5. Kelalaian Wira

2758 Kata
Menunggu Kalingga sarapan di kantin tidak pernah sama sekali masuk dalam daftar keinginan Fela. Ia kesal karena tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari kakak kelas yang super seenaknya dan mengesalkan ini. "Lo kenapa cemberut sih? Lagian, gue nggak nyuruh lo bayarin makan gue kok." "Nggak gitu Kak Lingga. Aku harus segera ke kelas." "Kenapa sih buru-buru? Masih pagi, My Cute Girl." Dengan malas gadis berambut panjang kuncir satu kuda itu memutar kedua bola matanya. Satu hal yang dapat Fela berikan sebagai bentuk penilaian pada Kalingga yakni, genit! Kenapa juga Kalingga memanggilnya dengan sebutan yang menurut Fela sangat menggelikan itu? Bagaimana kalau teman-teman lainnya mendengar? Bisa langsung merebak menjadi gosip di SMA Bhintara Jaya! Fela tidak bisa terus-terusan diam saja dan duduk manis di hadapan Kalingga yang tengah lahap menghabiskan sarapannya itu. Fela harus bisa tegas kali ini. Ia tidak mau menjadi objek rundungan Kalingga. "Kak Lingga!" "Kok lo nggak sopan sih sama gue? Gue kakak kelas lo!" "Nggak sopannya di mana?" "Tadi lo manggil gue 'Kalingga'!" "Astaga, selain genit. Pendengaran KAK LINGGA juga terganggu ya.." ucap Fela dengan emosi yang juga sudah memuncak karena ulah Kalingga yang seenak jidat padanya itu. Dengan sengaja gadis cantik itu menekankan panggilannya pada Kalingga. Bukannya murka seperti tingkahnya pada para korban rundungannya yang memberontak. Kalingga justru terkekeh. "Panggilan lo ke gue yang paling beda, Fel." "Ninis juga manggil gitu kok, Kak." "Ya udah, bilangin Ninis-Ninis itu buat berhenti panggil gue begitu. Karena cuman lo yang boleh!"  "Mana bisa begitu!?" "Ya bisa! Asal lo tahu, semua hal di dunia ini—nggak ada yang nggak bisa di hidup seorang Kalingga Prabaswara Nugroho." Sangat percaya diri! Baiklah. Sudah cukup. Bel juga terdengar berbunyi nyaring sampai kantin. Fela sudah berdiri dari duduknya. Ia mengambil tasnya yang sempat ia letakkan di kursi sampingnya itu. Bersiap-siap hendak pergi tanpa mengatakan apa pun. Tangan Kalingga justru bergerak lebih cepat dari pada pergerakan Fela. "Sepuluh menit!" "Nggak. Aku udah telat, Kak." "Santai aja. Gue antar sampai kelas lo. Jam pertama mama gue 'kan?" Menyebalkan! Definisi anak guru yang nggak ada tata kramanya! Ke mana tipe-tipe anak guru yang katanya penuh dengan segudang prestasi dan menjaga tingkah lakunya di sekolah guna menjaga juga nama baik orang tuanya itu? Fela sama sekali tidak menemui tipe anak guru pada sosok Kalingga. Gadis itu hanya bisa menahan kekesalannya pagi ini. Ia sama sekali tidak bisa bergerak untuk melepaskan dirinya dari Kalingga. Tangan kalingga seakan mengunci pergerakannya agar tetap duduk diam dalam waktu yang diinginkannya. Kalian tahu? Sepuluh menit bersama Kalingga berasa lima jam penuh penyiksaan yang menyesakkan. "Kemarin jam terakhir kelas lo, mama gue. Sekarang jam pertama, mama gue lagi. Kelas lo berapa kali sih ketemu mama gue?" tanya Kalingga dengan santainya menyebut Bu Ajeng dengan sebutan 'mama'nya. Padahal posisi Kalingga saat ini sedang menjadi murid di suatu sekolah. "Mama-mama! Ini di sekolah, Kak. Bu Ajeng guru lhoo.." peringat Fela yang tidak bisa lagi menahan bibirnya untuk tidak mengomel. "Suka-suka gue lah! Gue anak kesayangannya. Baik, nggak neko-neko, dan nggak bandel." "Kakak lagi menguji pengetahuanku tentang antonim kata, ya?" Kalingga mendengkus. "Siial!" Fela sudah bersiap kemungkinan terburuk yang dialaminya setelah ini. Kalingga pasti akan marah besar mendengar hinaan yang terlampaui jujur keluar dari bibirnya itu. "Gue akuin, lo cewek pertama yang gue kira cute, kalem. Tapi ternyata, lo juga cewek pertama yang berani terang-terangan di depan gue." "........." "Gue makin gemes sama lo. Tanggung jawab lo, Fel!" "Ha? Gimana, Kak?" Tak menanggapi ucapan Fela. Kalingga lebih dulu bangkit dari duduknya karena makanan yang dimakannya telah habis. Ia melepaskan cengkeraman tangannya pada tangan Fela. "Yuk, balik! Gue antar lo—" "NGGAK USAH! Aku bisa ke kelas sendiri. Aku duluan, Kak." Fela ngacir dengan kecepatan di atas rata-rata. Meninggalkan Kalingga yang masih di posisi berdirinya semula. Ia berkacak pinggang seraya melonggarkan dasi rapih yang melilit lehernya. Dengan kekehan kecil Kalingga menyeletuk, "My Cute Girl." "Woi, Ngga. Lo di sini!? Gue kira lo bolos karena pura-pura alasan sakit ke nyokap lo," tegur salah seorang sahabat Kalingga di kelas. Teman berbuat onar juga, Arrayan. Dan satu lagi, Argi.  "Kenapa lo berdua pada kemari?" "Boloslah! Malas. Jam pertama Pak Rudi. Pasti disuruh ngapalin ilmu dagang. Emangnya kita mau jadi pedagang apa!?" "YA MAU-LAH." Keduanya kompak menjawab-jawab sendiri. "Salah takaran obat lo berdua." "Gue nanti mau nerusin perusahaan dagang bokap gue." Argi dengan santainya mengambil posisi duduk di tempat Fela tadi—di hadapan Kalingga. "Cuman malas aja ngikutin ilmu pakemnya. Apalagi diajar Pak Rudi. Makasih," kata Arrayan yang juga sependapat dengan Argi. Keduanya beradu tangan seperti khas mereka bertiga. Kalingga masih saja diam. Ia sudah berkacak pinggang kini. Mempersiapkan bom yang akan diledakkannya. "Ngomong-ngomong, tumben lo ngamuk gara-gara bocah ingusan yang suka ngempesin ban sepeda anak-anak cewek itu!?" "Dia pengecut. Gue nggak suka cara mainnya."  Kalingga memang suka membuat kerusuhan di sekolah. Tindakan nakalnya juga kerap tersiar melalui bibir Bu Vera—guru BK. Tapi, yang siswa-siswi tidak tahu adalah sikap asli Kalingga. Di balik sikapnya yang suka berbuat onar bersama teman gengnya itu, ia sendiri sebenarnya memiliki jiwa pemimpin dan pendisiplin yang baik. Bahkan dahulu, Kalingga sempat direkomendasikan menjabat sebagai ketua OSIS oleh sang ibu. Sebenarnya peluang besar, akan tetapi dengan memberi pengertian pada sang ibu—Kalingga menolaknya. Karena apa? Ia tidak bisa bebas merusuh nantinya! "Yuk!" "Ke mana!?" "Kelas." "Nggak! Kita mau bolos aja, Ngga." Argi mulai membuka bungkusan kecil kacang goreng di depannya itu. "Bu kacang goreng satu! Catat ya, Bu!" teriak Kalingga pada salah seorang penjaga kantin. Penjaga kantin itu hanya tersenyum dan mengangguk. Sudah mengerti bahwasannya Kalingga bukan tipe anak nakal aslinya. Ia sejatinya sama seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, Kalingga seakan sengaja menimbulkan berbagai kerusuhan sebagai pemanis kenang-kenangan masa SMA mungkin. Nilai plus Kalingga di mata para penjaga kantin sekolah adalah tentang Kalingga yang tidak pernah berhutang di kantin. Kecuali saat-saat mendesak seperti ini. Dengan gerakan tanpa diduga, Kalingga menarik kerah Argi dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk menarik kerah Arrayan. "Ke kelas!" "Lo sekarang udah taubat ya, Ngga! Nyesel gue nyapa lo tadi!" Arrayan mencak-mencak melepaskan cengkeraman tangan Kalingga pada kerahnya. Tapi ia tetap berjalan di samping Kalingga. "Mentang-mentang lo bayarin kacang gue, lo nggak bisa—" "Gue nggak bayarin! Lo bayar sendirilah! Enak aja," potong Kalingga saat Argi yang giliran menyerocos. Seperti inilah persahabatan mereka bertiga. Di kelas dua belas ini, Kalingga hanya ingin membuat kedua temannya menjadi siswa yang sedikit teladan. Bukannya apa-apa. Setelah ini keduanya akan segera lulus. Kelas dua belas itu sangat singkat! Dan, Kalingga mempunyai misi. Ia dan kedua temannya yang sebenarnya berotak cerdas itu harus lulus dengan nilai yang memuaskan kelak, untuk menyumpal bibir orang-orang yang kerap meremehkan gengnya itu. *** Dalam catatan sejarah hidup Ninis sebelumnya, ia belum pernah melihat Fela dihukum oleh Bu Ajeng. Kini, di depan mata semua siswa-siswi kelas XI-MIA-1, Fela dihukum untuk menulis soal tugas matematika di papan tulis. Memang hanya terdapat tiga nomor soal. Akan tetapi, setiap nomornya terbagi menjadi berbagai huruf abjad A sampai dengan J! Tiga puluh soal matematika untuk sarapan. Belum lagi mendengar Bu Ajeng yang sedari tadi menasihati Fela. Seorang Fela yang terbiasa disiplin, terlambat masuk ke dalam kelas. Ninis hanya bisa menatap Fela dengan tatapan iba. Kasihan. Fela dihukum bukan karena kesalahannya. Melainkan karena kesalahan anak Bu Ajeng yang menahan Fela untuk meninggalkan kerumunan tadi pagi. Bibir Ninis yang tercipta bak mercon itu ingin sekali menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Bu Ajeng. Akan tetapi ia urungkan, karena Fela melototinya tadi. Tentu saja gadis itu tidak ingin seisi kelas tahu alasan terlambatnya karena dirundung oleh kakak kelas yang terkenal suka berbuat onar itu. Kalingga! Jam istirahat pertama dimanfaatkan Fela untuk mendinginkan pikirannya di perpustakaan sekolah. "Nih," kata Ninis sembari memberikan sebotol air mineral dingin pada Fela yang tengah duduk anteng dengan sebuah n****+ di depannya. Ninis menggaruk lehernya yang tak gatal. Ia heran dengan temannya ini. "Katanya lo mau ngademin pikiran, tapi kok malah ke perpus sih?" "Ya ini ngadem versiku, Nis." "Kenapa nggak di kantin?" "Nggak." "Kenapa? Takut ketemu Kak Lingga ya? Fel, lo jangan takut. Ada gue." Ninis kini sudah mengambil duduk di samping Fela. Ia benar-benar merasa benci melihat Fela berdiam diri di perpustakaan seperti ini. Jam istirahat bukannya dimanfaatkan untuk nongkrong di kantin, Fela justru memilih perpustakaan sebagai tempat pelariannya. Ninis sudah paham dengan Fela karena keduanya sudah lama bersahabat. Bila Fela merasa tidak nyaman atau merasa pikirannya terganggu, maka ia akan melampiaskannya dengan membaca n****+ di perpustakaan ini. Toh juga di perpustakaan terdapat AC. Benar bukan soal alasan mendinginkan? "Aku nggak takut. Memangnya siapa dia?" "Kakak kelas yang sukanya bikin onar. Lo amnesia? Panas badan lo?" Tangan Ninis mulai aktif bergerak memegang dahi Fela guna mengecek suhunya. "Ihh, aku nggak panas. Apalagi amnesia. Nggak.." Seandainya keduanya tidak sedang diperpustakaan. Sudah pasti Fela dan Ninis akan sama-sama beradu kekuatan urat leher. Alias mengeluarkan kemampuan menge-GASS masing-masing. "Ya terus? Gue kenal lo, Fel. Lo pasti masih kesal ya gara-gara ulah Kak Lingga tadi pagi? Itu Bu Ajeng—nyokapnya Kak Lingga juga aktif banget kalau disuruh nasihatin muridnya. Kenapa nggak jadi guru BK aja sih!? Kesel gue!" "Ssssttttttt..." Fela memperingatkan Ninis agar memelankan suaranya. Akan tetapi, sudah terlanjur ketahuan oleh petugas perpustakaan. Tanpa menunggu teguran yang terucap dan semakin menyakitkan hati, Fela menyeret Ninis. Keduanya pun meninggalkan ruang perpustakaan. "Apa-apaan sih lo!? Iya-iya, gue tahu kok kalau di perpustakaan nggak boleh berisik." "Ya kalau kamu tahu. Kenapa masih berisik, Nis?" "Pengen lihat ekspresi Bu Findy kalau marah! Gue kangen." "Ih mulutnya.." "Ya habisnya lo, Fel. Udah tau gue lupa tempat, masih aja ditanya. Udah, yuk kalau mau berantem di GOR sekolah aja. Di sana sepi! Sekalian, mau main basket?" Senyum Fela merekah, "ayo, Nis!" "Giliran diajakin main basket aja lo cerah wajahnya! Heran gue sama lo. Aktif banget sih lo. Di mana-mana, orang kalau lagi nge-down tuh bete ngapa-ngapain. Nah ini, lo semangat banget buat aktivitas." "Memperbanyak aktivitas itu bisa bikin aku lupa sama kejadian tadi pagi. Sumpah yaa, aku tuh kesel banget sama dia. Lain kali, aku nggak bakal mau diam aja kalau dirundung. Nggak! Aku bakal tunjukin—" "Tunjukin jurus karate lo?" "Hmm, kalau kepepet," jawab Fela dengan ekspresi meringis. "Gaya lo!" Sebenarnya, Fela merupakan tipe seseorang yang tak ingin memperlihatnya kemampuan bela dirinya di depan orang lain. Terlebih orang tersebut bukan bagian dari tempatnya menuntut ilmu bela diri. Bukannya meremehkan kekuatan orang lain, hanya saja ia tak mau bertanding dengan lawan yang bukan tandingannya. Meskipun aslinya mungkin Kalingga juga pandai bertengkar. Tapi tetap saja, ia sudah membuat Fela geram padanya. Karena Kalingga, Fela menjadi ketua kelas yang ditegur sekaligus dihukum di depan kelas.   ***   Seorang gadis tengah menunggu jemputan pulang dari supir pribadi yang kata mamanya sudah diminta untuk menjemputnya. Namun, hingga tiga puluh menit lamanya—supir pribadi itu tidak kunjung datang menjemputnya. Ditambah, suasana sore yang semakin petang, dan mendung. Gadis itu berharap semoga hujan tidak turun saat ini, karena ia tidak bersiap membawa payung atau jas hujan sekalipun. Paula Daprilla Paulus, nama yang selama ini tersemat untuknya. Menjalani hari-harinya berada di antara kedua belah pihak keluarga yang telah terpecah dan membangun kehidupannya masing-masing, Paula kerap bingung menempatkan dirinya dan membagi waktu untuk daddy dan mamanya. Namun, seringnya memang selama ini Paula tinggal bersama dengan Daddy Regar dan Bunda Rara Sore ini, Mamanya—Pewita, meminta Paula untuk menginap semalam di rumahnya. Ada suatu hal penting yang ingin dibicarakannya pada Paula. Entah hal apakah itu? Paula harap merupakan berita baik, karena nyatanya kehidupan rumah tangga sang mama tidak seharmonis kehidupan rumah tangga daddynya. Brrrmmmm..bbrrrmmm Suara motor sport yang kini berhenti tepat di sampingnya itu, seketika membuat Paula sedikit menyingkir, mungkin saja posisinya terlalu menengah. Namun ternyata tangan pria yang menaiki motor tersebut menarik tangan Paula, sehingga pergerakannya terhenti. Dahi Paula mengkerut, pasalnya ia merasa sangat asing dengan pria terhelm kaca hitam itu. Motor sportnya pun sama sekali tidak dikenali oleh Paula. Yang jelas, bukan motor Elvan yang selama ini menjadi partner berangkat-pulang sekolahnya. Ketika kaca hitam helm tersebut dibuka oleh sang pemilik. Barulah Paula dapat melihat matanya yang sangat tidak asing. “Bang Wira!?” panggil Paula pada Wira yang mengikuti panggilan Elvan pada kakak sepupunya itu. Entahlah, sebatas spontanitasnya saja.. “Ngapain masih di sini? Nunggu jemputan? Tumben nggak bareng si Elvan.” “Iya, Bang. Lagi nunggu jemputan supir Mamaku.” “Gue antar aja, gimana?” tawar Wira di luar ekspektasi Paula, karena selama ini—Paula mengira sosok kakak sepupu Elvan ini begitu dingin dan kurang peduli dengan sekitarnya. Apalagi dengan Paula yang merupakan teman Elvan. Paula tampak berpikir, apakah ia harus mengiyakan tawaran Wira? Toh, yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang menjemput. Hari sudah semakin petang dan mendung, Paula hanya takut apabila hujan lebih dahulu turun sebelum ia benar-benar dijemput. “Gimana? Gue mau sekalian ke tempat latihan gue, nih.” “Nggak ngrepotin Bang Wira? Soalnya, aku pulang ke rumah Mamaku, bukan Bundaku.” “Udah, cepetan naik!” titah Wira tanpa berpikir panjang. Padahal Wira paham dengan penjelasan singkat yang diutarakan padanya barusan. Yaaa..sedikit banyaknya Elvan sudah sering menceritakan Paula padanya. Tak terkecuali kehidupan pribadi Paula yang memang diketahui Elvan, dan sering Elvan curhatkan pada Wira. Meskipun seringnya diabaikan begitu saja oleh Wira. Pasalnya, Wira terlampaui eneg dengan sikap kurang tegas Elvan mengenai statusnya dengan Paula yang sebenarnya saling sayang, namun justru menjebakkan diri di friendzone! Orang waras, sudah pasti akan menghindari status pertemanan bullshiit itu.. Di sepanjang perjalanan, tidak ada yang membuka suara. Wira fokus dengan jalanan yang cukup padat di depannya, sedangkan Paula sesekali menatap layar ponselnya guna mengecek balasan yang mungkin saja dikirim oleh sang mama. Akan tetapi, hasilnya nihil. Beberapa kali Paula mengecek ponselnya, ia sama sekali tidak mendapatkan notifikasi pesan satu pun dari sang mama. Yang ada justru notifikasi pesan dari Bundanya—Indira. Bunda Rara Paula sudah sampai di rumah Mama? Tak ingin membuat bundanya khawatir. Paula terpaksa berbohong. Lagipula, Wira memang benar-benar bersedia mengantarkan Paula sampai kediaman mamanya. Paula Iya, Bunda. Paula sudah sampai di rumah Mama. Bunda tenang aja.. Menempuh perjalanan lamanya kurang lebih dua puluh menit, akhirnya Wira menghentikan motornya tepat di depan gerbang besar rumah mama Paula. Sesuai dengan petunjuk jalan yang diberikan oleh Paula tadi, karena memang baru kali ini Wira melajukan kendaraannya di daerah perumahan mewah Purnama Indah. Yang Wira ketahui selama ini, adalah rumah Paula yang berada tak jauh dari rumah Elvan—ya, kediaman Pak Regar, papa Paula. Tangan Paula bergerak melepaskan helm yang dipakainya, dan menyerahkannya Kembali pada sang pemilik. “Thanks ya, Bang. Maaf kalau aku ngrepotin Bang Wira. Rumah Mamaku emang jauh..” “Santai aja, masuk gih!” Paula mengangguk, “sekali lagi, makasih banyak Bang Wira. Pulangnya hati-hati ya, udah mau petang nih.” Tak ada lagi jawaban yang keluar dari bibir Wira. Hanya anggukan kepala yang menandakan bahwa ucapan Paula terdengar di kedua telinganya. Kemudian setelahnya Wira melajukan motornya. Jujur saja, karena mengantarkan Paula pulang ke kediaman mamanya ini—Wira sudah sangat terlambat untuk mengikuti latihan rutin sore ini di tempat latihan milik sang ayah. Hingga di tengah-tengah jalan, Wira mendapati ponselnya bergetar. Dan sudah pasti itu sangat menganggunya yang tengah berusaha tetap fokus mengendarai motor. Akhirnya, ia putuskan untuk menepi sejenak, mematikan mesin motornya, dan melepaskan helmnya melindungi kepalanya. Mungkin saja telepon penting, karena sejak tadi pun tidak berhenti menghubunginya berkali-kali. Ayah is calling.. “Halo—” “Kamu nggak punya jam!? Bukannya tadi pagi Ayah udah pesan sama kamu!? Hari ini kamu harus ngelatih Fela, Wira! Ayah ada pertemuan dengan para pelatih! Senpai Dipta juga belum bisa ke tempat latihan karena masih sibuk dengan urusan kuliahnya!” Suara tinggi yang terdengar dari seberang sana membuat bulu kuduk Wira meremang. Sudah dapat dipastikan bahwa sang ayah tengah marah besar. Wira menepuk dahinya, ia benar-benar lupa dengan pesan dari sang ayah. “Tadi Wira masih ada urusan penting, Yah. Wira minta maaf. Ini juga Wira sudah di jalan menuju ke tempat latihan. Minta Fela buat nunggu Wira dulu ya, Yah? Wira janji, sampai di sana akan langsung—” Tutt…tuuuttt.. Panggilan terputus sepihak. Wira mengumpat karena kesal. Bagaimana bisa ia melupakan pesan penting dari sang ayah!? Jika sudah seperti ini, jelas Wira harus mempersiapkan diri untuk mendapatkan hadiah spesial dari Wijaya. Tak kehabisan akal, Wira pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada nomor Fela yang didapatnya dari grup murid-murid di bawah bimbingan sang ayah. Untung saja ia mendapati pesannya yang terkirim itu centang dua, meskipun masih abu-abu. Wira harap berubah menjadi centang dua biru sebelum dirinya sampai di tempat latihan. “Awas aja kalau lo sok sibuk dan pesan gue nggak kebaca sama lo..” geram Wira di balik helmnya, dengan mengendarai motor berkecepatan tinggi.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN