Bab 6 Ngidam

1329 Kata
Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih. Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu. "Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami. "Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba. Aku menggeleng. "Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku. "Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku. "Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam. "Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus. "Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah, Cindy pasti bisa bikinin," ujar Rimba ditimpali oleh Cindy dengan mengangkat jempolnya. "Kamu mau nasi goreng rempah, beneran? Aku buatin khusus buat kamu, karena sodaranya Rimba, tunggu ya." Cindy bangkit dan sepertinya pergi ke arah dapur kafe ini. "Kamu bilang sama Cindy kalau kamu sodara aku?" Aku melirik ke arahnya. "Memangnya kenapa? Apa aku harus bilang kalau aku ini istri kamu, gitu?" "Ya, nggak. Aku kira kamu bakalan bilang musuh aku," ucapnya sambil terkekeh. "Ya sudah, tunggu di sini. Aku carikan rujaknya, ya." Rimba bangkit dan mengacak puncak kepalaku. Aku mengangguk kecil dan kembali melihat pertunjukan musik di panggung. Seuluh menit kemudian, Cindy kembali dengan sepiring nasi goreng yang begitu menggugah selera. Setelah sekian lama tersiksa dengan perasaan mual, akhirnya aku bisa juga menemukan makanan yang cocok di hidung. Biasanya, jangankan makan, nyium baunya saja aku udah enek. "Silakan, Nona Aline." Cindy menaruh piring itu di depanku. Wanginya begitu menggoda. "Rimba ke mana?" tanya Cindy. "Oh, dia lagi nyari rujak," jawabku sambil mengambil sendok dan mulai menyuap. Rasanya aku sudah tidak tahan untuk menunggu. Air liurku seolah menetes karena melihat makanan di hadapan. "Kalian sepupuan atau gimana, sih? Rimba kayaknya sayang banget sama kamu," ujarnya yang berhasil membuatku tersedak. Manusia itu? Sayang padaku? Oh, come on. Yang benar saja. Dia itu sudah menghancurkan hidup dan masa depanku. Jika saja aku tidak punya etika, sudah kuberitahu wanita di hadapanku ini. "Ini, pesanannya sudah siap, Tuan Putri." Untung saja Rimba segera datang dan menyelamatkanku dari pertanyaan Cindy. "Kok cepet amat dapetnya? Hari gini, nyari rujak biasanya susah," tanya Cindy. "Pas banget kebetulan di depan ada bapak-bapak tukang rujak mau pulang, masih ada sisa satu porsi," jawab Rimba sambil menaruh plastik berisi rujak di depanku. Melihat mangga muda, mulutku tambah ngiler. Aku singkirkan dulu piring nasi goreng, lalu mengambil plastik berisi rujak. "Wah, nasi goreng rempah. Aku mau nyicip ya, Lin," tawar Rimba. Tak kupedulikan. Hasratku akan mangga muda jauh lebih besar. Aku ambil satu potong dan mencocol bumbunya. Ya Tuhan, sungguh nikmat. Dengan sudut mata, aku bisa melihat jika Rimba begitu lahap memakan nasi goreng sisa aku tadi. Diiringi tatapan aneh dari Cindy. "Lin, aku mau coba juga rujaknya, ya?" pinta Rimba. Hih, ganggu kesenangan orang aja! Aku mendelik kesal. "Satuu aja, Lin. Boleh, ya?" pintanya lagi. Jika saja tidak ada perempuan itu di depan kami, sudah pasti aku tidak akan memberikannya pada lelaki itu. Dengan berat hati, aku menggeser plastik cup berisi aneka buah juga bumbunya. Rimba mencomot sepotong dan tampak meringis karena asam. " Kalian kok aneh banget, sih, jam segini pada makan rujak?" tanya Cindy dengan tatapan heran. Aku melirik pada Rimba, dan dia pun sama. Lalu pandangan kami beralih pada Cindy. "Emmh ... itu ... eemh aku lagi gak enak mulut aja, pengen yang seger-seger," ucap Rimba. Cindy terlihat meringis karena melihat kami makan rujak dengan lahap. "Sebetulnya, aku lagi pengen kopi," ucap Rimba lagi. Sekarang giliran aku yang meliriknya heran. Kenapa pikiran kami bisa sama? Aku juga tiba-tiba merindukan aroma kopi. "Ya, sudah, tunggu, aku suruh Erny bikin kopi buat kamu." Cindy menjentikan jarinya, saat seorang pelayan lewat di dekat kami. "Erny, tolong bikinin kopi buat Rimba!" seru Cindy, gadis pelayan itu mengangguk. "Kopi item aja ya, Ni," ujar Rimba. "Kopi item? Biasanya kamu suka capucino? Kamu gak kesambet embah-embah kan, Rimba?" tanya Cindy dengan kening mengerut. "Entahlah, aku rasanya pengen nyium bau kopi," ucapnya sambil tersenyum kecil. Setelah secangkir kopi itu datang, aku langsung mendekat ke arah Rimba. Wangi itu begitu menggoda. "Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh. Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya. Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya. Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku. "Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu. Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku. "Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang." Aku dan Rimba saling melempar pandangan. "Ah, gak papa. Mungkin hawanya aja bikin pengen yang begini," elak Rimba. "Sorry, aku harus naik panggung lagi." Rimba bangkit dan kabur menyelamatkan diri. Cindy menatap kepergian Rimba, lalu kembali padaku. "Kamu beneran bukan ceweknya Rimba?" selidiknya. Aku yang sedang menikmati kopi langsung tersedak. "Apa? Aku? Sama dia? No, no, no. Bukan tipe banget," jawabku sambil mengibaskan tangan. "Beneran?" selidiknya lagi memastikan. "Iyalah, masa boong." "Soalnya Rimba gak pernah sampe bawa cewek ke sini. Apalagi sampai makan bekas orang. Dia paling anti," ucapnya meyakinkan. Aku pun bingung tak bisa menjawabnya. *** Pukul 21.00 live musik diakhiri. Riuh tepuk tangan dari para tamu terdengar. Rimba segera turun setelah menyimpan gitarnya ke dalam tas. Dia mendekat padaku dan mengajak pulang. Kujawab dengan anggukan. Sebelum meninggalkan kafe, Rimba pamit pada Cindy. Aku hanya mengekori lelaki itu dari belakang. "Sampai ketemu lagi, Aline," ucap Cindy yang kujawab dengan senyum dan anggukan. Saat kami keluar kafe, ternyata di luar sedang hujan walaupun tidak terlalu besar. Desah kecewa terdengar dari mulut Rimba. "Aku bilang juga apa, pake mobil aja. Kamu sih, gak denger!" protesku. "Iya, maaf. Tadi kan buru-buru karena kamu lama ganti bajunya," keluh Rimba. "Lagian, kamu juga yang maksa aku ikut. Udah aku bilang aku di rumah aja," timpalku kesal. "Aku takut kamu kenapa-napa, Lin. Papa kamu sudah wanti-wanti buat jagain kamu. Kalau aku ingkar itu namanya khianat," jelasnya panjang lebar. Aku mendelik kesal. "Pake jas ujan aja, ya?" tanyanya. Aku pun menyetujuinya, karena badan ini rasanya sudah ingin berbaring di kasur. Hujan semakin lebat. Petir terdengar saling menyambar. Aku duduk berdempet dengan Rimba. Walaupun aku sudah mundur, karena air hujan, juga karena bentuk jok yang tinggi ke belakang, membuat tubuhku kembali mendekat pada lelaki itu. Aku memberi jarak dengan tas selempang. Setidaknya kami tidak benar-benar menempel. Setibanya di rumah, aku segera berganti baju dan selonjoran di kasur. Rimba pun sama. Dia menggelar bed cover seperti biasanya. Entah karena perjalanan dengan motor, atau karena pengaruh kehamilan, kakiku terasa pegal sekali. Berkali-kali berusaha memejamkan mata, tapi aku tak bisa. Jadinya hanya gedebak-gedebuk tak karuan. Rimba sepertinya bisa mendengar gerakan tubuhku yang tak mau diam. Dia bangun dan duduk. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan suara parau. Sepertinya dia sudah tertidur, tapi bangun lagi karena keributan yang kubuat. "Nggak tau, kakiku sakit semua," ucapku ketus. Dia menggeser bed cover itu menjadi dekat dengan ranjangku. Aku perhatikan dalam diam. Dia mengulurkan tangannya ke arah kakiku. Aku menariknya agar menjauh dari jangkauan tangannya. Namun, dia menarik kaki ini mendekat padanya. "Udah diem! Tidurlah!" ucapnya sambil memijit pelan kakiku. Aku ingin menepisnya, tapi tangannya keukeuh memegang kaki ini. Perlahan pijitannya membuatku semakin nyaman, hingga aku pun jatuh tertidur. Cahaya mentari menerobos sela gorden yang tersingkap. Aku mengerjapkan mata. Kulihat Rimba tidur duduk di lantai, dengan posisi kepala menelungkup di pinggir kasur, dan tangannya menggenggam kakiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN