Bab.1 Terusir Dari Rumah Sendiri
“Tandatangani surat itu dan segera angkat kaki dari sini! Jangan memaksa kami untuk berbuat lebih kasar lagi!” bentak wanita paruh baya itu ke menantunya dengan tidak sabaran.
Shera diam tidak bergeming, duduk memeluk anaknya yang meringkuk ketakutan di pangkuannya. Matanya menatap nanar berkas yang tergeletak di atas meja. Tanda tangan, mana mungkin dia sebodoh itu menyerahkan semua harta peninggalan mendiang suaminya ke mereka.
“Aku tidak akan menandatangani apa pun, apalagi angkat kaki dari rumah kami sendiri. Jangan harap kalian bisa merampas apa yang jadi hak anakku!” tegasnya kukuh menolak permintaan konyol mertua dan iparnya yang ingin mengambil alih warisan mendiang suaminya.
“Kamu bicara seperti orang yang tidak punya otak. Darin mendapatkan modal untuk memulai usahanya dariku. Kami juga yang membantunya saat dia pernah nyaris bangkrut. Lalu, apa peranmu selama ini selain jadi benalu di hidup anakku?!” teriak Hasan Pangestu menggebrak meja sampai putra kecil Shera terjengkit kaget dan gemetar menahan tangis.
Tidak gentar dengan intimidasi mereka, Shera justru menatap sinis manusia-manusia serakah tidak punya hati di hadapannya itu. Selain mertuanya, ada kakak ipar beserta istri congkaknya. Ditambah satu lagi adik ipar perempuan yang sejak awal Shera menikah selalu memusuhinya. Yang lebih keterlaluan, pengacara pribadi suaminya pun justru bersekongkol dengan mereka untuk menjegalnya.
“Jangan mengada-ada! Mas Darin sudah mengembalikan semua modal dan pinjamannya, bahkan dengan jumlah lebih. Kalian pikir aku tidak tahu itu!”
“Iya, kamu memang tidak tahu apa-apa! Tiga bulan lalu perusahaannya nyaris bangkrut, dan Darin meminjam uang dengan jumlah besar padaku!” sahut Cakra Pangestu.
Kakak ipar Shera itu juga menunjukkan bukti surat hutang yang ditandatangani mendiang adiknya, lengkap dengan fotocopy cek atas nama penerima Darin Caturangga Pangestu. Namun, itu tetap tidak membuat Shera percaya.
“Lima tahun jadi istri Mas Darin, aku paham betul selicik apa kalian. Bukankah karena itu juga kalian tidak pernah akur! Tanah kuburan suamiku saja masih basah, dan sekarang kalian datang mau merampas hartanya. Dasar manusia serakah!” teriak Shera dengan mata panas. Jantungnya seperti diremas merasakan tubuh anaknya yang semakin panas dan menggigil ketakutan.
“Perempuan pembawa sial! Hidup Bang Darin berakhir mengenaskan seperti ini juga karena kamu!”
“Hilda!” gertak Shera.
“Ibumu mati terbakar di rumahnya, lalu Kak Darin juga pergi karena kecelakaan. Hidupnya baik-baik saja sebelum bertemu denganmu. Hubungan kami sekeluarga juga akur. Semua jadi berantakan begini karena kehadiranmu, sialan!” seru adik ipar Shera sambil menuding dengan sorot mata sarat emosi.
Air mata Shera meleleh menatap foto keluarga kecilnya yang terpajang di pigura besar dinding ruang tamu. Tidak habis pikir, bagaimana bisa ada orang sejahat mereka ini.
“Ganesh juga cucu kalian. Sampai sekarang dia bahkan masih tidak mau bicara, karena terpukul dengan kematian papanya. Bagaimana bisa kalian setega ini justru ingin merampas semua dan mengusir kami pergi dari sini!”
“Kami tidak pernah merestui pernikahan kalian. Kamu belum pikun untuk mengingat hal sepenting itu kan? Jadi jangan menuntut kami mengakui anakmu. Terlebih sekarang Darin juga sudah tidak ada,” sahut Hasan Pangestu terdengar nyelekit bukan hanya di telinga Shera, tapi juga hati cucunya.
“Betul, Pa! Itu hanya akal-akalan dia untuk bisa tetap tinggal disini, dan hidup enak tanpa harus capek kerja. Belum tentu juga Ganesh darah dagingnya Darin. Tidak tahu malu!” timpal ibu mertuanya.
Shera menutup telinga anaknya, tidak membiarkan lagi mereka melukai hatinya yang rapuh. Mental Ganesh down karena kehilangan sosok papa yang begitu dekat dengannya. Belum lagi setelah kematian suaminya, mereka terus datang meneror dengan mulut jahat dan kelakuan bar-barnya. Bagaimana mungkin kondisi anaknya tidak semakin tertekan.
“Kalau kamu tidak mau tanda tangan, tidak apa-apa. Aku memberimu waktu hingga besok pagi untuk melunasi semua hutang Darin! Setelahnya kami jamin tidak akan mengusik kalian lagi.” Cakra menyeringai, dan itu benar-benar membuat Shera muak. Pria ini tak lebih dari b******n yang selama ini selalu menatapnya dengan mata kurang ajar.
“Mas Darin selalu jujur soal apa pun, jadi mana mungkin dia menyembunyikan hutang sebesar itu dariku. Kalian semua jelas sudah bersekongkol merencanakan ini untuk merampas harta peninggalannya,” ucap Shera menatap sengit pengacara yang selama ini dipercaya oleh suaminya itu.
“Kami punya bukti dan saksi, jadi jangan banyak omong. Tandatangani surat itu, lalu keluar dari rumah ini!”
“Lalu bagaimana dengan Ganesh? Dia butuh biaya hidup, tempat tinggal juga tidak punya. Sekarang saja dia sedang sakit, kondisi mentalnya juga tidak baik-baik saja sejak kehilangan papanya. Jahat sekali kalian!” teriak Shera menahan tangisnya.
“Kamu sendiri yang menolak tawaranku,” balas Cakra terkekeh dengan tatapan mengejek.
“b******k sialan kamu, Cakra!”
Umpatan marah Shera berakhir dengan guyuran air minum dari gelas istri Cakra. Menghela nafas panjang, dia menunduk mengusap wajah anaknya yang juga basah kuyup. Ibu mana tidak trenyuh melihat anaknya yang bahkan masih berumur empat tahun, menangis dalam diam dengan tubuh lemah meriang dan gemetar ketakutan.
“Mulutmu yang sialan! Kalau tidak mau pulang ke rumah bobrok peninggalan ibumu, kamu ajak saja anakmu tidur di kolong jembatan. Percuma jual air mata disini. Kami sudah terlalu paham sebusuk apa perangaimu.”
“Busuk?!” ulang Shera mendongak menatap Cakra dan istrinya sambil memeluk erat anaknya.
“Bagaimana bisa, sedang yang sampah itu kalian!” balasnya sinis.
“Kurang ajar!” teriak Kalina hendak menghambur menampar Shera, tapi lebih dulu dicekal oleh suaminya.
“Lempar barangnya keluar!” perintah Cakra ke anak buahnya yang berdiri di dekat pintu.
“Mama …,” gumam bocah itu mendusel ketakutan.
Dada Shera bergemuruh sesak. Tidak, dia tidak akan menangis dan terlihat lemah di hadapan mereka. Ngotot bertahan hanya akan membuat anaknya semakin tertekan. Mereka pasti tidak akan membiarkan dia dan Ganesh hidup tenang sebelum mendapat apa yang diinginkan.
“Berhenti! Aku akan tanda tangan. Biarkan aku sendiri yang membereskan barang-barangku,” seru Shera dengan tangan gemetar meraih pulpen menandatangani berkas yang sudah mereka persiapkan.
Ibu mertua Shera langsung menyambar berkas yang sudah berbubuh tanda tangan itu, lalu memeriksanya dengan senyum puas.
“Hilda, awasi dia! Jangan biarkan membawa barang berharga apapun dari sini!”
“Iya, Ma.”
Shera tidak ambil pusing lagi. Dia menggendong anaknya masuk ke kamar, lalu membereskan pakaian mereka seperlunya. Adik iparnya benar-benar melotot mengawasi setiap gerak-geriknya. Semua barang berharganya diambil.
“Apa itu?”
“Tas murah pemberian mendiang ibuku. Kamu mau ambil juga?” cibir Shera segera memasukkannya ke koper setelah melihat Hilda melengos.
Selesai berkemas dia menghampiri anaknya yang duduk di tempat tidur dengan mata menatap lekat foto papanya di samping lampu tidur.
“Yuk kita pergi! Kita pindah ke tempat baru,” ajak Shera berlutut di depan anaknya.
“Papa jangan ditinggal, Ma. Kasihan nanti sendirian di rumah,” gumam bocah itu dengan air mata meleleh meraih pigura kecil foto mereka bertiga disana.
Akhirnya air mata Shera luruh juga. Dia merengkuh tubuh kecil putranya dan memeluk erat. Hatinya semakin berdenyut sakit manakala pandangannya jatuh di foto pernikahan mereka di dinding kamar.
“Aku tidak bisa mempertahankan apa yang sudah kamu perjuangkan selama ini, Mas Darin. Tidak mungkin aku mempertaruhkan hidup anak kita ke manusia keji seperti mereka. Maaf ….”
Berdiri menggandeng anaknya, Shera meraih tas juga kopernya kemudian bergegas keluar. Saat melewati ruang depan, dia bahkan tidak sudi menoleh ke mertua dan keluargannya lagi. Hancur, perasaannya luluh lantak ketika melangkahkan kakinya keluar dari pintu rumah. Suara derai tawa mereka akan Shera ingat seumur hidup. Takdir benar-benar lucu hingga membuat dia dan anaknya terusir dari rumah mereka sendiri.
“Ibu dan Den Ganesh mau kemana?” tanya pria setengah tua satpam rumahnya saat membukakan pintu gerbang.
“Nanti menginap dulu di rumah teman, Pak. Besok baru cari kontrakan,” jawab Shera masih berusaha tersenyum.
“Mereka kok jahat banget ya, Bu? Sumpah, saya nggak ikhlas semua harta mendiang Pak Darin direbut keluarganya dan kalian justru diusir begini!” ucap pak satpam dengan mata memerah.
“Nggak apa-apa, biar Tuhan yang membalas. Hidup mereka tidak akan tenang karena sudah merampas hak anak yatim!”
Menghapus air matanya, Shera menggandeng tangan anaknya pergi dengan menyeret koper. Teman? Dia hanya punya satu, itupun tinggal bersama mertua. Mana mungkin dia akan menumpang tidur disana. Langkahnya terhenti, lalu menoleh ke anaknya yang masih terdiam tanpa mengeluh meski badannya terasa makin panas. Yang lebih menyayat hati Shera, Ganesh masih mendekap foto yang dibawanyanya tadi.
“Mama gendong, yuk! Kita ke apotik dulu beli obat buat Ganesh biar panasnya turun.”
“Ganesh jalan sendiri,” tolak bocah itu menggeleng. Mungkin kasihan melihat mamanya kerepotan membawa koper.
“Maaf, Ganesh sedang sakit malah diajak pergi tanpa tujuan. Nanti setelah ini Mama tidak membiarkan mereka mengusik kita lagi,” ucap Shera mengusap kepala anaknya.
“Mereka jahat, Ma. Ganesh nggak bakal maafin,” sahutnya sesenggukan memeluk pinggang mamanya.
Tanpa sadar Shera mengangguk. Iya, sampai mati dia juga akan memaafkan mereka. Sebenci apapun mertuanya yang tidak pernah menganggap dia menantu, tapi Ganesh tetap darah daging dari Hasan Pangestu. Terbuat dari apa hatinya sampai tega malam-malam begini mengusir cucunya sendiri yang masih kecil, dalam keadaan sakit dan tanpa ada tempat yang bisa dituju.
“Yuk beli obat dulu!” ajak Shera setelah mengusap air mata anaknya.
Dia menggandeng tangan putranya masuk ke apotik. Namun, tiba-tiba Ganesh menoleh ke sosok pria yang baru keluar dari sana. Bocah itu menepis tangan mamanya, lalu berlari menyusul menerabas pintu sambil berteriak keras.
“Pa … Papa ….”
“Ganesh!” Shera menghambur keluar mengejar anaknya.
Sayang, pria yang dipanggil papa oleh Ganesh itu terus saja menyebrang tanpa sadar ada anak kecil sedang mengejarnya.
“Ganesh! Berhenti, Nesh!”
“Papa ….”
Jantung Shera sudah berdegup menggila. Matanya melotot mendapati sepeda motor melaju kencang ke arah anaknya.
“Ganesh!”
“Liam, awas belakangmu!”
Mendengar teriakan gugup dari seseorang di seberang jalan, pria itu akhirnya menoleh ke belakang. Hanya sekejap, sebelum kemudian berlari menyambar tubuh Ganesh hingga keduanya jatuh bergulingan di atas aspal.
Shera sudah hampir pingsan. Lututnya masih gemetar saat menghampiri anaknya yang berada di pelukan pria asing itu. Jangankan marah, tangisnya pecah melihat dahi anaknya yang berdarah.
“Sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Badannya panas dan dahinya terluka,” ucap pria itu menatap khawatir wajah Ganesh yang pucat pasi.
Shera mengangguk meraih tubuh anaknya, tapi bagaimana dia mau berdiri sedang lututnya gemetar saking syoknya. Dia kembali terduduk di aspal, menangis tergugu memeluk putranya.
“Mas Darin … aku harus bagaimana, Mas?"