Prolog
"Papi akan menikah lagi."
Setelah kalimat itu terlontar dari mulut
pria berusia lima puluh tahun,
mata Galen dan Gabby seketika
terangkat menatap sang papi. Di saat
ketiganya sedang menikmati sarapan
penuh keheningan, Baskara malah
mengucapkan sesuatu yang kurang
menyenangkan.
"Menikah sama siapa, Pi?" tanya Gabby
lebih dulu.
"Nanti malam Papi akan ajak dia ke
rumah. Kalian harus pulang lebih awal
dari biasanya."
*Kenapa harus menikah?" Selanjutnya
Galen yang bertanya.
"Memangnya ada yang salah Kalai Papi
menikah lagi? Papi udah sepuluh tahun
Menduda sejak mami kalian meninggal.
Sekarang kalian berdua pun sudah
besar , Nanti juga akan menikah dan
meninggalkan Papi."
"Masih lama kali, Pi. Gabby juga belum
lulus SMA. Kak Galen masih kuliah."
"Tapi kalian jarang dirumah," Baskara
Menatap kedua anaknya itu dengan
serius. "Kakak kamu cuma sesekali ada
di rumah, bisa sarapan bersama kayak
gini harus nunggu jatah uang bulanan
dulu. Sementara kamu Gabby, Kenapa
lebih suka di rumah Tante Zahra?"
Galen tidak menjawab, dia menyadari
ucapan sang Papi itu benar. Namun,
selalu ada alasan di balik jarangnya dia
pulang ke rumah.
"Karena Gabby kesepian, Pi. Sejak
Mami meninggal, Papi jadi lebih sibuk
di luar sana. Rumah ini udah ngga ada
kehidupan lagi, semuanya datang dan
pergi sesuka hati."Gabby menyuarakan
isi hatinya.
"Sekarang. Kan Papi udah lebih sering
di rumah. Kenapa kalian masih jarang
pulang?"
"Terlambat, Pi"Galen menjawab datar,
tapi penuh penekanan.
Mata Baskara pun menatap lekat sang
Putra sulung. Dia terlihat ingin bicara,
tapi diurungkan. Diambilnya tisu untuk
mengelap mulutnya, kekudian berdiri.
Menandakan percakapan selesai.
"Kak, Gimana nih?" Gabby menyenggol
lengan Galen setelah Papi pergi.
"Papi kayanya serius sama simpenan
barunya itu. Duh, bisa malu banget aku
sama temen-temen kalau beneran
dinikahi"
"Kamu yakin kemaren liat Papi sama
simpenannya? jangan-jangan itu cuma
sekertarisnya," sahut Galen.
"Masa sama sekertaris mesra gitu, Kak.
aku tuh ngga mungkin salah lihat, tuh
cewek ngerangkul lengan Papi sambil
manja-manja-an gitu. Kalau aku lihatin
lebih jelas sih, seeius deh masih muda
banget."
Galen mengetatkan rahangnya. Gabby
mana mungkin berbohong. "Kita lihat
nanti malem," ucapnya kemudian.
Gabby pun mengangguk pasrah. Dia
menyudahi sarapannya dengan cepat.
"Aku pergi ya," Pamitnya sembari
menyandang tas ke bahu.
Galen mengangguk.
Setelah semuanya pergi, Galen
menatap kursi kosong yang sudah
sepuluh tahun ini tidak pernah
diduduki lagi. Rasanya dia masih bisa
mengingat dengan jelas bagaimana
sang Mami memberikan kehidupan
pada tempat ini. Sayangnya, kanker
ganas merengut wanita yang begitu
mereka cintai. Dalam sekejap, tempat
ini mati.
****
Jangan lupa b**********n dan Komen
Sebanyak mungkin ya. Jangan lupa juga
kasih ulasan bintang 5 untuk n****+ ini.
Happy Reading!!