Kebohongan

1073 Kata
"Hei!" Citra berbalik setelah mendengar panggilan itu. Dia melihat Melinda, gadis yang baru saja dibicarakan oleh dua wanita di dalam toilet. Melinda berdiri sambil bersedekap, dan memasang tampang garang. Citra melengos lelah, dia ingin mengakhiri acara pura-pura ini dengan cepat. "Iya?" tanya Citra sambil berdiri di tempatnya. Melinda mendekat dan menatapnya dengan tatapan menyelidik dari ujung kepala hingga ke kakinya. Melinda mendecih tidak suka, cantik juga. "Sejak kapan kau pacaran dengan Bribri?" "Hah? Biri-biri?" Citra memiringkan kepalanya bingung. Sejak kapan dirinya punya hubungan dengan spesies kambing itu! Melinda mengepalkan tangannya tak suka, "Bribri! Bryan maksudnya! Bukan biri-biri, dasar bodoh!" "Oh ... pak bos." Ups! Citra segera menutup mulutnya yang keceplosan. Melinda yang tidak bodoh langsung menyadarinya dan memasang tatapan lebih tajam. "Oooh ... ternyata kau salah satu pegawainya di kantor rupanya, cabang mana? Divisi apa? Siapa atasanmu?" Melinda bertanya bertubi-tubi. Citra merasakan perasaan tidak enak menjalar di dadanya, "Buat apa tanya?" "Mau kupecat trus kukasih uang pesangon yang banyak, biar kamu ngilang dari kehidupannya Bryan." Melinda mengeluarkan senyuman liciknya. "Jujur aja, kamu deketin Bryan karena uangnya kan? Atau karena ketampanannya? Atau mungkin ... kamu pernah ditiduri olehnya?" Citra semakin kesal, tapi dia tak bisa membalas apapun karena nyawanya di tangan bosnya itu, dan dia tidak boleh mengacau hari ini. "Kok diem sih, aku tanyain jawab dong. Gagu?" wajah pembully Melinda semakin terlihat, dia sudah bukan malaikat cantik super kaya dan juga penuh pesona. Entah dapat darimana, Citra tiba-tiba memiliki sebuah ide untuk membalas semua perkataan Melinda yang benar-benar menjatuhkan harga dirinya. Enak aja aku keluar dari sini cuma bawa malu, sekali-kali bikin malu konglomerat kan bisa jadi bahan cerita anak cucu. "Mau tahu kenapa?" Citra menutup mulutnya dengan satu tangan dan berlagak dramatis, ia menurunkan tatapannya ke arah lantai seolah sedih dan tidak mau mengingatnya lagi. Melinda yang ditelan rasa penasaran sudah tidak bisa lagi menahan gengsinya, "Ka-katakan padaku! Apapun itu, aku akan membuatmu pergi dari sisi Bribri!" Citra mengangguk pelan, berlagak sedih kembali. Dia melambai kecil dengan tangannya yang satunya untuk memberi isyarat pada Melinda agar maju mendekat. Melinda menurut saja dan mengarahkan telinganya menghadap wajah Citra. Citra menahan kikikannya yang hampir keluar, entah darimana ia mendapat sifat usilnya ini. Dari emak mungkin. "Sebenarnya ... aku ..." Citra mulai berbisik di telinga Melinda, membuat mata gadis itu membukat karena terkejut. Tiba-tiba saja Melinda mundur dengan kilat dan menatap Citra dengan tatapan tak percaya. Citra yang terkejut karena perubahan sikap Melinda yang tiba-tiba ikutan menatapnya dengan aneh. "Gak mungkin!" Melinda berteriak sendiri, bahkan dua wanita yang tadi berada di toilet terkejut ketika keluar dan melihat Melinda yang ngos-ngosan karena marah. "Gak mungkin, gak mungkin, gak mungkin. Aku gak bakal biarin kamu begitu aja, aku bakal laporin kamu ke tante! Tanteeee!" Melinda langsung pergi dan menangis ke arah tempatnya datang. Citra yang ingin menjelaskan kebenarannya hanya mematung saat candaannya itu justru akan membawanya ke jurang petaka. Sial! Citra, kau terbawa suasana bodoh! "M-Melinda! Tunggu!" tanpa pikir panjang lagi, Citra segera berlari mengejar Melinda yang sudah pergi cukup jauh. "Mereka berdua kenapa sih?" tanya wanita dengan gincu merah terang di bibirnya. "Entahlah, gila." dijawab oleh temannya yang satunya, yang mengenakan bulu mata bagai bak Syahrini. Mereka berdua bergidik takut sebelum akhirnya pergi dari toilet yang akan menjadi saksi bisu akan nasib Citra selanjutnya. Di kamar Ayunda, tiga orang tengah duduk mengelilinginya. Bryan, Rey dan juga Dokter Tommy. Sementara Ayunda berbaring di kasurnya dengan wajah pucat dan tatapan kosong. "Sepertinya Nyonya terkena syok ringan, minum obat pereda nyeri yang saya berikan dan juga anti-depressan untuk meminimalisir kejadian seperti ini lagi. Ditakutkan jika berkepanjangan maka akan menimbulkan stroke." Dokter Tommy menjelaskan panjang lebar. Ayunda tidak menjawab dan hanya berpaling muka. "Mah, kalo dibilangin dokter nurut." Bryan menggenggam tangan ibunya. Meski dia terlihat dingin, namun sesungguhnya Bryan sangat penyayang dengan orang-orang yang dekat dengannya, kecuali Melinda. "Gimana Mamah mau nurut? Orang penyebab stress Mamah juga gak hilang-hilang. Benar 'kan, Rey?" Ayunda merengut lagi. Rey menipiskan bibirnya, dalam hatinya ia tidak mau ikut campur dalam pembahasan keluarga ini. "Iya, tan." Bryan melirik Rey tajam, namun Rey hanya mengangkat bahunya seolah-olah berkata, 'Aku tidak bisa menolak untuk menjawabnya, kawan.' "Baiklah, Nyonya bereskan dulu penyebab stressnya. Saya akan mengirimkan obat secara detailnya lewat kurir, saya pamit dulu, permisi." Dengan satu anggukan dari Bryan, Dokter Tommy membereskan kopernya dan segera pergi ke luar. Bryan menatap ibunya yang masih terlihat cantik meski tengah sakit tersebut. Apa dia harus menyudahi pura-puranya saja dan mematuhi ucapan ibunya? Bryan menggeleng, tidak, itu terlalu sulit untuknya. Bahkan untuk melihat wajah gadis itu saja, Bryan sudah tak mau. Dia benci saat melihat wajah Melinda. "Bry, sekali-kali kamu ikutin permintaan Mamah kenapa. Mamah udah tua ..." Ucapan ibunya itu ingin dibantah oleh Rey dan Bryan karena melihat fisik Ayunda yang dilihat darimanapun masih sangat kencang dan bersih. "Mamah juga pengin gendong cucu, bayi yang lucu lagi. Kamu udah gak ada lucu-lucunya, bikin Mamah stress yang ada." Rey tertawa tertahan, dia langsung mendapat lirikan maut dari Bryan yang mendengus kesal. "Bryan masih 28 tahun, masih ingin bebas mah." Ayunda mencebik, "Iya kamu masih muda. Tapi Mamah gatau bakal mati kapan, mungkin besok? Malam ini? Atau bahkan 1 jam ke depan? Mamah cuma pengin liat kamu udah ada pasangan, Bry. Kamu mau rumormu tentang penyuka sesama jenis itu menyebar kemana-mana?" "Tapi itu palsu, Bryan bisa penjarain mereka semua." "Hiss, kamu itu ya kalo dibilangin selalu saja susah." Ayunda melengos pasrah, dia sudah lelah berbicara dengan Bryan. Bryan pun demikian, dia sudah lelah dengan perkataan Ibunya yang mengatakan mati, mati dan mati. Dia benci kata tersebut. "Baiklah, jika itu ..." BRAK! "TANTEEEEE!!!" Ucapan Bryan tiba-tiba dipotong oleh kehadiran Melinda yang masuk dengan membanting pintu dan menangis keras. Ayunda yang terkejut langsung turun dari ranjangnya dan memeluk Melinda dengan erat. "Cup, cup, kenapa sayang kok kamu menangis gitu?" tanya Ayunda. Bryan menyandarkan punggungnya di kursi dan memandang ke arah lain. Tiba-tiba saja moodnya menjadi tidak bagus lagi. Melinda menahan isak tangisnya, "Itu tan ... itu ... itu ..." Ayunda mengernyit bingung, "Itu-itu kenapa?" Citra sampai di depan pintu, melihat banyak orang yang berada di dalam kamar. Dia harus bertanya pada beberapa pelayan karena tidak tahu letak kamar ini dan menjadikannya terlambat sedikit. Di sana, Melinda tengah terisak-isak sambil memeluk ibunya Bryan. Citra menggigit bibirnya keras sambil menggeleng lirih, "Jangan ...." "Itu tante! Pacarnya Bryan hamil seorang bayi!" teriak Melinda keras, membuat semua orang di kamar terkejut dan menoleh. "Apa? Hamil?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN