BAB 9

1621 Kata
Untuk yang baru datang di FF ini jangan lupa klik Love nya ya^^ *** Elena pergi menuju ke taman wisata dimana di sana terdapat sebuah kereta gantung. Elena masuk ke dalam kereta gantung tersebut. Berdiri menatap keluar kaca dengan wajah sendu. Tak lama seorang pria ikut masuk ke dalam. Berdiri berlawanan dengan Elena. Ia berdiri di belakang Elena. Menatap wanita itu tanpa ekspresi. Elena hanya terus memandang keluar jendela. Bahkan terus seperti itu hingga kereta gantung itu bergerak. Lama kelamaan air matanya menetes. Sebuah memoriam akan ingatan masa lalu dan kehidupannya yang saat ini sedang terjadi menciptakan suatu kecamuk di dalam hatinya. Rasanya sesak sekali. Rasa sakit itu sedikit demi sedikit menguar, naik ke atas permukaan. Elena memejamkan mata. Menaruh keningnya di atas tumpukan kedua tangannya. Ia menangis. Terisak dalam balutan rasa sakit dan kekecewaan. Tangisan Elena terdengar begitu pilu. Siapapun yang mendengarnya akan tahu betapa terlukanya wanita yang sedang menangis seperti ini. Pria itu yang semula hanya diam kini tergerak. Merasa tak enak hati melihat seorang wanita menangis di hadapannya. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna biru dari balik jas hitam yang dikenakannya. "nona."panggilnya seraya menyodorkan sebuah sapu tangan ke arah Elena. Elena menjauhkan wajahnya. Melihat sebuah sapu tangan disodorkan padanya. Wajahnya mendongak dan mendapati seorang pria berada di samping kirinya. "Pakai ini untuk menghapus air matamu."Elena kembali melihat ke arah sapu tangan tersebut. Lalu ia mengambil nya dengan ragu. "Terima Kasih.”Elena menghapus air matanya menggunakan sapu tangan itu. "Maafkan aku.”gumam Elena seraya menghapus air matanya. Tubuhnya masih bergetar dan sesegukan akibat tangisannya.  "Untuk apa?."ucap pria itu tak mengerti. "Karena aku menangis di hadapanmu. Kau pasti merasa terganggu." Pria itu mengulum bibirnya menahan tawa. Lalu ia berdehem untuk mengontrol dirinya yang ingin tertawa terbahak. Ia tak pernah mendengar jika seseorang meminta maaf karena dia menangis. Wanita ini sangat aneh. Baru pertama kali Jasen bertemu seseorang seperti ini. "Ekhem. Tidak masalah. Setiap orang berhak menangis jika merasa sedih" "Kenalkan. Namaku Jasen. Siapa namamu jika aku boleh tahu"pria itu menyodorkan tangannya yang di sambut hangat oleh Elena. "Elena. Namaku Elena." "Senang bertemu denganmu Elena." "Kau punya masalah. Kau bisa cerita padaku."Elena nampak ragu. Ia mengalihkan wajahnya ke arah lain. Menatap pemandangan kota dari atas sana nampak begitu Indah membuat suasana hatinya sedikit membaik. "Tidak ada. Aku hanya... Teringat masa lalu" "Payah sekali! Sampai-sampai kehilangan kendali dan menangis"Elena terkekeh pelan. Ia berbohong. Raut wajahnya tidak bisa berbohong. Dan Jasen menyadari hal itu. Kereta gantung tersebut akhirnya berhenti. Elena dan Jasen keluar dari sana. "Kau mau kopi?"tawar Jasen. Elena mengangguk. *** Jasen membelikan Elena kopi, lalu mereka bersantai duduk di anak tangga yang menghadap ke kota. "Melihat pemandangan ini membuat suasana hati membaik"gumam Elena. Ia menyeruput kopi yang berada di genggaman tangannya. "Suasana hatimu sedang buruk?"tanya Jasen ingin tahu. wajahnya menoleh ke arah Elena yang menatap pemandangan kota, wanita itu sudah lebih baik sekrang. "Begitulah" "Oh ya. Aku rasa aku pernah melihatmu sebelumnya. Wajah mu terasa tidak asing untukku"Elena beralih memandang Jasen yang duduk di sebelah kanannya. Jasen terkekeh pelan. Ekspresi Elena nampak bingung, entah kenapa rasanya lucu melihat wanita itu menunjukan ekspresi seperti itu. "Kalau kau memperhatikan dengan baik. Aku selalu menjadi pengunjung Restaurant nomor satumu" "Benarkah, kau tahu siapa aku?"Elena terkejut mendengar nya. "Ya. Aku ingat saat aku memberikan sapu tangan itu dan melihat wajahmu. Ternyata kau"bohong Jasen. Padahal ia mengikuti Elena saat wanita itu keluar dari dalam Restaurant. "Ahh... Begitu" "Kalau kau punya masalah kau bisa cerita padaku. Aku akan menjadi pendengar yang baik. Kau bisa menganggapku sebagai kakakmu."Elena terdiam sesaat, mencerna setiap kata yang Jasen katakan. Seseorang yang ia anggap seperti kakak sudah lama pergi darinya. "Terima kasih.”Elena kembali menyeruput kopinya. Begitu pula dengan Jasen. Keduanya menjadi hangat karena menikmati kopi di cuaca yang cukup dingin ini. Keheningan kembali menyelimuti keduanya hingga Elena bergumam membuka suara. "Apa kau pernah membenci takdir?"gumam Elena. Tanpa melihat ke arah Jasen. Jasen beralih melihat ke arah Elena. "Dulu... Aku tidak pernah berpikir kalau aku akan membenci takdir ku sendiri. Tapi akhir-akhir ini aku berpikir demikian" "Kenapa hidupku harus seperti ini!" "Kenapa orang-orang yang ku cintai harus pergi meninggalkan ku!" "Kenapa hidupku tidak pernah berjalan sesuai apa yang aku harapkan" "Dan kenapa aku di lahirkan untuk menghadapi semua hal menyedihkan ini" "Ku pikir ini tidak adil. Aku juga ingin bahagia. Tapi sepertinya kebahagiaan itu tidak ada untukku" Elena menghela nafas panjang. Rasanya sesak sekaligus lelah menyelimuti perasaannya. Kedua matanya memanas Elena ingin kembali menangis namun dia menahannya, tidak ingin kembali menangis di hadapan Jasen dan menunjukan betapa lemahnya dia. "Aku tidak tahu apa yang harus, aku lakukan saat ini" "Terkadang aku berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri. Mungkin itu lebih baik" "Mati hanya untuk orang pecundang"timpal Jasen cepat. "Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu. Dan menyerah dikalahkan oleh kerasnya dunia. Kau harus membuktikan kalau kau pantas untuk hidup" "Tidak ada orang yang selalu bahagia di dunia ini" "Semua orang memiliki  masalahnya sendiri-sendiri. Tinggal bagaimana masing-masing dari mereka menghadapi setiap masalah tersebut. Aku juga pernah berada di posisimu ketika eommaku meninggal. Itu menghancurkan hidupku. Jadi aku sangat memahami perasaanmu saat ini. Menghadapi kematian seseorang yang begitu kita sayangi bukanlah suatu hal yang mudah" *** Jasen dan Elena berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi oleh pepohonan yang rindang. Tawa kerap kali menghiasi wajah Elena karena Jasen selalu menceritakan sebuah lelucon padanya. "Temanku percaya jika alien itu ada. Dia kerap kali bercerita tentang alien. Sempat ku berpikir jika dia berasal dari spesies yang sama" "Kau jahat"ucap Elena membuat Jasen terkekeh. "Benar. Ku perkenalkan jika kau bertemu dengannya nanti" Kini keduanya sampai di pinggir trotoar. Jasen memanggil sebuah taksi untuk Elena.Sebuah taksi berwarna putih berhenti di dekat mereka. Jasen membukakan pintu nya untuk Elena. "Jadi... Apa kita akan bertemu lagi? "Tanya Elena sedikit berharap membuat Jasen senang mendengarnya. "Kau sangat ingin bertemu denganku lagi ya"goda Jasen membuat Elena tersenyum kecut. "Kau menyenangkan. Ku pikir mengobrol di lain waktu bersamamu lagi akan cukup menyenangkan" "Ingatlah.. Aku pelanggar nomor satu Restaurant mu. Besok coba temukan aku saat istirahat makan siang" Elena terkekeh. Rasanya menggelikan seolah sedang bermain tebak -tebakan saja. "Baiklah.. tapi bagaimana jika aku tidak melihatmu" "Tinggiku 180. Kau masih berpikir mungkin aku tidak terlihat" "Aku akan datang dengan wujud manusia kau pasti bisa melihatku besok" Elena tertawa mendengarnya. Membuat Jasen senang karena melihat tawa itu di sana. "Baiklah-baiklah aku akan membuka mataku lebar-lebar besok. Dan melihat dimana Jasen berada. Sampai jumpa besok" Elena masuk ke dalam taksi dan Jasen pun langsung menutup pintunya. "Paman tolong bawa bibi ini sampai ke tujuannya dengan selamat."seru Jasen yang dapat tatapan sinis dari Elena. "Siapa yang kau panggil bibi."protes Elena membuat Jasen terkekeh. "Sampai jumpa lagi Elena."sapa Jasen menunjukkan telapak tangannya ke arah Elena. Elena tersenyum sendu. Rasanya tidak rela kembali pulang dan bertemu dengan LeAh. Elena melambaikan tangannya pada Jasen saat mobil taksi itu melaju pergi. Jasen terus memperhatikan mobil taksi yang membawa Elena pergi. Bibirnya tersenyum nampak begitu senang. "Tidak pernah dalam hidupku melihat senyuman seseorang sampai sebahagia ini"gumam Jasen. *** Elena menghentikan taksi cukup jauh dari rumahnya. Ia masih ragu untuk kembali ke rumah itu atau tidak. Jaraknya lumayan. Elena memilih untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Itu rumahnya bersama suaminya tapi anehnya langkahnya terasa begitu berat untuk masuk ke dalam sana. Elena menghentikan langkahnya. Padahal tinggal sepuluh langkah lagi ia sampai di sana. "Ragu untuk masuk ke dalam rumahmu sendiri nona Min"reflek tubuh Elena bergerak mundur hingga menyebabkan bahunya membentur sesuatu. "Kaget aku.” Elena membalikan tubuhnya. Tubuh Elena menegang seketika saat menemukan sosok suaminya berdiri tepat di belakangnya.William berpakaian santai. Baju berlengan panjang berwarna hitam dan celana jins berwarna biru dongker. "Se... Sedang apa kau di luar?."tanya Elena gugup saking terkejutnya. "Menunggumu."balas William membuat Elena terhenyak.Apa ini sudah terlalu malam, spontan Elena melirik jam tangan yang berada di lingkar tangannya. Memang sudah cukup larut, apa William marah. diam-diam ia bertanya-tanya tentang itu. Elena beralih menatap William dan mencoba membaca ekspresinya. "Kau tidak perlu menungguku"lirih Elena mengalihkan pandangannya dari William. "Tentu aku harus menunggumu. Aku ingin menghukummu sebenarnya. Karena kau melewati waktu janjimu padaku. Lewat 15 menit dari waktu yang kau janjikan. Tapi ku pikir aku yang seharusnya minta maaf karena kejadian kemarin" "Maafkan aku."lirih William tulus. Suara itu terdengar menyakitkan membuat hati Elena bergetar perih. Elena tidak bisa mempertahankan egonya. Melihat suaminya seperti ini sama saja menyakiti dirinya sendiri. Elena beralih memeluk William. William membalas pelukan Elena begitu erat. Mencium dalam aroma tubuh istrinya yang begitu ia rindukan. "Jangan lakukan hal ini padaku. Aku hampir saja menyewa detektif untuk mencari dirimu jika 30 menit lagi kau tidak juga kembali pulang" Elena terkekeh pelan. Ia makin mengeratkan pelukannya pada William. "Jangan berlebihan."William melepaskan pelukannya dan menatap istrinya dengan wajah berbinar. "Kita masuk. Kau terlihat kedinginan" Elena menggeleng kan kepalanya. "Aku memakai coat. Kau yang kedinginan oppa" "Aku rasa aku sudah tidak kedinginan lagi karena kau ada di sini" William menarik tangan Elena untuk digenggamnya. Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah bersama-sama. Saat sampai di ruang tamu LeAh di sana. Menatap gengaman tangannya dan Elena menyadari hal itu. "Ku pikir kau tidak akan kembali"ucap LeAh sarkatis. "LeAh"nada suara William mengancam. Elena mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ini rumah nya. Tentu saja Elena akan pulang ke rumahnya" "Aku hanya mengira. Kau tidak perlu marah"ucap LeAh melihat raut wajah William yang tak bersahabat. "Aku akan marah jika ucapanmu tidak kau jaga. Berhenti berpikir negatif tentang istriku"ucap William memperingatkan. Diam-diam Elena tersenyum. Melihat betapa William sangat membelanya di hadapan wanita itu membuatnya begitu senang bukan main. "Ya... Terserah"LeAh menyerah. Dia memang sulit menyentuh Elena jika William ada di sampingnya. William menarik Elena menuju kamar mereka. Saat melewati LeAh tatapan tajam penuh kebencian itu terpasang cukup jelas di wajahnya. Elena tidak peduli. Ia tidak boleh kalah pada LeAh. Wanita itu bagaikan masalah yang harus ia lewati. Ucapan Jasen terngiang di dalam benaknya. Ya. Elena harus menunjukan pada LeAh kalau ia adalah orang yang tegar. Dan menunjukan kepemilikan atas William seutuhnya. Hanya dia yang memiliki William. Bukan LeAh atau siapapun di luar sana.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN