Gosip

1017 Kata
"HAH?!!!" Vivi dan Sera membuat wajah terkejut dan mengejutkan seisi kantor. Mereka usai mendengar cerita Citra. Citra menutup wajahnya sendiri, karena malu. Semalam setelah pestanya telah usai karena Ayunda, si tuan rumah merasa badannya tidak sehat dan mempersilahkan undangan untuk pulang dan Citra pun diantar oleh Rey, sementara Bryan memilih untuk tetap di sisi ibunya. Citra masih teringat jelas kata-kata Ayunda, "Nanti kalau bayinya gerak bilang ke tante ya Cit, tante pengin ikut ngerasain." "HWAAAAA! GIMANA INI! AKU BODOH BANGET, BODOH BANGET, BANGET, BANGET!" Citra membenturkan kepalanya ke meja kantor berulang kali. "Ta-tapi ... itu artinya kamu nikah sama pak bos yang super duper ganteng itu dong? Hwaaaa, aku iri banget Ciiiit." Vivi membuat raut kagum sekaligus iri. Sera mengangguk setuju. Kabar pernikahan ini sudah menyebar di seluruh kantor sejak pagi hari. Bahkan saat Citra baru masuk ke dalam lobby, sudah banyak pegawai yang menggunjingkannya dengan keras dan lantang. Mereka semua tidak tahu apa alasan sebenarnya Citra dan Bryan akan menikah. Hanya diberi alibi, 'pegawai kantor biasa yang mendapat cinta sang tuan muda'. "Oh ini, si penggoda tunangan orang ternyata." Rani tiba-tiba datang dan mengacaukan suasana. "Wuuuuu, penghancur hubungan orang." Lena mengacungkan jempolnya ke bawah, diikuti dengan Leni, kembarannya yang ikut-ikutan. "Apa maksud kamu, mbak?" Citra tidak terima. Kini sepenjuru ruangan kantor menatap gerombolan ini dengan penuh tanda tanya. Rani masih sibuk memelintir rambutnya yang tadi pagi baru saja ia catok keriting. "Yaa emang kan, kamu itu PHO. Lagian siapa sih yang gak tahu kalo pak Bryan itu udah punya tunangan, namanya Melinda Veronica Gustaiman, putri bungsu keluarga Gustaiman yang kekayaannya disangka setara sama keluarga Zulkarnain! Ngaca dong kamu Cit, kamu itu cuma remahan yang nyempil di kehidupan mewah mereka, hahaha." Rani memeletkan lidahnya yang panjang ke arah Citra dan tertawa nyaring bersama teman-temannya. Sera mengepalkan tangannya kesal, "Boleh kupukul jalang ini ga Cit? Udah kesel banget asli." Vivi menenangkannya, meski dia sendiri juga ikut kesal nendengar ucapan si wanita ular tersebut. "Jangan mbak, kasihan. Ntar make-upnya rusak, malah nanti cowok-cowok gak ada yang mau sama dia." Citra membalasnya dengan lembut, tidak lupa ia menambahkan senyuman kecil sebagai penutup. Sera dan Vivi menahan tawanya agar tidak menyembur ke luar. Sementara wajah Rani memerah karena kesal. "Dasar wanita penghancur hubungan orang! Berani-beraninya kamu menghinaku!" Rani mengangkat tangannya, hendak menampar Citra. Namun dalam satu tangkapan oleh Citra, tangannya berhasil ditahan dan membuat wanita itu terkejut. "Apa-apaan? Lepaskan!" Rani memaksakan tangannya, Citra melepaskannya dan membuat Rani hampir terjungkal. "Makanya kalo ngomong jangan lupa otaknya dipake dulu, belepotan kan, emang dasarnya ga punya otak ya gini." Citra menatap Rani tajam dan berlalu pergi. Dia sudah penat mendengar omongan orang. Rani merasa sangat kesal, dia menghentakan kaki ke lantai dengan keras. "Citra, dasar lacur murahan!" Citra menutup telinganya sambil terus berjalan, dia berusaha untuk menghiraukan semua ucapan-ucapan tersebut. Hingga dirinya telah sampai di taman kantor yang berada di atap gedung. Taman yang di desain dengan kubah kaca dan tanaman di dalam pot benar-benar membuat udara sejuk di hari yang cukup panas ini. "Huft, menyebalkan." Citra menendang salah satu kerikil di depannya. Dia berjalan lunglai menuju salah satu bangku di tepi atap gedung. "Semua orang selalu saja menilai dari satu sisi, entah itu baik ataupun buruk, semuanya dipukul rata. Dan juga kenapa gosip menyebar seperti angin yang bertiup kencang, padahal kebohongan yang terus dikatakan secara berulang kali akan dikatakan sebagai kebenaran." Citra duduk di bangku dan bersandar lemas di sana. "Apa keputusanku sudah benar?" dia menatap langit lewat kubah kaca transparan, warna biru cerah mengisi seluruh indra penglihatannya saat ini. "Emak, abah, apa Citra salah menerima tawaran untuk menikah selama 3 bulan dan mendapat uang banyak sebagai gantinya?" dia bergumam lagi. "Apa Citra terlalu serakah ya mak?" "Padahal Citra cuma pengin naikin haji emak sama abah, soalnya bulan lalu Citra lihat celengan di kolong kamar kalian, tulisannya 'buat naik haji' ... tapi pas Citra cek ternyata isinya gak sampai 200.000." Citra terisak, ia merasa sesak menyerang dadanya saat ini. "Padahal ... uang SPP Putri juga belum dibayar, Citra juga tahu kalo seragam Putri gak pernah ganti. Citra ngerasa sakit pas lihat Putri pakai seragam lama Citra, yang warnanya udah kuning, gak bisa dibandingin sama yang lainnya." Citra menunduk, dia menghapus air matanya yang mengucur deras. "Citra malu sama emak ... malu sama abah ... malu sama Putri ... malu sama Allah ... Citra belum bisa bahagiain kalian sampai saat ini. Citra gak pernah bisa kalian apa-apa." "Maafin Citra ya mak ... abah ..." Citra semakin sesenggukan, dia sudah tidak bisa menahan luapan emosinya yang semakin menjadi-jadi. Tanpa Citra tahu, sedari tadi semua curahan hatinya di dengar oleh seseorang yang juga berada di sini sejak tadi. Seseorang itu tengah berbaring di rerumputan hijau, merasakan segarnya embun yang menempel di rumput dan tidak memedulikan kemejanya yang kotor akibat tanah menempel di sana. Matanya memandang ke langit, dan telinganya masih setia mendengar isakan Citra yang tengah meluapkan semua emosinya. "Dasar cengeng," gumamnya lirih, dia menutup matanya dengan lengan dan mulai terpejam kembali. Tidak benar-benar tidur, setidaknya sampai gadis itu bisa mencurahkan semuanya yang ada di dalam hatinya. Dia rasa, mendengarnya sedikit lagi tidak akan ada masalah. Lagipula, waktu senggangnya sangat banyak akhir-akhir ini. Setelah setengah jam berkutat dengan air mata, Citra mengeluarkan sapu tangan miliknya dan membersihkan sisa-sisa ingusnya. Citra mengeluarkan concealer cair miliknya, dan mengoleskannya di bawah mata untuk menyamarkan mata bengkak yang diperolehnya karena menangis. Citra yang sudah memperbaiki penampilannya lagi lalu tersenyum, meski terlihat hambar dan tidak memiliki semangat. "Oke Citra, mulai sekarang kamu harus bersikap apatis dan cuek dengan semua pendapat orang. Inget tujuan utamamu, bikin bahagia keluarga! Kebahagiaanmu kapan-kapan aja!" Citra mengepalkan tangannya, dia harus bersemangat lagi atau pak bosnya akan mengirimnya ke pulau Buru untuk diasingkan. "Aaaah tidak, aku terlalu lama di sini. Waktu sudah pukul 5 sore, aku harus cepat." Citra melirik jam dinding di atas pintu masuk yang sudah menunjukan waktu yang semakin sore. Hari ini Citra harus menyelesaikan tugasnya, jika tidak ia akan mengambil lembur. Demi tuhan, Citra benci lembur! Lebih tepatnya, Citra benci dengan mitos hantu yang beredar di kantor ini! (maaf lama bund, jangan lupa komentar ya^^)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN