Darah mengalir dari dua buah gigi taring Arisa, menetes hingga membasahi leher Arisa. Warna merah darah itu terlihat kontras dengan kulit putih porselin Arisa.
"Apa vampir itu benar-benar ada?" Ren bertanya dengan suaranya yang parau yang hanya di sambut angggukan oleh Arisa.
Ren masih tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Sesuatu yang mungkin hanya ia lihat di televisi atau sebuah n****+. Kisah makhluk penghisap darah yang memburu manusia. Namun, kala itu Arisa yang sudah tertangkap basah tentu tak akan bisa mengelak lagi.
"Aku ketahuan?"
"Bagaimana bisa Ren ada di sini?"
Arisa cukup panik, ia tenggelam dalam pikirannya. Tentu saja Arisa tidak akan pernah bisa mengelak. Ia tak bisa berdalih apapun. Ren sudah melihat sendiri apa yang telah ia lakukan. Sehingga berdalih pun akan percuma saja.
"Apa aku juga melahap Ren saja?"
Sempat terpikir bagi Arisa untuk ikut menghisap darah Ren saja. Biasanya bagi siapa saja yang sudah di gigit oleh vampir dia akan lupa dengan apa yang terjadi sebelumnya. Para korban akan melupakan jika ia baru saja darahnya di hisap oleh para vampir. Mereka tidak akan mengingat apapun, bahkan jika teringat pun mereka hanya akan merasa jika itu semua adalah mimpi belaka.
"Jika aku menghisap darah Ren, dia pasti akan melupakan segalanya."
Niat itu semakin kuat terlintas dalam pikiran Arisa. Namun, hati Arisa berkata lain. Hatinya terus mengingat tentang sikap Ren yang begitu menyenangkan hatinya. Arisa yang rasanya begitu nyaman dengan Ren. Ren yang sangat ingin melindungi dirinya dan memohon agar Arisa berhenti dari pekerjaannya yang sebagai wanita penghibur itu.
Sosok Ren yang membantunya tanpa pamrih, menolong Arisa tanpa mengeluh, senyuman Ren yang selalu rmah dan kasih yang terus telihat dari Ren. Belum lagi, tingkah Ren yang rela melakukan apapun selama Arisa tidak berkerja seperti ini juga membuat luluh Arisa.
"Tidak, aku tak ingin kehilangan pria seperti Ren."
Ren memang pria pertama yang menduduki hati Arisa. Pria yang tidak mencemooh Arisa meski ia bekerja sebagai wanita penghibur. Ren tidak menganggapnya munafik dan palsu saat mengetahui jika Arisa bekerja seperti itu. Padahal tak terhitung jumlahnya orang-orang yang akan memandangnya jijik saat mengetahui apa yang sebenarnya Arisa lakukan.
"Benar, aku tidak boleh membuat Ren lupa dengan apa yang ia saksikan. Saat ini lah, kesempatan bagiku untuk menguji Ren."
Arisa pun mendapatkan sebuah ide yang cemerlang. Ia selama ini merasa jika Ren telah menerima dirinya apa adanya. Namun, Arisa tak bisa membuktikan hal tersebut. Apa lagi hubungan mereka juga bisa di bilang sangat baru. Sehingga Arisa belum bisa dengan fasih menganggap jika Ren mau menerima dirinya tanpa peduli apa yang ia lakukan.
Sehingga Arisa pun memutuskan untuk menguji Ren dengan kebenaran perasaan yang kini Ren miliki.
"Apa benar kamu mencintai aku apa adanya Ren?"
"Bisa kah kamu menerima aku yang bukan manusia?"
"Masih kah kamu bersikap sama setelah menyadari jika aku adalah seorang monster?"
Segala pertanyaan yang terlintas di dalam pikiran Arisa itu terus berkecamuk. Membuat Arisa semakin bersemangat untuk bisa menguji cinta Arisa.
"Tidak akan terlambat untuk menghapus ingatanmu nanti setalah aku melihat reaksi darimu Ren. Sekarang, aku berharap kamu tidak membuat aku kecewa. Aku berharap kamu benar seperti pria yang aku bayangkan!"
Hanya Ren saja di dunia ini yang memperlakukan Arisa sama meski sudah mengetahui kenytaan tersebut dan tak berubah sedikit pun. Ren malah jauh telihat menggemaskan dengan tingkah cemburunya, dengan perhatiannya dan dengan segala ke khawatirannya.
Tanpa ragu Arisa pun mulai memanasi situasi. Ia mengabaikan Ren yang masih terdiam mematung. Menatap hampa Arisa yang sudah berlumuran darah. Hingga Ren kembali berteriak menanyakan bahwa Arisa benar seorang vampir.
"Iya, Ren.. Iya.. aku adalah seorang vampir dan berapa kali pun kamu bertanya jika alasan aku tak bisa berhenti untuk menjadi wanita panggilan tentu karena aku seorang vampir yang haus akan darah manusia."
Ucapan Arisa begitu tegas, membuat Ren terdiam mencoba untuk mengerti situasi saat itu. Tapi, Arisa tentu mengabaikan Ren yang seperti itu. Ia malah kembali menghampiri pria tersebut.
"Ren, aku tanya sekali lagi. Apa kamu masih mau menerima aku yang seorang vampir ini?"
Tak ada jawaban dari Ren, ia hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ren sempat berpikir mungkin Arisa memiliki gangguan dalam berhubungan. Bisa saja selama ini Arisa terlalu terobsesi dengan vampir dan apa yang Arisa lakukan pada pria itu benar-benar sesuatu yang berbahaya. Apa lagi sebelumnya Ren sempat mendengar Arisa dan Jimmy membahas sebuah mayat.
"Apa Arisa melakukan itu hingga merenggut nyawa korbannya?"
Ren kembali mengingat akan daftar orang hilang yag sempat ia lihat di berita. Para pria yang juga ia kenali dan pernah terlihat bersama dengan Arisa.
"Jika ini semua hanya obsesi, tapi kenapa gigi itu terlihat begitu asli!"
Semakin Ren memikirkannya, Ren semakin tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Segala logika Ren hancur, ia tidak bisa mencerna kebenaran yang ia lihat. Semua di luar logika. Saat Ren kembali menyaksikan dua gigi taring Arisa yang menancap kembali pada tubuh pria itu.
Arisa benar-benar mengabaikan Ren ia terlihat lahap mengisap darah dari pria tersebut dan di saat itu pula Ren yakin jika apa yang Arisa katakan tentang vampir itu adalah nyata.
"Tidak, ini tidak mungkin. Vampir itu ada?"
Ren mulai kelabakan dengan hal tersebut, kepalanya terasa sakit dan berdenyut.
Dua gigi taring menancap pada tubuh pria itu, seorang pria yang sudah terkapar dan tak sadarkan diri. Pria itu tampak seperti terhipnotis, tidak melawan dan juga tidak menjerit. Begitu tenang dan hanya membiarkan lehernya tergigit.
"Tidak, tidak..."
Ren semakin histeris, air mata tiba-tiba jatuh di pipinya begitu saja tanpa aba-aba.
"Eh ... Eh ..."
Menggunakan punggung tangannya, Ren menghapus air mata tersebut. Meski air mata itu tak kunjung reda dan terus menetes tanpa sebab. Pasalnya, Ren sebenarnya tidak takut sama sekali menghadapi Arisa bahkan jika Arisa benar-benar seorang vampir. Ia juga tidak merasa ketir meski Arisa akan melahapnya kelak atau malah membunuhnya.
"Aku tidak takut apapun, tapi kenapa air mata ini mengalir?"
Ren bertanya-tanya di dalam hatinya, ia tidak mengerti kenapa hal itu terjadi. Apa lagi di dalam hati Ren juga terasa sebuah perasaan sedih yang luar biasa.
"Kenapa aku sesedih ini?"
Air mata pun sudah mengenang di matanya, pandangan Ren kabur dengan air mata yang menyamarkan pandangannya itu. Lalu, tiba-tiba saja. Bak sebuah kilatan yang cepat sesuatu menyisip dalam ingatan Ren.
Sebuah bayangan menakutkan tiba-tiba muncul. Jeritan yang memenuhi gendang tellinga Ren dan deru napas yang terasa tersekat. Tenggorokan yang terasa kering hingga aroma amis yang menyengat.
"Jangan keluar apapun yang terjadi dan ingat jika kami sangat mencintaimu, Ren!" pelukan dan ciuman itu melayang penuh rasa putus asa pada Ren.
Sosok orang tua yang gemetar menyembunyikan Ren di balik lemari buku.
"Jangan keluar dan jangan bersuara apapun yang terjadi mengerti!" titah terakhir sang ibu yang sudah bersimbah darah.
Lalu, suara-suara bising pun terdengar oleh Ren tapi, pandangan Ren saat itu kabur. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Hanya jeritan yang Ren dengar dan Ren sendiri yang berusaha semaksimal mungkin menelan rasa takut yang menyelimutinya.
Tubuh Ren gemetar, lalu pikirannya itu kembali terpecah saat mendengar suara seruput yang bak orang kehausaan dari Arisa.
"Ah ..." Ren merengkuh sejenak.
Apa yang muncul tiba-tiba di kepalanya itu memang sangat menakutkan. Tapi, kondisi masa lalu dan kondisi saat ini tentu jauh lebih perlu Ren perhatikan di saat ini. Ren harus bisa bertahan apa pun yang harus ia hadapi. Bisa di bilang, Ren akan berjuang untuk bisa hidup sampai titik darah penghabisannya jika memang di perlukan dan untuk urusan masa lalu. Ren memutuskan untuk memikirkannya nanti saja. Di saat keadaan memang sudah baik-baik saja.
"A-aisa!"
Terbata Ren memanggil nama Arisa. Ia melangkahkan kakinya pada sosok Arisa.
"Tidak, hentikan Arisa. Aku mohon, ayo kita bicara!"
Masih dengan air mata yang belum mengering. Ren mencoba menghentikan Arisa.
Arisa menatap ke arah Ren. Hatinya juga tidak tenang, ia menanti reaksi dari Ren selanjutnya. Ia menunggu apakah Ren akan meninggalkannya atau masih saja menerima dirinya.
"Aku lapar Ren. Kamu mau aku berhenti?"
Tegas, Arisa menolak permintaan Ren tadi. Di pandangnya sosok Ren dengan tubuhnya yang gemetar. Keringat yang juga berceran membasahi tubuhnya dan air mata yang sudah memenuhi wajahnya.
"Aku mohon, berhenti dulu. Kemarilah Arisa, peluk aku, raih tanganku!"
Perkataan Ren terdengar putus asa. Suaranya serak dan juga bibirnya bergetar. Mungkin jika saja di sana Ren sendirian ia pasti akan terisak dengan segala sesak yang menyelinap di hatinya.
Tidak tega melihat Ren yang seperti itu. Arisa pun meraih tangan Ren perlahan. Lalu secepat kilat Ren menarik tubuh mungil Arisa ke dalam pelukannya.
Pelukan itu terasa begitu penuh arti dengan tubuh Ren yang tak berhenti bergetar dan desahan napas berat dari Ren. Saat Arisa yang juga tidak menyangka akan reaksi Ren. Ren justru sibuk menenangkan hatinya yang tadi sempat mengingat kejadian di masa lalu.
"Ren ..."
Suara Arisa mulai merendah. Ia mencoba melepas pelukannya dari Ren. Tapi, Ren malah semakin memeluk erat tubuh Arisa.
"Lepaskan aku, aku lapar aku sangat lapar. Aku bisa saja menghisap habis darahmu!"
Arisa mengeluarkan seluruh tenaganya pada Ren. Ia berteriak tak peduli jika saat ini tengah berada dalam pelukan Ren.
"Kalau begitu hisap saja aku. Habisakan saja darahku, puaskan rasa laparmu. Tapi, jangan menyentuh pria lain."
Sejenak Arisa terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan dari Ren. Hingga Ren kembali membuka suaranya yang lagi-lagi mampu meluluhkan hati Arisa.
"Arisa, jika alasan kamu tak bisa berhenti dari pekerjaan itu adalah karena kamu harus menghisap darah manusia. Aku mohon, gunakan aku saja! Aku akan melakukan apa pun untukmu termasuk memberikan darahku!"
Goyah, Arisa tak pernah menyangka akan mendengar hal tersebut dari Ren. Ia memang mengharapkan jika Ren adalah pria yang tepat untuknya. Namun, ia tidak pernah membayangkan jika itu akan benar-benar terwujud. Jika Ren akan menerima dirinya apa adanya seperti ini.
"Ren kamu serius akan melakukan apa pun untukku?" yang langsung di sambut anggukan dari Ren.
"Iya, akan aku lakukan apapun untukmu Arisa!" Ren kembali menegaskan.
Padahal tubuh Ren gemetar, ketakutan jelas terlihat darinya. Tapi, Ren masih bertahan di sisi Arisa. Memeluk Arisa dengan sisa kekuatannya.
Seutas senyum pun terukir begitu saja dari Arisa. Ia cukup puas dengan apa yang Ren tunjukkan.
Sementara itu, Ren kewalahan dengan dirinya sendiri. Ia tak bisa mengendalikan tubuhnya. Pelukan yang ia tawarkan pada Arisa faktanya memang sangat ia butuhkan. Ia tak bisa mengendalikan dirinya, tubuhnya gemetar begitu saja saat memikirkan kejadian yang sekilas melintas di benaknya itu.
"Ah, tubuhku tak berhenti gemetar. Bayangan kejadian yang tadi juga terus terngiang."
Ren menyerah pada masa lalunya, meski ia mengatakan jika saat ini adalah yang terpenting dari pada masa lalu. Fakta jika Ren ketakutan dengan kejadian yang menimpa orang tuanya itu tak bisa ia pungkiri begitu saja.
Membiarkan begitu saja hati dan pikirannya yang kacau. Ren benar-benar membutuhkan pelukan. Pelukan yang sejatinya bukan untuk Arisa melainkan untuk dirinya sendiri. Namun, siapa pula yang menyangka jika Ren saat ini memanfaatkan ketiran masa lalunya untuk bisa kembali meluluhkan hati Arisa.
"Ren, terima kasih kamu menerima aku apa adanya. Kamu tidak mencemoohku dan kamu tidak memandang rendah aku."
Arisa pun menarik tubuhnya ia mengusap kasar bibir yang penuh dengan lumuran darah segar.
"Aku tahu kamu takut, jadi terima kasih karena kamu masih memelukku seperti saat ini!"
"Tapi, aku tak bisa hanya memakan darahmu saja. Kamu bisa kehabisan darah dan aku tak ingin membuat kamu terluka."
"Apa lagi rasanya akan sangat sakit. Aku sungguh tidak ingin menyakiti kamu Ren."
Walau bisa mengihisap darah Ren tanpa membuat Ren melupakan kejadian itu. Tapi rasakanya akan sangat sakit. Artinya, Arisa tidak menggunakan kemampuan dasar seorang vampir. Ia harus menggigit Ren begitu saja dan Ren harus menahan segala rasa sakit yang ditimbulkan.
"Jadi jika begitu apa yang bisa aku lakukan agar kamu tidak meletakkan bibirmu pada leher pria lain?" tanya Ren penuh harapan.
Arisa menggelengkan kepalanya, tampaknya ia tidak menemukan sebuah cara pun untuk mencari solusi lain selain berburu.
Keheningan kembali terjadi dengan diamnya Arisa yang menunjukkan penolakannya.
"Ah, ternyata tetap tidak bisa?" gumam Ren pelan yang sekali lagi menyayat hati Arisa.
"Ka-kalau begitu bagaimana jika kamu saja yang berburu untukku Ren?" tanya Arisa serius.
Ren mencoba mencerna apa arti dari "berburu" terssebut.
"Maksud aku, jika kamu tidak suka aku menghisap darah dari pria lain. Artinya kamu saja yang berburu untukku. Kamu bisa mencari mangsa wanita untukku."
"Ma-maksud kamu? aku jadi pria panggilan begitu?"
Bola mata Ren bergetar seketika. Ia sudah membayangkan dirinya yang terjat dengan para wanita. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya akan menjadi penuah dahaga para wanita demi bisa memberi makan kekasih hatinya tersebut.
"Ini gila!" benak Ren yang sejatinya sudah sangat ingin berteriak lantang.