Begitu pula dengan kedua orang tua Emilio. Keduanya mendengus lega seketika.
"Emb... tunggu! papa dan mama kesini niat awalnya apa sih sebenarnya? mau tahu apa? tanya saja... kalau Emil bisa jawab. Pasti akan Emil jawab kok mah... pah..." ucap lelaki itu dengan santainya.
"Kami hanya tidak habis pikir Emil! kenapa kamu tidak mau berkenalan dengan Alena? dan... kenapa kamu tidak mau menemui gadis itu?" tanya papa Emilio pada anak lelakinya.
"Oh... jadi mama dan papa sengaja ingin tahu akan hal itu ya? gampang jawabannya. Karena Emil belum siap aja... Emil masih merasa minder saat ketemu dengannya." Ucap Emilio pada kedua orang tuanya.
"Emb... kenapa kamu bicara begitu nak? kamu tampan... sempurna... tanpa cacat dan cela. Kenapa kamu bisa minder saat ketemu dia nak?" ucap tanya papanya lagi.
"Gampang pah jawabannya. Karena Emil merasa sudah berhutang banyak padanya dan keluarganya. Mungkin malah hutang nyawa. Jadi... Emil punya cara sendiri untuk pendekatan dengannya. Jadi... saat Emil belum bisa memperlihatkan wajah Emil padanya... Emil mohon sama papa dan mama, jangan paksa Emil. Jika kelian tidak ingin putra kalian ini terluka." Ucap Emilio pada kedua orang tuanya.
"Tapi nak... kenapa? kamu tidak membunuh ibu nya... kamu juga tidak berhutang nyawa dengan nya... kenapa kamu malah bersikap seolah kamu yang mengambil nyawa ibunya dan ibunya meninggal karena mengorbankan nyawanya untuk kamu?" ucap mama Emilio saat itu pada sang putra.
"Mah... kita tidak tahu kan nasib seseorang. Siapa saat itu yang sedang sekarat? putra mama dan papa ini kan? Emil juga tahu jika saat itu mama Alena masih mempunyai waktu untuk hidup beberapa hari lagi. Karena Dokter bilang sendiri pada Emil dan memperlihatkan semua daftar pengobatan ibu Alena. Jika... mama tahu jika kan? papa juga! jika saat itu ada seorang yang dermawan atau Dokter bedah yang mampu menyembuhkan ibu Alena... pasti ibu Alena pun akan hidup lebih lama lagi. Tapi apa? ibu Alena malah menyerahkan nyawanya sendiri untuk menyambung nyawaku yang sudah di ujung tenggorokan. Dia tidak meminta syarat yang memberatkan untuk membayar nyawanya. Ia hanya ingin melihat anak gadisnya bahagia dan ada yang menjaganya. Dan bagi aku... itu mudah mama... papah... aku punya segalanya... soal materi aku bisa membuat Alena bahagia. Tapi soal hati... aku belum bisa menarik hatinya. Oleh karena itu... aku mempunyai rencana. Dan untuk saat ini... Emil hanya ingin mama dan papa mengikutinya saja." Ucap lelaki itu dengan tatapan mata berkaca-kaca menatap kedua orang tuanya disana.
"Tapi nak... kamu juga mengorbankan masa depan kamu untuk pasti menjaga dan melindungi Alena bukan?" ucap mama yang menyela. Namun Emil hanya membalasnya dengan senyumannya saja.
"Mama... apa bedanya masa depan? apa yang aku cari? uang? aku bisa mendapatkannya dengan mudah. Wanita? aku hanya ingin satu saja! seperti mama dan papa! dan bagi aku... Alena cukup mewakili semua kriteria aku. Meski ia masih belum dewasa. Aku akan menantikannya dan berada di sisinya." Ucap Emil pada kedua orang tuanya.
"Atau... jangan-jangan mama dan papa ya yang tidak setuju dengan pernikahan aku dan Alena?" tanya balik Emilio pada mama dan papanya. Pertanyaan lelaki itu mampu mengejutkan keduanya.
"Mana ada! kami sangat suka Alena! dia gadis polos dan juga penurut. Kadang juga imut." Ucap mama Emilio yang mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat gadis itu meminta peluk padanya.
"Akh... udah yuk pah... mau ngomong apa aja sama Emil ma kita nggak bakalan bisa menang!" ucap mama Emil yang lalu mengajak suaminya beranjak berdiri dari tempatnya dan menggandengnya menuju ke pintu kamar.
"Mah... pah... ingat! jangan bikin macam-macam ya... biar Emil yang atur semuanya... agar apa yang Emil rencanakan berjalan sesuai rencana." Ucap Emilio yang mengingatkan pada kedua orang tuanya.
"Nggak janji ya nak... soalnya kami juga sudah ngebet pengen punya cucu! biar ada yang nandingin cerewetnya kamu kalau cucu kami perempuan nanti. Tapi kalau laki-laki... pasti bisa menang kalau debat dengan kamu." Ucap canda mama yang membuat Emil tersenyum geli. Lalu lelaki itu melihat kedua orang tuanya keluar dari dalam kamar. Membuat lelaki itu menuju kearah pintu yang sama dan menutupnya kembali.
"Astaga mama... papa... cucu? itu masih lama..." ucap Emilio disana dengan kedua pipi yang tiba-tiba merona merah.
Di ambang anak tangga yang mama dan papa Emilio pijak, sesaat suami istri iru menghentikan langkah kakinya.
"Memangnya beneran mah apa yang kamu ucapkan tadi? kamu sudah pengen cucu cewek dan cowok?" tanya papa Emilio tiba-tiba disana.
"Pah... memangnya mama bisa gitu mempercepat prosesnya? Emil aja punya planning nya sendiri... mana bisa mama se enaknya aja tiba-tiba merusaknya. Meski jujur... mama sangat ingin..." ucap mama Emil pada suaminya.
"Emb... kita rusuhin aja planning Emil dan Alena saat Alena sudah lulus SMA, kan meski kuliah dan sudah menikah pun kan tetap boleh mah... hamil juga boleh kok kuliah. Gimana? apa usulan papa ini bagus mah?" tanya suami mama Emil pada sang istri.
"Sangat amat bagus papa...baiklah..
kita lakukan saja sesuai rencana pah... pasti bisa." Ucap mama Emilio yang sudah memiliki niat demikian sebelum suaminya mempunyai rencana demikian.
Hingga sore itu. Terlihat dua orang yang dulu menjemput Alena paksa. Saat itu tengah menunggu Alena tepat berada di sebrang jalan. Di depan sebrang gerbang sekolah.
Alena yang saat itu tengah berjalan dengan Nayla dan juga Abiyan untuk menuju ke tempat parkir pun segera menghentikan langkah kakinya disana. Abiyan dan juga Nayla yang melihat sahabatnya itu seketika berhenti. Ikut pula menghentikan langkah kakinya.
"Ada apa Le?" tanya Abiyan dan Nayla seketika. Dan tatapan keduanya langsung turut menatap kearah depan di sebrang jalan.
"Kamu ditagih rentenir Le?" tanya Abiyan yang penasaran. Tapi Nayla segera tahu.
"Akh... bukan... yaudah Bi... kamu pulang sama aku aja. Anterin aku... biar Ale sama mereka." Ucap Nayla yang sudah tahu bahwa kedua orang yang ada disana akan menjemput sahabatnya. Dan sebelum Alena memutuskan pergi. Gadis itu membisikan sesuatu ke telinga Nayla.
"Nay... aku mohon... jaga ya rahasia aku. Termasuk kamu juga nggak boleh bilang pada siapapun. Hanya aku, kamu dan kak Rudi saja yang tahu." Ucap Alena pada sahabatnya itu dengan berbisik. Dan Nayla segera mengangguk mengerti apa yang sahabatnya itu inginkan.
"Le... kamu mau ikut mereka? tidak Le... kamu belum tahu siapa mereka. Aku antar aja kamu!" ucap Abiyan yang merasa khawatir pada Alena. Namun Alena hanya menyunggingkan senyumannya disana.
"Udah Bi... ayo ah... mereka nggak bakalan nyakitin Alena!" ucap Nayla dengan tangan yang menarik kuat lengan Abiyan disana.