2 | Masih Diterima

1272 Kata
Pintu gerbang di hadapan Nirvana pun langsung terbuka lebar seolah turut menyambut Nirvana padahal Nirvana tahu bahwa pintu ini secara otomatis dikendalikan dari dalam. Tentu ada seseorang yang membukakan untuknya. Dengan dagu terangkat, Nirvana berjalan memasuki area depan rumahnya sendiri. “Non Nirvana kemana saja!? Tuan Hasyiem dan Nyonya Meriana selalu mencari Non!” Pembantu rumah tangga itu tanpa sadar telah meninggikan suaranya. Membuat Nirvana percaya bahwa sosok ini berada di pihaknya karena ia turut mengkhawatirkannya. “Semua orang mengkhawatirkan Non..” pungkasnya dengan lembut, karena sadar sedang berbicara dengan cucu sang majikan. Segera, ia mengambil alih tas punggung Nirvana. Mendapati perlakuan spesial seperti ini kembali, Nirvana merasa kian yakin bahwa keputusannya tidak salah. Sudah benar bahwa pada akhirnya ia pulang. “Tidak semua orang mengkhawatirkan saya, Bik. Tapi terima kasih karena Bibik sepertinya mengkhawatirkan saya.” “Tentu saja Bibik khawatir, Non. Mari masuk~” Nirvana pun masuk ke dalam rumah. Walau sebelumnya Nirvana berkata telah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Nyatanya saat dihadapkan dengan eyang kakung, eyang putri, om, tante, serta adik sepupunya—segala persiapan diri itu lenyap entah kemana. Nirvana deg-deg-an seperti hendak berperang. Tapi berusaha menyembunyikannya sebaik mungkin. “Selamat pagi semuanya. Vana pulang..” Begitu sapa Nirvana pada semua orang yang ada di ruang tamu besar ini. Nirvana berhasil menyapa tanpa gugup sedikitpun. “Masih hafal jalan pulang? Om pikir, sudah lupa jalan pulang.” Tanggapan pertama datang dari Hamlan—adik almarhum Papa Nirvana. Beliau menunjukkan senyum sinis. Kentara sekali tidak menyukai kepulangan Nirvana. Ternyata meski bertahun-tahun berlalu, Hamlan tidak berubah. Tetap menjadikan keponakannya sendiri sebagai lawan. Entah, dalam perang apa? Dengan santainya Nirvana membalas, “Tentu hafal, Om. Setiap hari Vana selalu ingin pulang..” Itu dusta. Tapi tetap harus Nirvana katakan demi menunjukkan pada omnya bahwa ia benar-benar sudah kembali. Mungkin sebentar lagi akan mendatangi mimpi-mimpi buruk omnya itu. “Oh ya? Kenapa begitu? Bukannya kalau pulang seperti masuk penjara?” Nirvana terkekeh. Lantas mengangguk, membenarkan tuduhan omnya barusan. “Iya, seperti masuk penjara karena Om Hamlan mirip sipir penjara.” Ketegangan yang semula melingkupi ruang tamu ini perlahan dapat teratasi. Itu semua berkat Nirvana yang selalu berhasil menjawab pertanyaan luar biasa omnya. Bahkan, Nirvana juga berhasil membuat semua orang menahan tawa akibat mengatai omnya mirip sipir penjara. “Tidak ada yang lucu. Jangan tertawa,” hardik Hamlan yang kemudian mengalihkan pandangan kepada kedua orang tuanya. “Anak ini tidak berubah. Dia tetap kurang ajar, Pa, Ma. Haruskah kita tetap menerimanya?” Nirvana sudah siap mendengar jawaban apapun yang keluar dari bibir eyang kakung dan eyang putrinya. Meski itu jawaban yang akan menyakiti hatinya, Nirvana benar-benar sudah siap. Mau bagaimanapun, tindakannya kabur beberapa tahun ini tetap tidak bisa dibenarkan. Nirvana salah dan siap menerima segala konsekuensinya. “Tentu saja, Hamlan. Mau sekurang ajar apapun dia. Dia tetap keponakanmu.” Hati Nirvana seperti disiram air es. Lega sekali mendengar jawaban eyang kakungnya barusan. Nirvana tidak menyangka bila pria tua ini tetap menyayanginya tanpa terbatas waktu. Serta, tak peduli bagaimana pun situasinya. Mengingat Nirvana baru pulang hari ini setelah kabur dari rumah bertahun-tahun lamanya. Lebih mengejutkan lagi saat pria tua bernama Hasyiem itu malah menyambut Nirvana. “Selamat datang kembali, Vana. Cucu Pertama Eyang Kakung yang selama ini selalu Eyang Kakung rindukan. Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lelah ya, makanya pulang?” Kali ini, air mata Nirvana tak terbendung lagi. Nirvana menangis dalam diam. Benar bahwa Nirvana sudah lelah, maka dari itu Nirvana memutuskan pulang. Ternyata masih ada tempat pulang yang sebenarnya yakni, sang eyang kakung. Nirvana menghapus air matanya, lalu menarik napas dalam-dalam sampai akhirnya bisa membalas sambutan sang eyang kakung. “Iya, Eyang Kakung. Vana sudah lelah jalan-jalannya. Jadi Vana pulang. Maafkan segala kesalahan Vana. Vana harap, masih ada tempat di rumah ini untuk Vana.” Anggukan kecil lengkap dengan senyum tulus eyang kakungnya cukup menjawabi harapan Nirvana barusan. Setidaknya, masih ada satu orang yang bersedia menerimanya. “Sudah, sana ke kamarmu. Untung saja Eyang Putri belum mengalihfungsikan kamarmu sebagai gudang,” sahut wanita tua dengan cukup ketus. Meski begitu, Nirvana tahu bahwa mata wanita tua itu tidak bisa berbohong. Matanya memancarkan kebahagiaan, suaranya bergetar saat menyebut dirinya sendiri ‘Eyang Putri’. Itu artinya, Meriana masih menganggap Nirvana sebagai cucunya. “Iya, Eyang Putri. Terima kasih atas kemurahan hati Eyang Putri.” Nirvana tidak tersinggung sedikitpun. Memang seperti inilah sikap eyang putrinya. Ketus, kadang cerewet, tapi itulah bentuk kasih sayang beliau pada cucu-cucunya. Sudah cukup dengan drama sambutan kepulangannya pagi ini, Nirvana pun pamit. “Vana istirahat dulu. Mari semuanya..” Ia sedikit merindukan kamarnya. Meskipun mungkin kamarnya telah menjadi istana para laba-laba. Sepeninggalan Nirvana, terjadi keributan di ruang tamu. Hamlan marah besar. “Papa dan Mama seharusnya bersikap tegas! Mengapa kita masih menerima dia setelah dia membuat kekacauan dengan kabur!? Sampai bertahun-tahun pula!” Tidak sampai disitu saja. Didukung pikiran negatifnya, Hamlan kembali beraksi. Kali ini menghasut kedua orang tuanya agar Nirvana diusir dari rumah ini. “Pa, Ma, kita tidak tahu apa yang dia lakukan selama kabur. Jangan-jangan, dia telah melakukan suatu tindak kriminal. Jangan sampai kita yang terkena imbasnya. Nama baik keluarga ini dipertaruhkan!” Tahu bagaimana tanggapan Hasyiem? Pria tua itu mengatakan, “Pikiranmu terlalu jauh, Hamlan. Keponakanmu itu tidak mungkin menjadi buronan polisi. Kalau buronan pria tampan yaa..tidak mengherankan. Kecantikannya tidak berubah. Itu artinya, selama kabur dari rumah, dia hidup dengan baik-baik saja. Seharusnya kita semua bangga padanya. Mungkin, dia baru saja selesai belajar hidup mandiri di luar sana.” Hamlan mendengkus kesal. Jika sudah begini, benar-benar susah untuk melanjutkan aksi penghasutan kali ini. Apalagi putrinya malah mendukung serta memuji argumen sang eyang kakung. “Eyang Kakung the best! Selalu berpikir positif. Widya makin sayang sama Eyang Kakung. Benar kata Eyang Kakung. Mungkin Kak Vana baru saja selesai belajar hidup mandiri. Widya jadi pengen..” “Pengen apa? Jangan macam-macam kamu, Widya. Jangan merepotkan orang dengan kabur dari rumah. Tidak ada faedahnya.” Setelah menahan bibirnya untuk tidak mengatakan sepatah katapun, Santi—Mama Widya—akhirnya buka suara. Santi khawatir Widya melakukan tindakan bodoh seperti kakak sepupunya. Sudah enak-enak hidup berkecukupan, masa mau menggelandang? Persetan dengan belajar mandiri. Sudah takdirnya mereka hidup enak dengan status orang berada. “Eyang Kakung bisa mendengar sendiri, kan? Mama langsung bernyanyi. Maka dari itu, Widya kerap sesak napas. Bagaimana tidak? Setiap jam selama Widya pergi dari rumah, Widya harus memberi kabar pada Mama. Hadeh..Ma..Ma, Widya ini sudah dewasa. Sudah dua puluh satu tahun. Jangan memperlakukan Widya seperti anak yang baru masuk TK.” Santi hanya melengos. Tak mengindahkan keluhan Widya. Bagi Santi, Widya tetaplah putri kecilnya. Berbeda dengan ibu mertua Santi yang langsung menasehati cucunya. “Widya, kekhawatiran ibu itu sepanjang masa. Sama seperti kasih sayangnya. Sudah, sana temani kakak sepupumu. Mungkin saja dia membutuhkan sesuatu.” “Siap, Eyang Putri. Mari semuanya..” Santi menatap kepergian putrinya yang tampak sedang bahagia itu sembari tak habis pikir, Mengapa Widya sebahagia ini? Bukankah Widya seharusnya was-was posisinya sebagai cucu kesayangan akan tergeser oleh Nirvana? Di mata Santi, Nirvana itu saingan Widya. Titik. Akan Santi pastikan bahwa putrinya menjalani kehidupnya dengan baik. Serta, masa depan yang sudah tertata dan terjamin. Tidak seperti Nirvana. Kehidupannya tidak jelas. Masa depan pun entah bakal seperti apa? Wajar saja bila hidup Nirvana hancur. Nirvana sudah tidak punya kedua orang tua yang bisa mendidiknya. Santi pun tak sudi mengurus keponakannya itu. Susah diatur. Malah kabur dari rumah bertahun-tahun lamanya. ‘Dasar beban.’ Kini, si beban itu kembali. Santi benar-benar tidak suka. Sudah pasti suaminya juga. Sejak tadi raut wajah suaminya tak enak dipandang. Seperti orang yang siap memakan sesamanya mentah-mentah. ‘Sialan! Mengapa anak ingusan itu kembali!? Seharusnya dia pergi selama-lamanya! Mengganggu jalanku saja!’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN