8 | Dua Tahun Berlalu

2007 Kata
2 Tahun Kemudian.. Raiden salah. Terlalu menyepelekan pencarian Nirina. Satu minggu waktu yang Raiden sebutkan kala itu, ternyata hingga dua tahun berlalu Nirina tak kunjung ditemukan. Sesekali muncul rasa ingin menyerah dan membiarkan Nirina hilang ditelan bumi, tak akan kembali. Karena jejak Nirina benar-benar tak terendus oleh siapapun. Termasuk orang-orang hebat suruhan Raiden. Tapi sekali lagi, Raiden dengan gigih masih terus berusaha mencari keberadaan Nirina. Hatinya meronta, enggan diajak menyerah. Baginya, sepuluh atau dua puluh tahun lagi tidak masalah. Asal bisa bertemu dan meminta penjelasan Nirina tentang tulisan tangan yang terdapat di balik fotonya. Ya, foto itu masih Raiden simpan bersama jutaan rindu yang kian hari kian menyiksanya. Raiden memang tetap menjalani hidupnya. Tapi tidak dengan berbagai warnanya. Semua tampak hitam-putih. Baru Raiden sadari bahwa dulu Nirina lah yang perlahan memberi warna di hidupnya. Kini sosoknya belum ditemukan meski dua puluh empat bulan lebih berlalu.. Suatu ketika, Raiden pernah bersitegang dengan orang suruhannya dikarenakan mereka meragukan keaslian identitas Nirina. Raiden yang naik pitam kala itu, memutuskan turun tangan menyelidiki perihal identitas Nirina. Benar saja. Fakta besar terungkap bahwasannya identitas Nirina merupakan identitas palsu! Raiden tak habis pikir. Bagaimana bisa? Mengapa? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang hanya bisa dijawab oleh Nirina. Raiden menyimpan semua tentang Nirina seorang diri. Meski hubungannya dengan kakak dan kakak iparnya telah membaik, itu tak merubah apapun. Nyatanya Nirina belum juga bisa ditemukan. Jika ditanya bagaimana perasaan Raiden, jelas sedih dan sangat khawatir. "Sebenarnya kamu ada dimana, Nirina? Mengapa sangat sulit menemukanmu? Siapa kamu sebenarnya? Bagaimana bisa semudah itu kamu memalsukan identitas dan menipu saya, hm?" Dalam kesendiriannya malam ini, Raiden kembali memandangi foto yang Nirina tinggalkan. Meski ini bukan foto wajah Nirina, tapi Raiden masih ingat dengan jelas betapa lebar senyum serta tawa Nirina saat hanya berduaan dengannya. Keindahan pantai pulau dewata pernah menjadi saksi. Antara dirinya dan Nirina yang menghabiskan waktu bersama. Berlindung di balik pekerjaan segunung. Ah, kapan masa itu dapat terulang kembali? Raiden amat merindukan Nirina. "Saya hancur, Nirina. Tapi hidup ini memaksa saya terus berjalan. Entah dengan tujuan kemana? Saya tidak tahu. Tapi bolehkah saya terus berharap?" Raiden masih terus bertanya-tanya dalam kesunyian malam. Meski tak mendapat satupun jawaban, setidaknya Raiden lega karena menghabiskan waktunya malam ini untuk memikirkan Nirina--gadis tak bertanggung jawab, yang tega membiarkannya memeluk sepi selama dua tahun ini. Perginya lama sekali. Dicaripun tak ketemu dimana-dimana. Benar-benar tak bertanggung jawab, bukan? "..berharap bila tujuan yang tidak saya ketahui ini sebenarnya sedang mengantar saya untuk bertemu denganmu lagi," lanjut Raiden berusaha menepis keputusasaannya. Baru dua tahun. Belum dua puluh tahun. Raiden tersenyum kecut. Memikirkan berapa lama lagi waktu pencariannya. Puas memandangi selembar foto yang Nirina tinggalkan untuknya, Raiden segera menyimpan kembali foto tersebut ke dalam dompet, seperti yang selama ini Raiden lakukan. Sehingga foto tersebut selalu Raiden bawa kemana-mana. Ibarat Raiden selalu menyimpan nama Nirina dalam hatinya yang terdalam. Mengusap wajahnya, Raiden mengembuskan napas lelah. "Semoga bukan sekadar harapan. Namun juga doa khusyuk seseorang yang hampir putus asa, yang cepat atau lambat mendapat jawaban," harapnya mengakhiri pembicaraan sendiri malam ini. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ponsel Raiden berdering. Menandakan adanya sebuah panggilan masuk. Jelas ini bukan suara alarm, Raiden jarang sekali menggunakan alarm untuk membangunkan tidurnya. Padahal ia tinggal sendiri di sebuah rumah yang ia beli tak jauh dari rumah kakaknya. Hanya satu minggu sekali akan ada ART mingguan yang datang untuk membersihkan rumahnya sekaligus mencuci baju-baju kotornya. Sisanya, Raiden memerankan peran bujang mandiri. Rumah Raiden berjarak dua sampai tiga kilometer dari rumah Respati. Masih berada di satu kompleks perumahan yang cukup mewah. Sengaja memang. Karena Respati selalu menyarankan Raiden untuk membeli rumah yang tidak jauh dari rumahnya. Untuk urusan satu itu, Raiden menurut. Entah, kata hatinya juga berkata demikian. Selama ini Raiden terbiasa bangun awal. Namun enggan meninggalkan kasur serta selimutnya. Alasannya cukup menyayat hati yakni, terlalu nyaman hidup dalam mimpi karena hanya dalam mimpi dirinya bisa berjumpa Nirina. Rindu sekali rasanya mendengar suara khas Nirina dan segala hal yang hanya ada padanya. Saat melihat layar ponselnya, bibir Raiden terangkat ke atas. Senyumnya kali ini benar-benar senyum bahagia. Segera Raiden menerima panggilan video tersebut tanpa memikirkan kondisi wajah atau rambutnya yang baru bangun tidur cukup berantakan. Toh, ketampanannya tetap bertahan. Seketika seruan melengking Arya menghiasi paginya. Yaa..beginilah status Raiden, sebagai om dari seorang keponakan lucu yang lebih dekat dengannya. Arya merupakan putra kakaknya--Respati. Dia berusia satu setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya. Pasti pagi ini dia merengek meminta telpon omnya. Hal seperti ini sudah biasa. Yaa setidaknya dengan adanya Arya, hidup Raiden kadang berwarna. Tapi tetap, semua itu tak dapat menggantikan warna yang sebelumnya pernah Nirina berikan. Hanya Nirina yang bisa. Anak laki-laki Respati dan Amaya itu merengek, meminta Raiden ke rumahnya. Jelas, Raiden bersedia. Lumayan sarapan gratis dan lezat masakan kakak iparnya telah menanti pagi ini. Setelah mengakhiri panggilan video tersebut, Raiden bergegas mandi dan bersiap ke rumah makan. Tapi sebelum itu tentu mampir dulu ke rumah kakaknya. Absen pagi ini dengan si Arya. Bisa ngamuk kalau kemauannya tidak dituruti. Raiden sudah pernah mengabaikan kemauan Arya, hasilnya sangat buruk, Arya rewel sepanjang hari. Membuat Amaya dan Respati kesusahan. Lantas, siapa yang disalahkan kala itu? Tentu saja Raiden! Padahal Raiden bukan sengaja, memang sedang sangat sibuk dengan rumah makannya kala itu. Mengunjungi rumah kakaknya di pagi hari, Raiden disuguhi wisata masa depan berupa keluarga kecil bahagia. Dimana di ruang makan telah duduk sepasang suami istri serta anak kecil yang tiba-tiba melepaskan diri dari ayahnya. Dia Arya, tengah berlari kecil ke arah Raiden. Kemudian memeluk erat kaki Raiden. Arya bahagia sekali dengan kedatangan omnya. Itu membuat hati Raiden menghangat. Raiden juga sama, bahagia setiap Arya bermanja padanya. Tak membiarkan Arya berlama-lama di bawah sana, Raiden segera mengangkat tubuh Arya, menggendongnya dengan penuh kasih sayang, mendaratkan beberapa kecupan di kedua pipi tembamnya. "Arya? Keponakan Om yang paling ganteng, mau sarapan sama apa?" "Mau ikannn!" "Oke! Berarti tugas Om pisahin durinya, ya?" Arya hanya manggut-manggut, yang terpenting lauknya mau ikan. Raiden mengambil duduk di salah satu kursi masih tetap bersama Arya yang anteng dalam pangkuannya. Ini menyenangkan. Bukan suatu hal yang merepotkan. Raiden suka menyuapi Arya atau sekadar menyaksikan Arya mengacak-acak isi piringnya. Amaya lah yang kerap merasa tak enak hati. Wanita itu berupaya membujuk putranya untuk duduk dengannya agar tak merepotkan Raiden. Tapi sayangnya si anak kukuh hanya mau bersama 'Om Den'-nya. Titik. Respati malah santai. Membiarkan adiknya berguna dalam hal momong. Hitung-hitung sambil belajar menjadi bapak. Yang terpenting lagi, Arya aman, tidak rewel. Saat kegiatan pagi ini usai, Raiden bergegas ke rumah makan untuk bekerja. Memastikan karyawannya datang tepat waktu dan mempersiapkan semuanya dengan baik sebelum nanti rumah makan buka. Namun sialnya, dompet Raiden tertinggal di ruang tamu rumah Respati saat membujuk Arya untuk mau berpisah dengannya tadi. Segera, Raiden mengambilnya meski harus berputar karena sudah keluar dari kompleks perumahan. Bukan sejumlah uang yang membuatnya kalang kabut seperti ini. Tapi sesuatu yang lain, yang turut tersimpan di dalam dompet, yang akan Raiden jaga sampai kapan pun itu. Setibanya Raiden di rumah sang kakak, rupanya Raiden terlambat karena sang kakak sedang memegang selembar foto yang menjadi benda keramat pengisi dompetnya. Raiden bermaksud merebut benda penting miliknya itu. Tapi tak semudah yang Raiden bayangkan karena selanjutnya Respati mulai membuka sesi debat yang pasti akan merembet ke sesi ceramah. Sebagai adik, Raiden bisa apa selain membuka kedua telinganya lebar-lebar. “Kapan kamu akan melanjutkan hidup? Kenapa kamu masih menyimpan foto ini? Apa ada harapan? Sudah dua tahun berlalu, Raiden.” Respati tak menyangka bila adiknya bisa segagal move on ini. Apa tidak ada gadis lain yang bisa dilirik oleh Raiden? Sehingga Raiden terus mencari-cari yang tak pernah ditemukannya? Astaga..rupanya sudah sedalam ini perasaan Raiden terhadap mantan karyawannya itu. “Bukan urusan Kakak,” sahut Raiden begitu dingin. “Akan menjadi urusan Kakak bila itu menyangkut masa depanmu, kebahagiaanmu. Pahami bahwa Kakak menyayangimu, Raiden. Come on. Hidup terus berjalan. Lupakan dia.” Benar kata Respati, bahwa hidup memang terus berjalan. Tapi tidak semudah itu menghapus seseorang yang amat berkesan di hati dalam balutan kata 'lupakan'. "Sini fotonya..” geram Raiden dengan wajah yang sudah memerah, menahan amarah. Bukannya segera mengembalikan barang sang adik, Respati justru membaca sesuatu yang tertulis rapi di belakang selembar foto berukuran kecil itu. Lantas, memperdengarkan tawa kecil mengejèk. “Kamu pikir, dia akan kembali?” “Jika dia tidak kembali, Kakak pikir aku akan diam saja?" Raiden tersenyum miring, menggeleng keras. Tentu ia tidak akan diam saja! "Cepat atau lambat, aku akan menemukannya, Kak. Kalau perlu, langsung menikahinya saat itu juga agar dia tidak bisa lepas dariku lagi." Setelah tadi tertawa kecil, kini Respati tertawa lepas. "Kamu pikir, semudah itu mengajak seorang wanita menikah? Apalagi mungkin kamu telah melukai hatinya teramat dalam sampai ia pergi jauh seakan tidak ingin ditemukan." "Mudah saja. Dia mencintaiku, Kak. Dulu aku terlambat, tapi bukankah dua tahun ini aku sedang mengejar keterlambatanku itu? Aku rasa, dia akan tahu sendiri betapa luar biasanya perjuanganku untuk bisa menemukannya. Aku pun..mencintainya. Rasa ini ada setelah ia tidak kutemukan dimana pun." Respati menggeleng pelan. Menahan geram atas jawaban 'mudah' yang adiknya berikan barusan. "Kamu terlalu menggampangkan semuanya, Raiden. Berhenti lah bersikap begitu. Cinta saja tidak cukup. Hati wanita bila telah luka itu..tantangan luar biasa bagi kita, kaum pria. Hanya ada dua jalan. Menaklukkan atau melepaskan." "Aku yakin aku bisa, Kak," tegas Raiden. Baginya, yang terpenting Nirina segera ditemukan. Hal lain-lainnya akan Raiden pikirkan setelah itu. "Ya sudah. Semoga berhasil." Senyum yang Respati tunjukkan bukanlah senyum tulus penuh dukungan. Melainkan senyum mengejék. Hal itu tentu membuat Raiden geram dan langsung mengungkapkannya, "Itu bukan bentuk dukungan. Tapi sikap meremehkan. Senyum mengejékmu jelas sekali, Kak. Apa tidak bisa berpura-pura mendukung? Ini juga untuk kebahagiaanku." "Berpura-pura? Itu tidak ada di kamus Kakak. Memang. Kakak sedang meremehkanmu. Bukankah kamu sendiri juga menggampangkan semuanya? Kakak sih, mengikutimu saja." Muak karena perdebatan ini tiada ujungnya, Raiden berusaha mengakhiri dengan sebuah pernyataan. "Terserah Kakak. Yang jelas, tanpa dukungan Kakak pun, aku tetap akan bisa menemukan Nirina." "Raiden-Raiden.. Kamu tidak belajar dari pengalaman Kakak." "Maksudnya?" Pandangan Respati lurus ke depan, seolah sedang menerobos masa lalu. "Dulu Kakak sudah pernah seyakin itu, tapi nyatanya tetap jatuh-bangun memperjuangkan kakak iparmu. Ya sudah bisa ditebak bahwa kamu pun nantinya akan begitu. Saran Kakak, jangan terlalu percaya diri, cukup teguhkan pendirianmu saja. Bila benar cinta, mau seperti apapun sikapnya, mau bagaimana pun situasinya, jangan pernah mundur." "..ekhm, kecuali di jarinya telah tersemat cincin kawin," lanjut Respati yang kali ini perkataannya cukup mengejutkan Raiden. Pasalnya selama ini Raiden tidak pernah terpikir ke sana. Apa jangan-jangan Nirina sudah menikah? Tidak-tidak. Tidak mungkin! Raiden berusaha menepis pemikiran tersebut. Nirina, kan, mencintainya. Tidak mungkin Nirina mau menikah dengan pria lain. "Tentu saja, Kak! Aku tidak akan mundur. Aku juga tidak punya firasat dia sudah menikah. Dia tidak mungkin mau menikah dengan pria lain. Cintanya hanya padaku, Kak." Respati selalu mempunyai tanggapan dalam artian tak pernah kehabisan kata. "Menikah bisa tanpa cinta. Sudah banyak yang merasakan cinta datang karena terbiasa. Bukankah begitu? Ada sanggahan lagi, Adikku?" "Sial! Kakak mengacaukan pikiranku!" bentak Raiden kehabisan kesabaran. Pikirannya sukses diracuni oleh Respati. Kacau-kacau! "Memang itu tujuan Kakak. Anggap saja ini ujian. Sebelum kamu diuji mantan karyawanmu itu," kata Respati dengan entengnya. Sementara yang diuji sedang kacau, mulai berpikiran yang tidak-tidak. Kesal kakaknya selalu menyebut Nirina dengan sebutan 'mantan karyawan', Raiden memberitahu, "Namanya Nirina. Dia cantik, baik, dan penyayang. Sahabat Kakak Ipar. Info selanjutnya bisa Kakak tanyakan pada Kakak Ipar." "Tanpa bertanya, setiap hari Kakak selalu mendengar namanya. Sampai kepala Kakak pusing. Tidak kamu, tidak Ibunya Arya--sama saja." Sepasang mata Raiden membulat, tidak menyangka bila Amaya masih mengingat bahkan memikirkan soal Nirina. "Kakak Ipar juga barusaha mencari tahu keberadaan Nirina!?" "Mana mungkin Amaya lupa pada teman sekamar sekaligus sahabat baiknya? Maka dari itu, segera temukan dia. Atau..kamu membiarkan kami menang dengan lebih dulu menemukannya?" "Tidak akan! Aku pastikan, aku dulu yang menemukan Nirina daripada kalian berdua." Sebenarnya Respati tidak berniat bersaing. Respati hanya menginginkan masalah Nirina ini segera selesai. Sehingga setiap malam, sebelum tidur, Amaya tidak terus-menerus sedih karena Nirina tak kunjung ditemukan. Kasihan istrinya itu.. Respati tak suka melihat ibu dari anaknya bersedih apalagi sampai beban pikiran tentang sahabatnya yang menghilang. "Kita lihat saja nanti." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN