"Ah, Ren pelan sedikit. Itu sakit ..." rintih Arisa di setiap sentuhan Ren, sembari menggigit ujung bibirnya.
"Arisa, jangan gigit bibirmu. Itu bahaya!"
Ren dengan sigap langsung meraih ujung bibir Arisa yang tadi nyaris ia gigit dengan keras. "Sudah, serahkan saja padaku semuanya. Kamu pejamkan saja matamu Arisa."
Tampa membantah, Arisa menurut dengan apa yang Ren katakan. Setelah melihat mata Arisa yang terpejam, Ren pun kembali memulai aksinya. Ia menyentuh lengan Arisa, menggulung lengan baju Arisa secara perlahan dan menyentuh lembut kulit yang lengan Arisa yang terluka.
Sebuah kecelakaan terjadi, keadaan kafe beberapa saat lalu, kafe yang begitu ramai membuat semua orang sibuk berlalu lalang dan tanpa sengaja Arisa tersenggol seseorang saat sedang membawa piring kotor. Arisa yang kehilangan keseimbangannya itu terjatuh ke lantai dan lengan yang ia pakai untuk bertumpu itu mengenai pecahan piring yang ada di lantai.
Darah membasahi lantai tersebut cukup banyak, aroma anyir itu tak tercium cukup menyengat mengingat jumlah darah yang terus mengalir.
"Apa kamu baik-baik saja?" saat itu lah Ren yang menyadari kondisi genting itu langsung bertindak.
Ren langsung menggenggam tangan Arisa meski ia merintih kesakitan dan meminta Ren untuk melepaskannya.
"Ah... Ren lepaskan.. Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, biar aku bereskan semuanya!"
Arisa masih terlihat panik dan linglung, untuk sesaat ia tampak tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Huuuft ..."
"Jangan banyak bergerak, ini bahaya Arisa."
Ren pun menghela napasnya dengan panjang dan sigap melihat lengan Arisa yang penuh darah. Ada beberapa pecahan kaca yang menancap di lengannya. Tak heran bagi Ren jika itu terjadi, mengingat jumlah darah yang mengalir juga cukup banyak.
Itulah mengapa kini Arisa terus merintih di setiap sentuhan yang Ren lakukan. Sebab, kini hanya Ren lah yang berani maju untuk menolong Arisa. Untunglah setelah Ren sigap meraih lengan Arisa dan mencoba untuk mengobatinya, para rekan lain turut membantu untuk membersihkan darah dan pecahan kaca di lantai restoran.
Seketika juga, para tamu restoran yang tadi ikut ramai melihat apa yang terjadi, sudah mulai kembali pada tempat duduk mereka masing-masing. Meski tak bisa di pungkiri jika ada suara-suara samar yang kembali menceritakan kejadian tak terduga yang tadi terjadi.
Sementara itu, di ruang istirahat kafe tersebut, Arisa masih menahan sakit di tangannya. Sedangkan Ren terus berusaha untuk mencabut pecahan-pecahan kaca kecil yang masih menempel di lengan kurus tersebut.
"Hmmm.. lukanya cukup lebar, banyak pecahan kaca yang halus juga."
"Ini harus di bersihkan.. Tahahan sedikit lagi ya.."
Perlahan dan hati-hati Ren mengobati luka yang ada di tangan Arisa. Ren sangat telaten dan luka itu pun berhasil di obati dengan waktu yang cukup cepat.
"Sudah selesai, sekarang buka matamu!"
Sebelumnya Ren meminta Arisa menutup matanya, selain untuk menahan sakit dengan menutup mata Arisa juga tidak akan melihat prosesn pengobatan yang Ren lakukan di tangannya.
Arisa membuka perlahan kelopak matanya, melihat lengannya yang sudah terbungkus perban, pandangan Arisa pun beralih pada pakaian Ren yang berlumuran darah saat membantunya sedari tadi.
"Ah.. pakaianmu jadi kotor terkena darahku!"
Arisa tampak menyesal dengan apa yang ia lihat, pakaian Ren yang penuh noda darah dan segala kebaikan Ren yang tidak bisa ia balas.
"Ma-maaf.. aku lagi-lagi hanya bisa merepotkan kamu!"
Ren hanya tersenyum kecil. Mungkin bagi Arisa itu adalah sesuatu hal yang tidak sengaja terjadi. Sosok Ren yang merupakan anak baru di tempat kerjanya itu memang kerap menjadi sasaran empuk untuk di suruh-suruh dan sebaliknya Arisa yang kerap dimanjakan oleh para rekan kerjanya itu mendapat perlakuan istimewa dan Ren lah yang kerap membantu Arisa selama berkerja, dengan kata lain biasanya Ren lah yang menggantikan pekerjaan Arisa selama di kafe.
Memang tidak adil jika berpikir seperti itu, hanya saja ada kebenaran lain yang selama ini Ren sembunyikan dengan sangat rapat. Ren justru memang sengaja melakukan hal tersebut. Ia melakukan berbagai cara untuk bisa dekat dengan Arisa. Bahkan dia bekerja di kafe ini saja dengan tujuan yang sama, yaitu mendekati Arisa.
"Benar, terus merasa tidak enak padaku. Terus saja rasakan jika kamu berhutang terima kasih padaku. Terus rasakan perasaan itu di dalam hatimu. Sampai aku bisa benar-benar mendekati kamu dan mengetahui segala hal yang sedang kamu sembunyikan."
Dalam hati Ren benar-benar betekad kuat. Apa lagi sahabatnya Jimmy juga tampaknya terlibat dengan Arisa. Meski Ren tahu akan berat untuk membongkar segalanya, tapi Ren tidak akan menyerah. Ia akan melakukan apapun demi sang sahabat. Hutang budinya pada Jimmy lebih tidak bisa di anggap remeh.
Sebab, saat dunia begitu kejam pada Ren dahulu, hanya Jimmy yang mengulurkan tangannya pada Ren. Cukup dengan tekad itu saja, Ren bisa bertahan dan berjuang untuk menemukan kembali sahabat baiknya.
"Tunggu aku Jimmy.. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu. Meski ternyata kamu tidak sengaja terlibat dalam kasus pembunuhan."
Ada fisarat buruk yang terus terulang dalam benak Ren. Berita yang menyatakan banyaknya orang hilang, beberapa korban yang Ren saksikan sendiri pernah bersama dengan Arisa dan pembahasan mayat yang sempat ia dengar saat mengendap-endap. Semua menjadi satu dalam tekad dan niat hati Ren yang benar-benar teguh.
"Aku akan mendekati Arisa, peralahan dan terus masuk ke dalam hatinya."
Satu-satunya yang menjadi tekad Ren kini adalah menaklukkan hati Arisa. Masih ada kemungkinan jika Arisa mengenali sosok Ren. Jika tidak dengan meraih hati Arisa, rasanya pasti mustahil bagi Ren untuk bisa menggali lebih banyak informasi tentang Arisa. Ren pun sangat yakin jika Arisa bisa saja menyembunyikan segalanya dan menyimpan rapat jati dirinya.
Tidak ada yang tahu jika Arisa adalah seorang wanita panggilan, penghibur para pria berhidung belang yang menyukai sentuhan wanita. Sosok yang berbeda dari Arisa polos nan lugu yang ini ada di hadapan Ren.
Arisa tampak kebingungan. Lengannya yang sakit itu membuatnya kesulitan, semua orang juga turut mengkhawatirkan dirinya. Mereka cemas jika Arisa harus naik kendaraan umum saat pulang ke rumahya.
"Pulangnya biar aku yang anatarkan saja. Aku bawa sepeda motor. Aku akan memboncengmu Arisa."
Hal itu justru menjadi kesempatan emas bagi Ren untuk lebih dekat dengan Arisa. Ia memiliki kesempatan untuk bisa mengantar Arisa pulang dengan sepeda motor kesayangannya itu.
Untung saja para rekan kerja juga mendukung aksi Ren tersebut. Rasa sayang mereka pada Arisa, benar-benar membantu Ren untuk bisa lebih dekat dengan Arisa.
"Benar, biar Ren antarkan saja!"
"Kamu akan kesulitan jika pulang seperti ini, di bus atau kereta api akan sangat ramai. Nanti kamu kesulitan jika berdesak-desakan!"
"Sudah kalian pulang bersama saja!"
Perhatian penuh yang dicurahkan pada Arisa itu, mempermudah segala rencana Ren. Arisa pun kini sudah duduk dalam boncengan Ren.
"Hmmm.. aku akan menjalankan sepeda motornya dengan pelan, tapi tidak bisa memungkiri jika akan terjadi hal bahaya. Resiko itu ada, jadi aku harap kamu mau berpegangan dengan benar padaku!"
Kaku dan sedikit enggan, Ren melingkarkan tangan Arisa yang tidak sakit itu ke pinggangnya. Melingkar hingga ke perut Ren yang kekar, membiarkan tangan kurus yang lembut itu mendekap tubuhnya dengan sedikit lebih erat.
Hingga sampailah mereka di sebuah rumah super mewah yang membuat Ren sendiri tercengang.
"Kamu tinggal di sini?"
Anggukan kecil dari Arisa memperjelas hal tersebut. Ren semakin penasaran dengan sosok wanita itu. Jika wanita ini berasal dari keluarga yang super kaya, bagaimana bisa ia malah bekerja di sebuah kafe kecil seperti saat ini.
"Hmmm.. tapi bukankah dia saja menutupi fakta jika dia adalah wanita penghibur?"
Pertanyaan yang mengganjal itu aku jawab sendiri di dalam hatiku. Meski aku sangat penasaran, tapi aku kembali teringat akan segalanya. "Masih banyak misteri yang disembunyikan oleh wanita ini!"
Kesan yang semakin hari semakin membuat aku ingin tahu segalanya tentang wanita bernama Arisa ini.
Ren manatap ke arah Arisa yang tersenyum dengan polos, wanita palsu yang sejatinya ia ketahui identitasnya. Seorang wanita penghibur yang mungkin saja terlibat dalam hal-hal yang sangat berbahaya. Sosok yang jauh bertolak belakang dari apa yang semua orang kenal tentangnya.
"Besok ketika berangkat kerja, apa mau aku jemput?"
Sambil menawarkan kebaikan hatinya, Ren pun tersenyum lebar dengan penuh harap. Lalu, sesuai dengan dugaan Ren. Arisa setuju untuk berangkat kerja bersama. Berkat beberapa alasan yang aku gunakan untuk merayu dirinya.
"Ba-baik lah jika itu tidak memberatkan kamu Ren."
Sejak saat itu, Ren dan Arisa kerap pulang dan pergi kerja bersama. Banyak pula para karyawan kafe yang menyadari kedekatkan mereka dan tampak seperti mendukung hubungan tersebut.
Hingga suatu hari, saat Ren mengantarkan Arisa pulang kembali ke rumahnya. Arisa tiba-tiba membisikkan sesuatu yang sangat membuat aku begitu terkejut.
"Mau sampai kapan kamu pura-pura tidak mengenalku?" bisik Arisa tepat di telinga Ren saat itu.
Mata Ren seketika membulat dan mulutnya menganga. Ia sama sekali tidak menyangka jika Arisa akan begitu berani mengungkap jati diri Ren begitu saja.