniat lo, Bung. Nggak tanggung - tanggung," seru Faizal, anak SMAGA.  Tak sadar satu jepretan foto, membuat rencana mereka hanya sebatas awangan. Atau mungkin mereka sudah berada di mulut serigala, tinggal ngap sudah sekian terima kasih. ###  "Makasih, Zal." ucap Genta turun dari motor Faizal, rumah mereka kebetulan satu arah. "Santai ae lah sama gue mah. Gue balik dulu ya, Ta." Genta mengangguk. "Hati-hati, Zal!"  Genta mengerutkan dahinya, mobil Raka belum juga kembali. Selepas mengantarkan dia ke rumah Abimanyu, laki - laki itu pamitan akan segera pulang. Ia merogoh ponselnya, mencari nama suaminya.  Beberapa kali ia coba, namun hanya suara operator yang menjawab. Ia mencoba tak berpikir aneh-aneh, lagi pula hubungannya baru saja membaik. Ting! Segera ia membuka aplikasi line-nya dengan melanjutkan langkahnya yang tertunda.  Ferdiana : Genta!  Ferdiana : lo kagak sama pak ganteng ya?  Ferdiana : lo dimana? gue liat pak ganteng jalan sama cewek bohay nan aduhay nih,  Ferdiana : gile! mesra abis, mpok! lo dimana sih? buka napa woy!! suami lo di sosor orang woy! Ferdiana : mengirim gambar  Perasaan Genta campur aduk, ia memperbesar foto kiriman Ferdiana. Terlihat jelas Raka sedang tertawa bersama perempuan cantik, seumuran mungkin, mereka saling merangkul.  Ia tak pernah sedekat ini dengan Raka, kecuali beberapa waktu yang memang si Raka nyosor duluan padanya selebihnya tak ada rasa diantara mereka. Raka jarang tertawa lepas seperti ini bersamanya, apa mungkin Raka membohongi dirinya? Apa Raka masih marah dengan dia mencium Abimanyu?  Ia segera mengetik pesan untuk suaminya tersebut, entah mengapa perasaannya tidak enak. Ada bayang-bayang Raka akan mendua bersama gadis itu, apa mungkin Raka melakukan apa yang ia ucapkan tadi. Laki-laki itu akan mendua dan dirinya tak akan pernah marah ataupun kecewa. Sayangnya, hati tak pernah bisa bohong sampai kapanpun. Me Mas, lagi dimana?     Tidak ada jawaban, bahkan nomornya mulai tidak aktif. Ia mencoba tetap berpikir positif, siapa tahu aja itu teman lamanya. Nostalgia mereka mungkin. Atau memang kemungkinan terbesar adalah Raka jalan bersama pacarnya. MAS RAKA Aku lagi di rumah, kamu mau pulang sekarang atau gimana?  Semua pikiran positifnya hilang seketika, ia tak menyangka Raka membohongi dirinya. Air matanya lolos, dadanya terasa sesak. Ternyata bener dia sama pacarnya, jadi tadi ucapannya itu apa? Me Aku udah di rumah, Mas Ia masuk ke dalam kamarnya, mengunci kamar itu dari dalam. Menangisi dirinya sendiri yang begitu bodoh, mudah percaya dengan seorang laki - laki. Dia bukan orang yang berpengalaman dalam hal cinta, ia mudah terbodohi karenanya. Ucapannya satu jam yang lalu adalah tipu daya semata, apa semua laki-laki itu sama? Mengapa semua selalu menyebabkan air mata? "Lebih baik kena tinju, dari pada sakit hati. Dasar Raka, b*****t! Kadal buntung! Tebar janji!" lirihnya dengan mengusap air mata.  Ia tersenyum miris, "Percuma gue di luar sana kejam, kalau masalah cinta gue masih nangis. Dan percuman juga, nangisin orang yang nggak pantas gue tangisin. Mending gue tidur, ancen omongane lunyu koyo welut." ucapnya dengan mendekati ranjangnya.  (Ternyata ucapannya licin seperti belut, tidak bisa di pegang) Ia melempar sepatunya di sudut ruangan, lalu melempar tubuhnya di atas ranjang yang setiap hari ia tempati bersama suaminya. Segera ia menutup matanya.  Di sudut taman, sepasang laki - laki dan perempuan itu sedang menghabiskan malam bersama. "Aku seneng banget, Ka. Kamu mau nemenin aku di sini,"  Laki - laki itu membisu, pikirannya melayang jauh kepada orang yang baru saja membalas pesannya. Dia Raka, terpaksa menipu istrinya. Tak tahu lagi bagaimana lagi harus menjelaskan, pasti gadis itu kecewa dengannya, sangat! Padahal baru saja hubungannya membaik, namun dirinya lah yang ternyata mengingkari.  Ajining diri gumantung ono ing lathi. Ucapan tersebut terngiang-ngiang di kepalanya, bahkan kelebatan wajah Genta yang menangis pun ikut mewarnai. Hati dan pikirannya memang selalu satu tujuan. Perempuan itu berhasil menarik perhatiannya dan menguasai selruh pikiran. "Kaka?" Perempuan di sampingnya itu adalah teman lamanya, atau lebih tepat mantan pengisi hatinya. Kemarin perempuan ini mendatangi kantornya. Ardenia, namanya.  "Ar, kita pulang sekarang!" tegas Raka dengan bangkit dari duduknya. "Kaka, kok cepet banget sih. Baru jam sembilan lebih," keluh perempuan tersebut.  "Aku mau pulang,"  "Dulu kamu jam sebelas masih di sini sama aku, kenapa baru jam segini udah mau pulang? Kamu nggak mau nemenin aku, Ka?" tanya-nya.  "Sekarang dan dulu berbeda! Sekarang aku udah punya keluarga sendiri, apa kata orang jika aku jalan sama perempuan lain?" tegas Raka kembali.  Perempuan itu cemberut, "Tapi kan, kita teman. Apa nggak boleh ...,"  "Teman pun ada batasannya, dan mulai saat ini menjauh dari hidupku! Aku punya istri di rumah, dia pasti nungguin aku. Pasti dia cemas sama aku," ucap Raka dengan menjauhi Ardenia yang menatap punggung itu, sendu. "Kaka ...," panggilnya lirih, "kamu berbeda sekarang,"  ###
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN