Aku Diperlakukan Seperti Pembantu

1290 Kata
"Afifah!" Teriakan itu menggema memenuhi seluruh penjuru rumah yang bisa dikatakan cukup besar ini. "Iya, Ma," sahutku lesu dari dalam kamar. Tidak bisakah mertuaku membiarkanku bersantai dalam sejenak? Aku berusaha mengangkat tubuh. Dan setelahnya, dengan langkah yang kupaksakan, aku bangkit dari ranjang yang menjadi saksi baru berapa lama aku merebahkan diri untuk melepas kepenatan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan rumah yang seakan tak ada habisnya. "Kamu nyuci? Kenapa nggak sekalian dijemur?" Mertuaku menunjuk keranjang berisi baju bersih yang belum sempat aku jemur. Wajahnya selalu menunjukkan rasa tidak suka yang amat kentara saat menatapku. "I-iya, Ma. Tadi belum sempat," balasku terbata. "Iya lah nggak sempat, orang kamu pengennya males-malesan melulu tiduran di kamar, pengennya jadi ratu di rumah ini, iya 'kan?" seringai ibu mertuaku sambil menyilangkan tangan di depan d**a. "Si miskin yang gak tahu diri!" Oloknya tanpa basa-basi. Sudah kerap hinaan itu aku terima, tapi kenapa kali ini terasa menyakitkan, ya? Ya Allah! Kapan aku bisa bahagia? Kenapa nasib baik seakan tak pernah berpihak padaku? Sejak kecil, aku telah dipaksa menerima pil pahit dengan dihadapkan pada kenyataan ketika kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis nan memilukan hari itu. Dan sekarang … saat dewasa pun aku harus menerima kenyataan pahit dengan memiliki mertua yang tak menyukaiku? Satu-satunya keberuntungan dalam hidupku adalah memiliki nenek yang merawatku dan membesarkanku dengan sepenuh hati meski dengan segala keterbatasannya. Nenek …. Aku rindu. Rindu dengan momen saat aku meletakkan kepalaku di pangkuanmu untuk berkeluh kesah dan engkau menenangkanku dengan belaian lembut tanganmu yang meski keriput termakan usia, tapi tetap terasa menentramkan. Aku meraup oksigen sebanyak yang aku bisa saat menyadari kerinduan ini tak akan mungkin ada penawarnya. "Dasar pemalas!" ucap mertuaku dengan nada bengis. "Ma, Mama apa-apaan, sih? Tiap hari kerjaannya marah-marah terus sama Afifah?" Adik iparku yang baru pulang kerja, tiba-tiba muncul di hadapan kami yang tengah terjebak dalam suasana kaku di dapur. "Rafka, ini urusan perempuan, yah, kamu nggak perlu ikut campur apalagi sampai membela perempuan malas ini!" Ibu mertua menunjuk diriku dengan mata melotot. "Ma, inget. Afifah lagi hamil, dia sedang mengandung cucu Mama!" ucap adik iparku setengah membentak. "Oh ... Jadi karena dia hamil, dia boleh bermalas-malasan? Begitu?" tantang ibu mertua, tatapan sinisnya tak pernah lepas dari wajahku. "Bukankah dari kecil dia sudah terbiasa hidup susah? Kenapa setelah menikah dengan Edgar dia mendadak ingin bertingkah seperti ratu?" sinis Bu Melanie sambil terus menunjukkan wajah bengisnya. Tanpa bisa kutahan, air mataku bercucuran membasahi pipi. Kapan? Kapan aku ingin bertingkah seperti ratu? Bahkan semua pekerjaan rumah aku yang memegang sendiri selama sebulan ini. Meski dalam keadaan hamil muda, aku tetap memaksakan diri untuk membuang rasa malas. Ibu mertuaku sendiri seperti sengaja tak mencari pengganti Mbak Fitri, asisten rumah tangga yang terpaksa pulang kampung karena bapaknya menderita stroke. Lantas, kenapa Bu Melanie tega menyematkan kata malas untukku? "Ma, besok aku bakal cari pengganti Mbak Fitri, stop memperlakukan Afifah kayak pembantu di rumah ini. Dia ini istri Edgar, menantumu, Ma!" tegas Rafka adik iparku saat menatap tajam wajah ibunya. "Jangan sekali-kali kamu berbuat lancang, Rafka! Apa lagi sampe melawan Mamamu demi membela perempuan miskin ini!" ketus mertuaku pada anak laki-lakinya. Rafka nampak dilema saat tatapannya beralih padaku. "Aku harap suatu saat Edgar bisa berubah, dan membawamu pergi dari tempat berbau neraka ini, ya, Fah," ucap Rafka sambil menatap iba padaku. Ibu mertuaku menyeringai menanggapi ucapan anak bungsunya. Mas Edgar? Berubah? Apakah itu mungkin? Entahlah. *** Tak seperti orang hamil kebanyakan, aku justru mengalami mual muntah parah saat sore hari hingga menjelang tidur. Membuatku kewalahan saat malam datang menjelang. Di kamar, aku mengusap sendiri perutku sambil berlinang air mata setelah bolak-balik kamar mandi dan memuntahkan apa yang mengganjal di tenggorokan. Selama ini, aku seperti hamil tanpa dukungan, kecuali dari Rafka, satu-satunya orang di rumah ini yang memberiku perhatian. "Mas!" Aku tersentak saat Mas Edgar, suamiku, pulang hampir jam 12 malam. Aku bangkit dari pembaringan. Mataku memang sedari tadi begitu sulit terpejam. Efek dari mual muntah yang melelahkan. Saat aku bangkit, lagi-lagi bau alkohol menyeruak dari mulut lelaki yang sudah menikahiku sejak enam bulan lalu. Hatiku pilu. Merutuki nasib diri yang seakan tak pernah berpihak padaku. Bukankah perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik? Apa yang salah dengan diriku ya, Allah? Kenapa Engkau memberikanku jodoh seperti dia? Seorang lelaki pemabuk yang tak punya hati? Sambil terisak aku menarik kaos kaki yang dipakai olehnya. Tak terhitung sudah berapa kali kejadian yang sama persis seperti ini, terulang selama aku menjadi istrinya. Aku melepas satu persatu kancing kemeja yang masih melekat pada tubuh Mas Edgar, dan berniat menggantinya dengan kaos longgar agar dia merasa lebih baik. Baru hendak mengambilkan baju ganti, aku dibuat terkejut saat menyadari dia tiba-tiba mencengkeram lenganku, terlihat sorot matanya tajam saat menatapku. "Kamu istriku, 'kan?" Cengkeraman kuat tangan Mas Edgar pada lenganku masih belum ia lepaskan saat memberikan pertanyaan retorika ini. "I-iya, Mas," jawabku terbata. Aku tahu maksudnya kalau dia sudah bertanya seperti itu. Tanpa kata, dia kemudian menarik tubuhku hingga jatuh di atas ranjang. Malam ini, lagi-lagi aku harus menjadi pemuas nafsu Mas Edgar di atas ranjang saat dia sendiri dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Setelah hal itu kembali terjadi, aku berlari menuju kamar mandi dengan hati pilu. Sedu sedan tangisku kutumpahkan untuk mewakili perasaanku saat air dari shower mulai membasahi tubuhku. Entah sudah berapa kali Mas Edgar menyentuhku, tapi aku sendiri belum pernah menemukan arti sebuah kenikmatan saat aktivitas itu berlangsung. Yang ada hanya rasa terpaksa dan sakit hati yang menyelimuti diri setiap kali hal itu terjadi. *** "Fah, bukannya hari ini kamu ada jadwal ke dokter kandungan, ya?" tanya Rafka saat kami tengah melakukan sarapan bersama pagi ini. Aku mengangguk ragu. Saat kulirik, suamiku tampak cuek dan fokus menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya. Bahkan, aku tak yakin jika dia ingat telah 'menyentuhku' tadi malam. "Gar, sekali-sekali temenin istrimu kontrol kenapa?" ujar Rafka pada sang kakak. Entah kenapa, Rafka tak pernah memanggil kakaknya dengan sebutan mas atau abang. "Aku sibuk," balas Edgar tanpa menatap adiknya. Rafka membanting sendoknya dengan kasar hingga timbul bunyi nyaring saat sendok dan piringnya beradu. "Untuk jalan bersama Kayla, kamu ada waktu. Untuk menemani istrimu sebulan sekali kamu bilang sibuk? Apa kamu sudah gila? Atau ... hatimu sudah kau gadaikan?" Rafka memang tegas dan ceplas-ceplos saat berbicara, tapi sungguh hatinya tak seburuk ibu dan kakaknya. Mas Edgar diam tak menjawab. "Mana rasa tanggung jawabmu sebagai seorang lelaki? Dia sedang mengandung anakmu! Kau ingat, kan?!" bentak Rafka seolah tanpa rasa takut. Lagi-lagi Mas Edgar hanya bergeming mendengar ucapan demi ucapan yang meluncur dari bibir sang adik. "Kenapa kamu harus menghamili Afifah kalau cuma ingin kamu sia-siakan, ha?" cecar Rafka tampak berapi-api. Seperti belum puas memperolok sikap suamiku yang memang tak bisa dikatakan terpuji. Seperti sebelumnya, Mas Edgar hanya diam dan seperti tak terpengaruh sama sekali oleh makian yang berkali-kali diucapkan adiknya. Aku bangkit. Tak kuat menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadaku. "Fah, aku yang akan menemanimu." Rafka menahan tanganku saat aku berniat masuk ke kamar untuk menumpahkan kecewa dan rasa sakit hati karena memiliki suami yang seakan tak pernah memiliki rasa peduli. "Rafka. Jangan gila kamu, ya!" hardik ibu mertua dengan nada marah. Jelas sekali wanita satu ini tak menyukai niat baik anak bungsunya yang berusaha bersikap baik padaku. Namun, kecaman sang ibu tak membuat Rafka terpengaruh barang sedikit pun. "Kenapa? Apa Mama keberatan kalau aku memberikan perhatian lebih padanya? Bahkan, kalau nantinya aku yang harus menggantikan posisi laki-laki sialan itu pun, aku siap," ucapnya sambil menunjuk tepat ke wajah sang kakak. "Hei! Jangan mengada-ada kamu, ya!" Aku terkesiap saat menyadari jika bukan ibu mertua yang mengecam ucapan Rafka. Tapi Mas Edgar. Si pemabuk itu. Siapa pun tolong, katakan padaku. Apa aku sedang bermimpi sekarang? Kenapa aku melihat ada kemarahan dari matanya saat mendengar sang adik siap menggantikan posisinya? Benarkah dia keberatan, atau ... cuma takut tak dapat warisan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN