Selayaknya anak-anak remaja lain. Menginjak usia tujuh belas tahun merupakan masa remaja seorang anak. Di masa tersebut kebanyakan seorang anak akan mengenal cinta, persahabatan dan kerikil-kerikil kehidupan di dalam keluarganya sendiri. Itulah yang saat ini hendak dilalui oleh Griselda Fela Rajasa. Gadis remaja yang biasa dipanggil ‘Fela’ itu tumbuh menjadi seorang anak yang pandai dan manis. Sikapnya selalu sopan dan tahu aturan, karena didikan mama dan ayahnya. Tidak seperti kebanyakan remaja lainnya yang suka nongkrong sepulang sekolah, Fela justru menghabiskan waktunya untuk berlatih karate. Setidaknya, ia punya bekal untuk menjaga diri dan meraih prestasi di bidang olahraga tersebut.
Kebanyakan orang melihat Fela sebagai gadis yang manis dan pendiam, tidak tahu saja mereka bahwa diam-diam itu mematikan. Fela nyatanya beringas kala berlatih bela diri. Ia selalu melakukan setiap latihannya dengan sungguh-sungguh. Sudah satu tahun lamanya ia bergabung dalam organisasi karate dan dalam satu tahun itu juga sudah banyak prestasi yang dicapainya. Mulai dari juara-juara tingkat sekolah dan daerah. Rencananya, tahun ini ia akan mengikuti pertandingan karate tingkat nasional. Hanya anak-anak pilihanlah yang mampu mengikutinya. Ya, menggunakan system seleksi!
“Baru pulang, Sayang?” Fela dengan wajah yang tampak kelelahan itu tak lupa mencium tangan mamanya dengan sopan. Setelahnya ia mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipi kanan sang mama.
“Iya, Ma. Caappeeekkk banget.”
“Ya sudah, kamu mandi sana. Mama sudah siapkan makan kamu di meja makan.”
“Ayah belum pulang, Ma?”
“Belum. Mungkin sebentar lagi.”
“Kita makannya nunggu ayah pulang saja ya Ma?” ajak Fela yang masih mencangklong tas hitamnya, hendak berjalan menuju lantai atas dimana kamarnya berada. Ayunda hanya mengulas senyumnya dan mengangguk setuju dengan ajakan putrinya.
Sampai di lantai atas, Fela mendengar suara siulan yang seakan menyapanya yang baru saja pulang dengan keringat karena usai berlatih karate itu. “Ngapain kamu, Aksa?”
“Nggak ngapa-ngapain. Emangnya nggak boleh bersiul? Hak-hakku dong!”
Fela menghembuskan napas kasarnya. Tahan. Sang adik ini memang selalu nyolot bila diajak berbicara. Sudah biasa..
“Terserah kamu deh..”
“Kak?”
“Hmm. Apalagi?” Aksi Fela yang hendak membuka pintu kamarnya pun terhenti karena panggilan Aksa.
“Kenapa sih Kak Fela selalu pulang dengan wajah kucel? Hmmm, mana bau keringat lagi! Pantas saja nggak pernah ada teman cowok yang main ke rumah. Kakak pasti nggak punya pacar!”
Kali ini Aksa memancing keributan. Tahankah Fela untuk tetap diam?
“Apa urusannya sama kamu kalau Kakak nggak punya pacar? Masalah buat hidup kamu!? Belajar yang benar! Baru kelas empat SD juga, mau sok-sok-an ngurusin Kakak.”
“Ma!! Aku dimarahin sama Kak Fela!” Fela memutar kedua bola matanya dengan malas. Selalu saja mengadu dan bertingkah seperti korban! Padahal dia dahulu yang memancing keributan. Aksa memang sangat jahil! Rumah keluarga Satya pun tidak pernah sepi disaat ada Fela dan Aksa di dalamnya.
“Fela..kamu apain adikmu?”
“Ayah sudah pulang!?”
“Masih mau teruskan berantem? Oke kalau begitu, Ayah balik ke kantor—“
“JANGAN, YAH!” Serempak Fela dan Aksa menahan bersamaan. Keduanya masih saja bertatapan sengit. Selalu saja seperti ini.
“Fela? Kamu mandi!” titah Satya pada Fela yang kemudian langsung mendapat anggukan dari putrinya yang sudah tumbuh menjadi seorang anak remaja yang penurut itu. Tanpa mempedulikan Aksa yang tersenyum penuh dengan ekspresi mengejek itu, Fela melenggang memasuki kamarnya begitu saja.
Tatapan Satya beralih pada Aksa kali ini. Ia melipat kedua tangannya di depan dadaa. “Aksa?”
“Iya, Yah?”
“Berhenti menjahili kakakmu. Dia lelah pulang latihan karate.”
“Iya, Yah. Aksa cuman heran saja sama dia. Kakaknya teman-teman Aksa sudah pada punya pacar lhoo, Yah. Bahkan teman-teman Aksa sering dikasih jajan atau bahkan mainan sama pacar kakaknya. Seru ya Yah kalau Kak Fela punya pacar?”
“Jadi, kamu mau Kak Fela punya pacar supaya kamu enak karena sering dikasih-kasih sama pacarnya Kak Fela?” Ayunda yang mengetahui ada keributan di lantai dua pun menyusul. Ia seketika menyahuti demikian. Anak keduanya itu memang selalu saja mengamati orang-orang disekitarnya. Bahkan pacar-pacar kakak temannya. Astaga! Apakah kakak teman-teman Aksa ini bila berpacaran selalu mempertontonkan pada adiknya? Yang benar saja!
“N—nggak! Nggak gitu, Ma..”
“Sudah-sudah. Kenapa jadi bahas-bahas pacar sih!? Aksa, Kak Fela belum boleh pacaran. Dia masih harus fokus dengan sekolahnya dan juga pertandingan karatenya. Kamu juga, belajar yang benar! Katanya nanti kalau sudah besar mau jadi polisi. Sekarang, turun ke bawah! Siap-siap makan bareng.” Aksa pun menurut dan langsung berlari kecil turun dari lantai dua.
Ayunda dan Satya saling bertatapan. Keduanya menghela napas bersamaan. Tingkah putra-putri mereka memang selalu saja memberi kejutan di setiap harinya. Rasanya rumah akan sepi bila keduanya terpisah barang satu hari saja.
“Capek, Mas?” tanya Ayunda dengan mengambil tas kerja suaminya. Langkah kakinya pun mengikuti langkah Satya turun dari lantai dua ini karena memang kamar pribadi mereka ada di lantai satu. Itu semua karena keinginan Satya. Ayah dua anak itu memang selalu ingin mengawasi anak-anak mereka dari lantai satu.
“Nggak capek kalau habis lihat keributan Fela sama Ak—aawwhhh! Sakit, Ay..” Sebuah cubitan maut didapatinya dari sang istri, tepat mengenai pinggangnya!
“Kenapa aku dicubit sih!?”
“Jadi, kamu senang kalau mereka berantem terus? Iya? Mudah kok Mas caranya. Sediakan saja matras karate di rumah. Tuh, belakang rumah masih luas! Aku pusing kalau dengar mereka cek-cok..”
Kedua mata Satya berbinar seketika. “Ide yang bagus, Sayang!”
“Kok ide yang bagus sih!? Aku cuman—“
“..kamu nggak serius ‘kan?”
“Besok aku akan pesankan matras karate. Lumayan ‘kan Fela bisa latihan juga di rumah? Aku dengar-dengar info dari pelatihnya juga tahun ini dia yang akan mewakili bertanding di tingkat nasional. Wah, memang hebat sekali putriku itu!”
“Mas!”
Bila Satya sudah memutuskan seperti itu, Ayunda sepertinya lain kali akan berpikir dua kali bila hendak berucap. Jangan sampai menjadi saran gila seperti ini! Sepulang dari sekolah dan tempat latihan saja..wajah Fela sudah sangat kelelahan. Apalagi bila ia juga harus dituntut untuk berlatih yang kedua kalinya di rumah!? Bisa stress masa remajanya! Satya memang perlu Ayunda beri pelajaran!
Seperti itulah keseharian keluarga kecil Satya yang terdiri dari empat orang anggota itu. Pertikaian-pertikaian kecil selalu menjadi bingkai manis dalam setiap momen hidup yang mereka berempat lalui. Tak ada yang kurang. Semua terasa pas. Ada kalanya rumah ramai karena penuh canda tawa. Tak juga terlewatkan keramaian di rumah karena keributan kecil seperti tadi.
Usai makan malam, biasanya Fela menghabiskan malam-malamnya seperti biasanya. Belajar, sekaligus mengecek-ngecek apabila ada tugas sekolah yang jatuh deadline besok. Selain fokus pada kegiatan di luar sekolah seperti berlatih karate, Fela selalu mengimbangi prestasinya di dalam kelas juga. Selama satu tahun kemarin—saat duduk dibangku kelas sepuluh, Fela menjadi juara kelas bertahan. Ya, benar-benar paket komplit bukan?
Lantas, mengapa hingga detik ini Fela belum juga mengenal dunia percintaan ala anak-anak remaja?
Bukan ia belum mengenal. Hanya saja ia kerap minder dengan perasaan sukanya pada sang kakak kelas yang tak lain dan bukan juga merupakan anak dari pelatih karatenya. Namanya Wirasena Ganendra Wirga! Lelaki tampan dengan segudang prestasi di bidang non-akademik. Jelas! Ia mewarisi bakat sang ayah yang telah bertahun-tahun menjadi pelatih karate. Tentang alasan mengapa Fela minder yakni karena Wira kerap dekat dengan Tisha Ayudia. Nyatanya, gosip yang beredar di SMA Bhintara Jaya tak pernah jauh-jauh dari Wira dan Tisha yang diketahui menjalin hubungan asmara diam-diam. Tisha sendiri merupakan ketua osis periode tahun ini yang terkenal disiplin, dan mempunyai kinerja yang bagus dari ketua osis sebelumnya. Keduanya digadang-gadang memang menjadi pasangan yang cocok se-antero SMA BJ!
Ceklek..
“Fela?”
Mendengar namanya dipanggil, Fela pun menghentikan acara melamunnya. Ia menoleh ke belakang, di sana sang mama tengah berdiri sembari membawakannya segelas s**u putih hangat. Pasti mamanya habis dari kamar Aksa untuk memastikan putra kecilnya itu belajar dengan benar dan tidur tepat pukul delapan malam. Berbeda dengan Fela yang sejak SMA sudah dibebaskan untuk tidur larut malam, mengingat tugas-tugasnya juga semakin menumpuk.
“Tugas sekolah kamu masih banyak? Mama lihat, kamu melamun tadi. Apa sulit? Mau mama carikan guru les privat yang datang ke rumah?”
“Nggak usah, Ma. Fela masih sanggup kok belajar sendiri.”
“Beneran?”
“Iya Ma,” jawabnya pasti sembari mengangguk dan memberikan senyum manisnya.
Ayunda melongok ke depan dimana tangan Fela tengah menutup buku tulisnya. “K-kenapa Ma?”
“Kenapa kamu malah tutup bukunya? Ayo dilanjutkan mengerjakan PR-nya. Mama tungguin..”
Mati!
Fela yang sejak tadi sempat hanyut melamunkan sosok Wira hingga memandangi foto Wira yang diambilnya secara diam-diam di tempat latihan itu, tiba-tiba membeku. Bagaimana bisa ia membuka buku tulisnya? Bila di dalam buku tersebut ada selembar foto Wira yang dicetaknya tanpa sepengetahuan mama dan ayahnya selama ini. Anggap saja inilah resiko mencintai dalam diam.
“Kenapa kamu bengong lagi, Fela? Ayo dilanjutkan belajarnya..”
“Eh—iya, Ma. Nggak usah ditungguin, Ma. Lagian juga Fela sudah biasa begadang sampai malam ngerjain tugas ‘kan? Mama mendingan ke kamar deh, Ayah nungguin..”
Anggukan dari Ayunda membuat hati Fela sedikit lega. Tidak tahu saja ada rasa curiga dalam hati sang mama. ketika Fela mengira mamanya sudah benar-benar keluar dari kamar, ia kembali membuka buku tulis yang sempat ia tutup rapat dengan tangannya tadi. Selembar foto Wira yang menurutnya sangat tampan diantara beberapa foto candid yang diambilnya itu kembali di angkat ke atas hingga menutupi lampu belajar Fela. Dalam cahaya yang remang-remang itu, Fela tersenyum manis pada foto yang dipegangnya.
“Mas Wira, tahun ini umurku genap tujuh belas lhoo..”
Tanpa disadari oleh Fela yang tengah berbicara sendirian dengan memandangi selembar foto itu. Ternyata Ayunda masih setia berdiri di dalam kamar Fela, tepatnya dua langkah dari pintu kamar anak gadisnya. Ia dengan seksama mendengarkan tiap kata yang keluar dari bibir Fela.
“Boleh nggak aku berharap bisa kenal lebih dekat sama Mas Wira? Sudah satu tahun kita sering bertemu di tempat latihan karate, tapi Mas Wira kalau ketemu di sekolah kayak nggak kenal sama aku. Memangnya aku kurang cantik ya? Apa Mas Wira nggak suka cewek yang pakai dogi? Pasti Mas Wira sukanya sama Mbak Tisha yang cantik banget itu!”
“Nanti pas aku ulang tahun, Mas Wira datang aja ya? Yaa meskipun bakalan aneh banget sih. Soalnya cuman aku yang kenal Mas Wira. Tapi nggak apa-apa, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini! Siapa tahu besok kita tabrakan di lorong kelas gitu, biar mirip cerita-cerita teenlit yang sering aku baca..” Setelahnya Fela mengakhiri ocehannya dengan kekehan kecil dan memasukkan kembali selembar foto itu ke dalam lacinya. Lebih tepatnya selembar foto itu disembunyikannya dibagian paling bawah diantara beberapa buku-bukunya.
“Kalau Fela mau kenal sama Mas Wira-Mas Wira itu, Fela harus ajak kenalan dong!”
Mendengar suara lain selain suaranya sendiri di kamarnya ini. Fela yang hafal dengan suara itu seketika membalikkan badannya. Ia terkejut bukan main. Sang mama ternyata masih berdiri di dekat pintu kamarnya. “Mama!”pekik Fela.
Jangan-jangan sedari tadi sang mama mendengar Fela berbicara sendiri dengan foto Wira..
“M-mama masih di sini? Bukannya tadi—“
“Iya, Mama sudah keluar tadi. Terus masuk lagi. Habisnya Mama penasaran sama apa sih yang sebenarnya disembunyikan sama anak gadisnya Mama ini.”
“Ih, Mama! Jangan aduin ini ke Ayah ya? Please, Ma..”
Ayunda pun mendekat pada Fela. Sebelumnya ia sudah memastikan bahwa pintu kamar anak gadisnya ini sudah ia kunci dari dalam, sehingga tidak akan ada yang mengganggu aktivitas curhat mereka berdua.
“Sini..duduk di samping Mama. Mama mau dengar cerita tentang cowok yang selama satu tahun ini kamu sukai itu..” pinta Ayunda sembari tangannya menepuk-nepuk bagian ranjang sebelahnya yang masih kosong tersebut.
***