Memasuki kamar yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya, hati Nirvana menghangat mendapati kondisi kamarnya bersih terawat. Nirvana berpikir sejenak sampai akhirnya menyimpulkan bahwa sebenarnya masih ada orang rumah yang benar-benar mengharapkan kepulangannya. Jadi sebaiknya Nirvana tak perlu memikirkan omongan omnya.
“Maklumi saja,” celetuk Nirvana ditujukan untuk dirinya sendiri.
Nirvana pun memutuskan untuk mandi. Tubuhnya sangat gerah seusai menempuh perjalanan panjang. Saat baru selesai mandi dan berganti pakaian, masih dengan handuk basah di kepalanya, Nirvana bergegas membuka pintu kamarnya karena mendengar suara ketukan pintu.
“Kak Vana..” Ternyata Widya—adik sepupunya—yang entah mengapa tiba-tiba mendatangi kamarnya? Nirvana diam saja, menanti apa yang akan Widya katakan. “Widya boleh masuk? Widya kangen sama Kak Vana.” Nirvana membalas senyum Widya, lalu menggangguk. Mempersilahkan Widya masuk ke dalam kamarnya.
Jujur, Nirvana sempat berpikiran negatif. Mungkin saja Widya sama seperti kedua orang tuanya. Yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Nirvana. Akan tetapi, senyum tulus Widya berhasil meruntuhkan pikiran negatif tersebut.
Nirvana menyadari bahwa Widya berbeda, tak seperti kedua orang tuanya. Semoga kali ini Nirvana tidak salah dalam menilai seseorang.
“Duduk di sini, Kak. Widya bantu keringin rambut pakai hair dryer.”
Menerima bantuan Widya, Nirvana segera duduk di kursi meja riasnya. Sampai kemudian terdengar suara hair dryer yang ada di tangan Widya dan kegiatan mengeringkan rambut pun berlangsung.
Mata Nirvana menyisir meja rias ini. Benar-benar bersih, tidak ada perlengkapan skincare atau peralatan makeup. Sepertinya dalam waktu dekat Nirvana harus pergi berbelanja. Untung saja uang gaji bulan lalu masih sisa. Kebutuhannya pun tidak banyak.
Selama hidup sendiri, Nirvana tak pernah kekurangan uang untuk mencukupi dirinya sendiri. Gaya hidup Nirvana menyesuaikan kemampuannya.
Seolah dapat membaca isi pikiran Nirvana, Widya berkata, “Kak Vana mau pergi belanja? Buat isi meja rias ini. Widya temenin, ya?”
“Boleh. Mungkin besok saja, Wid.”
Dari pantulan kaca, Nirvana dapat melihat kesungguhan Widya dalam mengeringkan rambutnya. Gadis ini benar-benar menunjukkan sikap berbanding terbalik dengan kedua orang tuanya. Membuat Nirvana merasa bersalah sempat berpikiran negatif tentangnya.
Sepanjang mengeringkan rambutnya, Widya bercerita tentang keadaan rumah pasca kaburnya Nirvana. Nirvana diam menyimak karena sebenarnya juga penasaran.
Pasca Nirvana kabur dari rumah tanpa meninggalkan pesan apalagi pamitan, semua orang bingung mencari keberadaannya. Meriana bahkan sempat sakit karena mengkhawatirkan cucu pertamanya. Untung saja Hasyiem selalu menenangkan istrinya. Keduanya mempercayakan perihal pencarian Nirvana pada Hamlan—putra mereka satu-satunya.
Mengetahui cerita tersebut, Nirvana menyunggingkan senyum tipis. Percuma saja Nirvana mengganti namanya agar tidak ditemukan. Jika yang mencari omnya, sudah pasti Nirvana tidak akan ditemukan. Nirvana tidak yakin Hamlan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Papa Widya itu bisa jadi sengaja menyanggupi pencarian padahal yang beliau lakukan merupakan pembiaran.
Pembiaran Nirvana kabur dan tak pernah kembali lagi.
Sayangnya, sekarang Nirvana sudah kembali. Nirvana siap menjalani kehidupannya seperti sediakala, sebagai cucu pertama keluarga besar Hasyiem.
“Kak Vana jangan tersinggung dengan perkataan Eyang Putri. Widya enggak tahu kenapa Eyang Putri bersikap ketus? Padahal, hampir setiap hari Eyang Putri ke kamar Kak Vana. Sekadar memastikan bahwa kamar ini benar-benar dibersihkan. Eyang Putri itu sebenarnya sangat menunggu hari ini. Kak Vana jangan pergi lagi, ya? Banyak yang sayang sama Kak Vana.”
Nirvana terharu mendengar perkataan Widya barusan. Tapi Nirvana berusaha menyembunyikan perasaannya. Baru bertemu lagi setelah beberapa tahun berpisah, tentu masih sulit bagi Nirvana untuk berbagi perasaannya dengan Widya. Ini seperti mengulang perkenalan awal.
Sampai Widya selesai dengan kegiatannya mengeringkan rambut Nirvana, barulah Nirvana angkat bicara. Nirvana mulai bertanya-tanya perihal kehidupan Widya yang pasti sudah banyak perubahan. Dulu, Widya baru masuk Sekolah Menengah Atas saat Nirvana pergi. Kini prediksi Nirvana adik sepupunya ini sudah lulus dan sedang mengenyam pendidikan sarjana.
“Widya kuliah, Kak. Papa menyarankan untuk ambil jurusan bisnis. Yaa..Kak Vana tahu sendiri kalau keluarga kita ini punya bisnis pusat perbelanjaan di beberapa kota besar. Kalau bukan kita yang mewarisi, siapa lagi?”
Nirvana hanya mengangguk, membenarkan perkataan adik sepupunya barusan. Gadis muda ini realistis juga. Tapi dari perkataan hingga nada bicaranya masih normal. Tidak mempunyai maksud terselubung. Misal, mengajak Nirvana bersaing.
“Sebentar lagi, Kak Vana pasti diminta untuk membantu papaku mengelola bisnis keluarga kita. Kak Vana, kan, sudah kembali..” ungkap Widya riang gembira. Seolah mengelola bisnis itu seperti permainan yang menyenangkan. Padahal kenyataannya..ah sudahlah.
Nirvana yang baru kembali dan belum kepikiran ke sana seketika pusing. Sepertinya Nirvana harus beristirahat dan terpaksa mengusir halus Widya dari kamarnya. Sejenak, Nirvana ingin benar-benar mengistirahatkan pikiran dan hatinya.
Malam tiba, ini kali pertama bagi Nirvana bisa duduk kembali di meja makan rumah ini setelah sekian lama pergi. Nirvana gugup sampai perutnya yang kelaparan tidak merasakan rasa lapar lagi. Meski begitu, Nirvana tidak ingin melewatkan makan malam bersama keluarganya ini. Nirvana menghargai eyang putrinya yang tadi memerintah bibik untuk memanggilnya kemari guna ikut makan bersama.
Di meja ini pun, telah terhidang beberapa menu makan kesukaanya. Hal itu membuat Nirvana terharu dan teringat akan cerita Widya tadi siang. Widya tidak berbohong perihal kasih sayang eyang yang benar-benar tetap ada meski Nirvana telah melakukan kesalahan besar dengan kabur dari rumah.
Sepanjang kegiatan ini berlangsung, tidak ada perbincangan yang terjadi. Semua orang fokus menyantap makanan di piring masing-masing. Sampai tak lama kemudian Hamlan bersuara, menyudahi makan malamnya lebih cepat daripada yang lain. Lalu, disusul istrinya.
Dari sini, Nirvana sudah mengerti. Om dan tantenya tak betah berlama-lama di sini karena keberadaannya. Seketika hati Nirvana mendung. Sampai tak bisa menyembunyikan kesedihan dari raut wajahnya.
Hasyiem lah yang kemudian berusaha membesarkan hati sang cucu pertama. “Om Hamlan dan Tante Santi sedang lelah, Vana. Jadi mereka ingin segera beristirahat. Lanjutkan makanmu..”
Memaksakan senyumnya, Nirvana melakukan apa yang eyang kakungnya perintahkan. Melanjutkan makan walau setiap makanannya melewati tenggorokan seperti berlaukkan duri. Mengapa om dan tantenya begitu tidak menyukainya?
“Kak Vana mau nambah? Ayam kecapnya enak banget loh, Kak..” Widya juga berusaha menghibur Nirvana. Tapi jangankan menambah, menghabiskan makanan di piringnya saja Nirvana melakukannya dengan susah payah. Kalau tidak habis, eyangnya pasti akan kecewa. Mau bagaimana pun, semua masalah yang terjadi ini bersumber darinya.
Malam pertama kembali ke rumah ini, Nirvana tidak bisa tidur. Nirvana berpikir positif, mungkin karena siang tadi tidurnya cukup pulas. Berjam-jam pula. Makanya sekarang Nirvana kesulitan meraih kantuk.
Nirvana putuskan untuk keluar kamar dan berjalan-jalan di area sekitar kolam renang. Lampu yang sebelumnya terang benderang telah berganti remang-remang. Mengingat malam kian larut. Semua orang pun telah beristirahat di kamarnya masing-masing.
Saat sedang duduk di pinggir kolam renang sambil bermain air dengan kedua kakinya, Nirvana dikejutkan dengan kedatangan bayangan tubuh tinggi besar seseorang.
“Om Hamlan..” lirih Nirvana, menghela napas lega tatkala mengetahui bayangan tersebut ternyata omnya.
“Ngapain kamu di sini?”
“Mencari udara segar, Om. Vana belum bisa tidur.”
“Puas kamu?” tanya Hamlan tiba-tiba.
Nirvana yang tidak mengerti maksudnya tentu saja bertanya balik. “M—maksud Om?”
Saat itu juga, Hamlan mengeluarkan segala uneg-unegnya. “Kamu tidak sadar bahwa kembalimu ini membawa petaka? Karena kamu..Om dan eyang perang dingin. Rumah yang semula adem ayem, kini kacau balau. HANYA-KARENA-KAMU. Om tidak habis pikir. Mengapa kamu memutuskan kembali saat semuanya sudah baik-baik saja tanpa kamu? Apa kamu sudah lelah bekerja sebagai pelayan rumah makan? Tapi, itu semua juga keputusanmu sendiri yang dulu pergi tanpa kabar. Kamu tidak memikirkan kami semua. Lalu sekarang saat kamu kembali, kamu meminta kami semua untuk memikirkanmu? Hahh..jangan harap.”
Benar bukan dugaan Nirvana bahwa sebenarnya omnya ini mengetahui keberadaannya selama ini. Hanya saja, sengaja membiarkan agar dapat menguasai semuanya. Bahkan yang bukan bagiannya sekalipun.
Setelah sempat memperlihatkan senyum kecutnya, Nirvana dengan santainya lantas menjawab, “Vana tidak meminta apa-apa, Om. Tapi apa yang menjadi bagian Vana, akan Vana perjuangkan.”
Mendengar keponakannya berani membahas perihal ‘bagian’, Hamlan tersulut emosi!
“Berani kamu membahas perihal ‘bagian’ saat baru tadi pagi kamu pulang?”
Pria berusia empat puluh dua tahun itu masih bisa mengendalikan emosinya. Mengingat malam semakin larut. Orang-orang rumah sedang beristirahat. Jangan sampai dirinya menciptakan keributan tak berarti hanya karena terpancing oleh sang keponakan.
“Kenapa tidak, Om? Dulu, Om juga seperti ini. Om langsung menguasai semua ‘bagian’ padahal kakak Om belum lama berpulang.”
“Jaga mulut kamu, Nirvana!” sentak Hamlan yang pada akhirnya hilang kendali. Bibir tipis keponakannya ternyata cukup berbisa. Terbukti, dapat meracuni hatinya yang semula selalu bahagia sentosa.
Nirvana menghela napas pelan, mencoba tak gentar meski baru saja berhasil membuat raja singa mengaum. “Vana harap, dalam waktu dekat Om mengembalikan ‘bagian’ Vana.”
“Jangan mimpi kamu!” Hamlan kian emosi. Persetan bila orang-orang rumah terganggu dan menuju sumber keributan. Nirvana lah yang salah! Gadis itu mengatakan sesuatu tanpa berpikir lebih dulu. ‘Anak ingusan sialan!!’
“Ada ribut-ribut apa ini? Hamlan, Vana, jelaskan.”
Kemunculan Meriana membuat Nirvana mengurungkan niatnya membalas perkataan Hamlan. Untuk saat ini, lebih baik Nirvana menyelamatkan dirinya serta sang om. “Bukan apa-apa kok, Eyang Putri. Om Hamlan hanya meminta Vana untuk segera masuk ke kamar dan beristirahat. Tapi Vana belum bisa tidur. Masih betah cari angin di sini.” Bukan apa-apa, Nirvana takut eyang putrinya sedih melihat anak serta cucunya bertengkar malam-malam begini hanya karena bisnis.
“Benar begitu, Hamlan?” Meriana mencoba memastikannya. Tapi jawaban Hamlan acuh tak acuh, “Anggap saja begitu, Ma.” Membuat Meriana langsung mengerti akar permasalahan antar om dan keponakan malam ini.
Ketika Hamlan sudah tak terlihat lagi, barulah Meriana berbicara serius dengan sang cucu. “Vana? Eyang mau bicara sama kamu.”
“Iya, Eyang Putri. A—ada apa?”
Perasaan Nirvana tak enak, Nirvana sudah siap menerima berbagai omelan eyang putrinya. Salah Nirvana juga, sudah seberani itu pada Hamlan. Tapi, sebenarnya Nirvana tidak salah-salah amat. Nirvana hanya memperjuangkan haknya. Peninggalan orang tuanya.
“Jangan membuat masalah lagi, Vana. Kamu sudah dewasa. Sudah saatnya kamu mengambil alih tanggung jawabmu yang selama ini sudah dipikul oleh Om Hamlan dan Tante Santi.”
“Baik, Eyang Putri. Tapi..Vana harus apa? Vana tidak mengerti.”
Meriana menghela napas kasar, kesal terhadap Nirvana yang masih tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Memangnya, Meriana akan membebaskan Nirvana melakukan apapun setelah kabur bertahun-tahun? Tentu saja tidak! Akan Meriana pastikan sang cucu membayar semuanya. Ini seperti hukuman untuk Nirvana.
“Mulai besok, kamu harus belajar bersama Om Hamlan. Belajar mengelola H-Mall yang ada di kota ini. Kamu masih ingat, kan, bahwa pusat perbelanjaan di kota ini dulunya dikelola oleh siapa? Ya, almarhum papamu. Jadi sudah pasti kamu lah yang harus meneruskannya. Itu jika kamu mampu. Tapi Eyang yakin, kamu pasti mampu mengelolanya asal mau belajar.”
Mendapati cucunya diam dan fokus menyimak, Meriana meneruskan kembali. Kali ini Meriana ingin membuka mata Nirvana bahwa tindakan kaburnya beberapa tahun ini telah menyusahkan orang terdekatnya. “Perlu kamu ketahui, Vana. Semenjak kamu pergi, Om Hamlan dan Tante Santi yang kesana-kemari mengurus semuanya. Keduanya kerap keluar kota bersama. Tapi beda tujuan. Mengingat ada tiga kota yang di dalamnya terdapat bisnis keluarga kita yang berkembang pesat.”
Wanita tua itu mengakhirinya dengan harapan. “Eyang harap, kamu bisa meringankan pekerjaan Om Hamlan dan Tante Santi. Agar mereka fokus mengurus bagian mereka sendiri. Bagianmu, tetap, yang sebelumnya dikelola oleh almarhum papamu. Mengerti, Vana?”
“Mengerti, Eyang Putri. Vana bersedia belajar.”
Akhirnya, Nirvana diberi kesempatan untuk bertanggung jawab. Menebus hari-hari bebasnya dengan hari-hari sibuk yang telah menanti di depan mata.
“Demi membuat Papa dan Mama bahagia di atas sana.” Untuk saat ini, hanya mendiang kedua orang tuanya lah semangat Nirvana.
Meriana lega cucunya masih bisa diatur. Meski tidak berekspektasi tinggi untuk kedepannya. Yang terpenting Nirvana ada itikad baik membantu meringankan pekerjaan om dan tantenya, itu sudah lebih dari cukup.
Harapan Meriana dan Hasyiem masih berada di kedua tangan Hamlan. Sejauh ini, pusat perbelanjaan di tiga kota tetap berkembang pesat karenanya. Sementara Santi hanya mengurus sisanya.
Sebelum Meriana benar-benar pergi, Meriana sempat berpesan, “Satu lagi, mau seperti apapun sikap om dan tantemu—kuatkan hati dan niatmu, Nirvana. Anggap sikap mereka sebagai ujian sebelum kamu bisa memperkenalkan dirimu sebagai pemilik H-Mall Jakarta yang baru.”
“Baik, Eyang Putri. Doakan Vana bisa mengemban tugas luar biasa ini,” pinta Nirvana yang sudah mengerti akan seperti apa sikap om dan tantenya. Tapi Nirvana tidak akan mundur. Apapun yang terjadi, Nirvana akan berusaha belajar sampai akhirnya bisa berdiri di kedua kakinya sendiri.
“Eyang tidak pernah berhenti mendoakanmu, Cucu Nakal. Jangan kabur lagi. Pintu gerbang depan, Eyang lah yang memegang kendalinya. Paham kamu?”
Nirvana tersenyum kikuk, sangat paham dengan ungkapan penuh makna eyang putrinya barusan.
“Terima kasih banyak, Eyang Putri. Vana sayang Eyang Putri..” Nirvana sempat memaksa memeluk eyang putrinya sebelum wanita tua itu akhirnya meninggalkan Nirvana seorang diri.
Saat sedang sendiri itu, Nirvana tiba-tiba teringat momen-momen indahnya bersama Raiden. Bagi Raiden, momen-momen tersebut jelas tidak berarti apa-apa. Tapi bagi Nirvana, sangat berarti karena ia mencintai Raiden.
Ditatapnya langit malam yang tak bertabur bintang. Hanya ada sinar bulan yang samar-samar terlihat karena tertutupi oleh awan.
Nirvana yang telah sengaja mengganti nomor ponselnya, mulai penasaran dan bertanya-tanya, “Kira-kira Pak Raiden cari aku enggak, ya?”
***