Malam Neraka

1680 Kata
Malam itu di meja makan Rafael tejadi ketegangan batin antara dia dengan istrinya. Perselisihan paham yang dipicu perkara yang sangat sepele jadi meruncing. Hingga keduanya duduk satu meja untuk makan malam, suasana tegang itu masih sangat terasa. Sejak pertama datang wajah Rafael memang terlihat sangat tegang dan gusar. Sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi Erlin. Hampir setiap pulang kerja ekspresi seperti itulah yang ditampilan Rafael. Erlin hanya menduga suaminya sedang mendapat tekanan dari atasannya di kantor. Namun suasana sore hingga malam ini memang agak sedikit berbeda. Ketegangannya lebih meningkat ketika Erlin yang jengah dengan kata-kata menohok lontaran suaminya, melakukan sedikit perlawanan. Walau belum terlalu frontal namun sukses menyulut kekesalan Rafael hingga merembet kemana-mana. “Lin, sebenarnya kamu masih niat gak sih jadi istriku?” Rafael kembali melontarkan pertanyaan yang sesungguhnya sangat dinantikan Erlin. Namun sayangnya sejauh ini hanya sebatas pertanyaan. “Maksudnya, Mas?” Erlin balik bertanya pelan seraya menatap lekat-lekat wajah suaminya yang terpampang datar dan dingin. Sendok makan yang hampir masuk ke dalam mulutnya, Erlin tahan. Jantungnya sedikit berdetak lebih kencang, dadanya pun berdebar menahan amarah yang sejatinya ingin dia lampiaskan sejak tadi ‘Inilah saatnya aku bicara apa adanya,’ pikir Erlin. “Bukankah kamu tahu kalau semur jengkol itu makanan kegemaranku? Perasaan kemarin aku bilang kalau sudah lama gak makan semur jengkol. Seharusnya sebagai istri, kamu jauh mengerti dengan ucapan suamimu itu, Lin!” Intonasi suara Rafael mulai sedikit meningkat. “Astagfirullah, jadi hanya karena aku menyedikan semur jengkol, Mas Rafael langsung menuduhku tidak niat lagi jadi istrimu, begitu ya?” sergah Erlin dengan intonasi yang masih ditahan. Berusaha tetap tenang tidak terprovokasi. Lelaki yang sudah dua tahun menjjadi suaminya itu pun terdiam beberapa saat. Dia sedikit menyesali atas ucapannya yang tentu akan berbalik lagi padanya. Rafael baru sadar jika sudah beberapa hari tidak belanja, masakan yang tersedia hanya mengandalkan sisa yang ada. “Mas sudah periksa persediaan makanan kita? Ada jengkol gak di sana? Aku menduga kamu bicara demikian itu mau beli jengkolnya. Belum lagi bumbu-bumbunya juga sudah tidak komplit,” ucap Erlin kalem namun sukses membuat Rafael ingin menarik lagi ucapannya tadi. “Tapi kamu kan bisa beli yang sudah matang di warung Bu Anhar, Lin!” Rafael yang tak mau disalahkan, sedikit menurunkan intonasi suaranya. “Pake apa belinya? Memangnya warung Bu Anhar bisa diutang dulu?” Erlin terus menyerang. Rafael kembali terdiam. Seperti dugaannya, omongan yang keceplosan dilontarkannnya kembali menikam dirinya. Erlin tidak pernah dia berikan uang cash mau memberli dengan apa? “Memangnya kamu tidak bisa pakai uangmu, dulu? Jangan perhitunganlah sama suami, Erlin!” Yang keluar dari mulut Rafael justru berbeda dengan isi hatinya. Erlin tersenyum sinis, “Memangnya Mas tahu kalau aku punya uang?” Erlin kembali bertanya yang membuat Rafael semakin terpojok. “Ka..kamu kan punya usaha juga. masa tidak punya uang sama sekali. Berapa sih harganya semur jengkol!” Rafael tetap tak mau mengalah apalagi mengaku bersalah. “Oh, jadi sekarang sudah terbaik ya, istri yang harus menafkahi suami, padahal suami yang kerja bahkan hampir setiap hari pulang larut malam untuk menari tambagan, gitu ya Mas?” Ucapan Erlin yang sangat menohok tidak bisa lagi dibendung. “Kamu itu selalu ngelawan dan cari pembenaran kalau dikasih tahu suami! Istri macam apa kamu, Erlin! Kalau memang kamu sudah tidak mau melayani suamimu, ya sudah. Kita saling melayani masing-masing saja!” gumam Rafael kesal, walau sebenrnya dia sendiri bingung dengan jawabannya, karena itu hanya akan merepotkannya kelak. “Serius mulai sekarang kita akan saling melayani masing-masing, Mas?” Erlin ingin mengaskan ucapan suaminya. “Mak…maksudku da..dalam hal keuangan saja. Aku te..tetap akan membelajai kamu dan kamu masak apa yang aku beli, gitu.” Rafael mengklarifikasi dengan sedikit terbata. Tak terbayang jika dirinya harus melayani segala sesuatunya sendiri. Dalam sepanjang hidupnya Rafael tidak pernah mencuci pakaian, menyetrika, apalagi memasak dan membersihkan perabot bekas makannya. Erlin tersenyum tipis sambil menatap suaminya yang menunduk malu sambil purapura melanjutkan makan malamnya. Keberanian dan percaya diri Erlin mulai sedikit timbul. Entah apa yang ada dalam benaknya, tiba-tiba saja dia berdiri dari duduknya sambil tersenyum manis. “Ya sudah! Mas tunda aja dulu makannya. Aku mau ke warung Bu Anhar dulu. Mudah-mudahan masih ada semur jengkolnya. Atau kalau pun tidak ada, aku mau cari kemana aja, yang penting malam ini suamiku bisa makan semur jengkol!” ucap Erlin sambil melangkah meninggalkan meja makan dan suaminya. “Gak perlu!” cegah Rafael tegas. “Aku sudah gak minat lagi makan semur jengkol!” sambungnya sambil pura-pura tenang dan melanjutkan makan malamnya. “Oh ya, kalau gitu mungkin ganti yang lain aja, rokok misalnya? Aku sedang punya uang Mas, sekali-kali istri menafkahi suami boleh kali ya, anggap saja sedekah.” Erlin tetap bersikukuh dan mulai kembali melangkah menuju ruang depan. “Erlin!” bentak Rafael cukup nyaring hingga membuat Erlin menghentikan langkahnya dan berbalik badan menatap suaminya yang masih duduk kaku depan meja makan. Mimik wajahnya terlihat seperti serdadu yang mau berangkat ke medan perang. “Kenapa Mas, ada pesanan lainnya? Boleh mungpung aku lagi baik hati nih!” Erlin bicara lembut namun dengan narasi yang sedikit mengejek. “Dengar Erlin! Aku ini sumiamu. Aku tidak mengizinkan kamu ke luar rumah malam-malam begitu. Kalau kamu tetap maksa, dosanya kamu tanggung sendiri, ini urusan dengan Allah!” hardik Rafael seraya mengangkat sebelah tangannya menujuk ke atas seolah Tuhan ada di langit-langit. Erlin kembali tersenyum kecut menyaksikan kepanikan suaminya, ‘Sejak kapan kamu mulai ingat dosa dan Allah, Mas?’ tanyanya dalam hati sambil kembali duduk di kursi makannya. ‘Sialan, kenapa gua jadi ngomongin dosa dan Allah? Aduh, alamat habis lagi ini dibalikin sama dia. Dasar lidah tak bertulang, sialan banget sih lu lidah!’ maki Rafael dalam hati sambil mengigit lidahnya sedikit. Makan malam yang seharusnya menjadi sarana bercengkerama penuh kehangatan antar sepasang suami isrti itu, berubah menjadi neraka yang sangat panas dan menegangkan. Suasananya benar-benar sangat tidak mengenakan untuk keduanya. Rafael melanjutkan makan malamnya dengan mulut yang sibuk menguyah serta sesekali melontarkan gumaman-gumaman yang tidak terlalu jelas yang sama sekali tidak direspon oleh istrinya. Erlin sudah terbiasa dengan tabiat suaminya yang lebih rempong dari nenek-nenek yang kurang belanja, jika kalah bicara. Erlin benar-benar kehilangan selera makannya, walau dia belum makan sejak tadi siang tadi. Untungnya setengah jam sbelum Rafael pulang dia sempat menikmati bakso Mas Aldo yang memberi doscount besar-besaran pada semua pelanggannya, sebagai ungkapan syukur atas kelahiran putra kelima dan keenamnya yang kembar. “Seharian suami membanting tulang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Tapi apa yang didapat di rumah? Kamu bahkan lebih sibuk mengurusi kreditanmu, sampai-sampai tak peduli dengan suamimu,” gumam Rafael yang masih sempat didengar Erlin namun sama sekali tidak ditanggapinya. Sebenarnya Rafael tahu kalau istrinya sudah mengalah dengan diam. Namun entah mengapa dia justru ingin istrinya terpancing dan melawan lebih sengit agar dia sendiri bisa melamiaskan kekesalannya karena malam ini gagal berduaan bersama Helena. Mendengar gumaman suaminya yang terakhir, jantung Erlin kembali berdetak lebih kencang. Api amarahnya yang tadi sudah sedikit menyurut, kembali berkobar hingga menyentuh ubun-ubunnya. Erlin segera beranjak dari duduknya dan meninggalkan meja makan. Tidak ingin terjadi perang yang lebih dahsyat sampai piring dan gelas ikut beterbangan. Jika terus berada di meja makan, Erlin yakin dirinya pun akan terpancing yang akhirnya ikut-ikutan mengungkit segala kelemahan suaminya. Dengan hati yang sakit, Erlin masuk ke kamarnya tanpa menoleh lagi pada suaminya yang masih duduk di depan meja makan. Hati Erlin kembali terluka dan kecewa untuk yang kesekian kalinya. Namun demikian dia juga mulai sedikit lega, karena telah lebih berani melakukan perlawanan pada kedzaliman suaminya. ‘Heran, siapa yang ngajarin si Erlin hingga jadi begitu? Perasaan makin hari makin pinter aja dia ngebalik-balikin omongan. Jangan-jangan si Wenti bermuka dua. Depan gua begini, depan Erlin begitu.’ Sampai pada suapan terakhirnya, Rafael masih terus bertanya-tanya tentang perubahan sikap Erlin yang makin mencengangkannya. Setelah selesai makan, Rafael segera keluar rumah hendak menelpon seseorang. “Zid, lu udah tidur belum?” tanya Rafael saat sambungan telpon dengan Zidan sudah terkoneksi. “Hah, muke lu gila. Di sini baru jam setengah delapan, Bro. Sejak kapan Jakarta tidur sesore itu? Jangankan molor, pulang kerja aja belum. Lu udah di rumah, Raf?” balas Zidan dari seberang sana. “Yoi gua baru nyampe rumah, tapi… langsung disambut gak enak sama Erlin.” “Lu ribut lagi sama dia?” “Ya, begitulah, Bro.” “Masalah uang belanja kan?” tebak Zidan. “Ya, lu udah tahu semua.” Rafael menjawab lemah. “Ya udah, suruh Erlin kirim rekeningnya ke gua, sekarang juga gua kirim sepuluh juta, boleh kan?” tantang Zidan. “Heh, kutu kupret! Suaminya Erlin itu gua. Ngapain lu kirim duit ke rekening dia? Ke rekening gua aja, cepetan!” bentak Rafael bersemangat. “Boleh, tapi kalau ke rekening lu, cukup ceban aja kan? Heheheh.” “Kenapa jadi beda banget? Tadi katanya sepuluh juta, kok jadi sepuluh ribu, Nyet?” Rafael terperanjat setitik cahayanya mendadak redup “Lu itu cowok yang udah jadi kepala keluarga. Udah kerja, jadi gak perlu dikasih duit sama gua. Kalau istri lu kan gak kerja and gak pernah dikasih duit sama suaminya. Wajarlah kalau gua ngasih dia sepuluh juta.” Zidan menjawab dengan sangat telak. “Kagak bisa!” cegah Rafael kesal. “Ya udah, syukur deh kalau gitu, berarti aman dong tabungan gua. Terus apa lagi yang mau lu omongin? Gua masih sibuk nih di kantor?” “Cukup!” “Oke deh, selamat malam Mas Rafael yang gantengnya selangit, bye.” “Selamat malam Anak onta gurun yang guoblognya kuadrat!” “Hahahahaha.” Mereka pun tertawa ngakak diakhir perdebatannya. Tak ada yang meragukan kentalnya persahabatn mereka. Dua lelaki sebaya yang ditakdirkan beda nasib dan karakter sejak lahir, namun dipersatukan dalam persahabatn yang sangat unik dan abadi. Tak pernah ada yang bisa memisahkan mereka, kecuali jarak dan waktu. Zidan selalu menjadi tempat berkeluh kesah Rafael. Namun tak satu pun nasihatnya yang dituruti. Tak pernah ada yang tersinggung atau sakit hati sekasar apapun saat mereka bertengkar. Zidan tak pernah bosan menyemangati Rafael yang terpuruk bahkan bunuh diri akibat masa lalunya yang kelam. Benarkah persahabatan mereka lebih kental dibanding Perta dan Mina? Maybe. Namun yang pasti malam ini telah menjadi awal neraka buat Rafael.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN