BAB 1

1015 Kata
Elena duduk di Taman belakang rumahnya. Sebuah kursi panjang dengan bantal empuk yang menjadi tempatnya duduk saat ini. Ia sedang membaca sebuah n****+ seraya menikmati buah-buahan yang di potong-potong kecil di sebuah mangkuk kaca yang di taruh di sebelahnya. Elena nampak senang. Senyuman manis tak pernah hilang dari bibirnya. Sesekali ia mengelus sayang perut buncitnya yang memasuki usia 8 bulan.Elena sangat menanti kehamilan pertamanya ini. William dan Elena sangat berantusias untuk menyambut kelahiran anak pertama mereka. Ia dan William memang bertemu dengan cara yang tidak baik, namun kini Elena sangat mencintai William. Buah hati mereka ini sangat di nantikannya. Elena tersenyum ketika membaca buku n****+ romansa yang kini berada digenggamannya. Selama masa kehamilannya Elena sangat suka membacanya. Ia memang pecinta buku, khususnya n****+ remaja seperti ini. Tiba-tiba ada seekor kucing. Kucing putih berbuku lebat yang sangat manis. Ia terus menatap kucing tersebut hingga sebuah rasa menginginkan untuk menyentuhnya timbul dan membuatnya bangkit berdiri untuk menghampirinya. "Pushh... "Panggilnya pada kucing tersebut. Sepertinya kucing liar entah muncul dari mana. Hyumi sangat menyukai kucing. Karena kucing membuatnya mengingat Daniel. Ia berdiri melangkah pergi untuk menghampirinya. "Push.. "Panggilnya lagi. Elena terus berjalan menghampiri kucing tersebut. Ada sebuah tangga kecil di Taman tersebut. Tiba-tiba... BRUK// Ia terpeleset saking licinnya dan terjatuh.Tubuh Hyumi berbaring di atas rerumputan. Kepalanya bocor karena terbentur pinggiran tangga. Ia terdiam.. Merasakan kepalanya berdenyut-denyut begitu kencang. Mata Hyumi berubah sayu. Terasa begitu berat untuk terjaga dengan mata terbuka. Rasa sakit di kepalanya terasa begitu hebat. Hingga munculnya bau anyir darah yang berasal dari kepalanya. "NYONYAAA."teriak salah seorang pelayan nampak terkejut melihat tubuh Elena yang terkapar di atas rerumputan.Pelayan itu sangat panik ia berlari memanggil pelayan lainnya untuk mencari pertolongan. Demi detik detik Elena merasa langit yang ia pandang saat ini menjadi gelap. Suara teriakan panik yang berada di sekelilingnya tak dapat ia dengar.Sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya. Elena merasa lemas bukan main. Lambat laun matanya mulai tertutup. Dan terpejam. "Hah! Eomma."desah Elena pada akhirnya semuanya menjadi gelap. *** Sebuah brankar masuk melewati lorong-lorong Rumah Sakit. William menggengam tangan kanan Elena dengan erat. Ia ikut berlari di samping brankar istrinya yang akan segera di masukan ke ruang operasi. Elena sudah tidak sadarkan diri, beberapa kali William memanggil namanya tetapi wanita itu tak kunjung meresponnya.  "Tunggu di situ tuan. Kami yang akan mengurusnya dari sini."ucap sang perawat menghalangi William yang ingin ikut masuk ke dalam ruang operasi. Pintu itu tertutup. William nampak kacau. Ia mengusap rambutnya ke belakang dengan raut wajah frustasi. Ini sangat menakutkan baginya, William benar-benar takut sesuatu hal buruk terjadi menimpa istri dan calon anaknya. Hal ini membuatnya gelisah, sejak tadi William tak henti-hentinya mondar-mandir tidak jelas di depan ruang operasi Elena. Berkali-kali ia menghela nafasnya gusar. Selang beberapa menit seorang dokter keluar dari dalam ruang operasi istrinya tersebut membuat William dan sekertaris William langsung datang menghampirinya. Ketua pelayan William juga di sana. Wnaita paruh baya itu terlihat begitu gelisah, tak kalah dengan William. "Dimana suaminya?."tanya Dokter tersebut nampak panik. "Saya suaminya."William berdiri di hadapan sang dokter dengan wajah panik. Ia takut sesuatu yang buruk menimpa istrinya.  "Bagaimana dengan istri saya dokter? "Tanya William suaranya terdengar begitu gelisah. Ia benar-benar panik raut wajahnya nampak begitu khawatir. "Anda harus memilih salah satu dari mereka. Dalam keadaan seperti ini menyelamatkan keduanya sangat sulit. Anda harus memilih di antara keduanya. Istri anda atau bayi yang berada di kandungannya." Wanita paruh baya itu menangkup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia terkejut sangat-sangat terkejut dengan berita ini. Bagaimana bisa mereka hanya bisa memilih satu nyawa diantara 2 nyawa. Wanita itu berubah panik dan ketakutan, wajahnya mulai di penuhi air mata. Ia menoleh pada William penasaran untuk mendengar siapa yang akan ia pilih untuk di selamatkan nyawanya. Sekertaris William juga menoleh padanya penasaran. Walaupun sepertinya ia sudah tahu siapa yang akan William pilih. Namun tetap saja ia ingin mendengar langsung pilihan tersebut dari mulut William. "Elena. Selamatkan Elena." "Jangan biarkan sesuatu yang buruk menimpanya."Wanita paruh baya itu menoleh pada William. Ia merasa hancur sama dengan William. Ia merasa begitu sedih mendengar kabar ini. William dan Elena sangat menantikan kelahiran anak pertama. Ia tak tahu bagaimana reaksi Elena nanti jika tahu bayi mereka tidak bisa di selamatkan. "Baiklah. Kami akan segera melakukan operasi. Semoga operasinya berjalan dengan lancar."dokter tersebut kembali masuk ke dalam ruangan operasi lagi. William mendudukan dirinya di kursi yang berada di  depan ruang operasi. William nampak kalut, ia menghela nafasnya gelisah. Ia memikirkan Elena hanya Elena. *** Elena membuka matanya. Ia mendapati sebuah hamparan langit biru terbentang luas di hadapan wajahnya. Udara terasa begitu sejuk. Elena menghirup dalam oksigen yang begitu menyejukan rasanya begitu segar. Udara di sini begitu bersih, sudah lama Elena tak merasa udara sebersih ini. Tubuhnya terbangun menjadi terduduk. Pandangannya mengedar ke sekeliling dan menemukan dirinya berada si tengah-tengah Taman yang terdapat banyak sekali bunga dandelion. Elena tersenyum begitu lebar seperti anak kecil yang menemukan lapangan taman bermain. Ia mengambil setangkai bunga dandelion yang berada di dekatnya lalu meniupnya hingga membuat bunga putih itu terbang terbawa deru angin yang tertiup. Elena nampak bahagia. Ia selalu menyukai sebuah taman dimana banyak bunga di dalamnya. Ia bangkit berdiri lalu mengedarkan pandangannya hingga kedua matanya menangkap sosok pria yang kini sedang berdiri membelakanginya di pinggir danau. Pria itu memakai baju serba putih. Celana bahan dan kemeja yang yang dilapis jas berwarna serba putih. Elena tersentak kaget. Ia sampai harus menyipitkan kedua matanya saat melihat pria tersebut. Sinar Mentari nampak menyilaukan membuat pandangan matanya cukup sulit untuk fokus menatapnya.  Sesosok pria yang nampak tak asing baginya. Elena terhenyak merasa mengenalinya. Ia berjalan menghampiri pria tersebut. Langkah pelannya bergerak makin cepat dan cepat hingga kini ia berdiri dengan jarak 5 langkah dari pria itu. Sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh bahunya. Pria itu berbalik mengarah padanya. Dan seketika kedua mata Elena melebar saking terkejutnya. Indra penglihatan dan perasaannya dalam menebak dan merasakan kehadiran seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. Ia tak menyangkan bisa bertemu kembali dengannya di sini. Elena begitu merindukannya. Perpisahan terkahir bukanlah perpisahan yang menyenangkan untuk di kenang. Elena merasa wajahnya memanas, matanya mulai berkaca-kaca. Elena menitikan air matanya bahagia. Ia bertemu dengannya lagi. Apakah ini mimpi. Pria itu tersenyum, nampak begitu manis dengan kedua matanya yang membentuk bulan sabit. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . "Ethan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN