6. apartemen2

1443 Kata
Faktor capek dan kurang istirahat. Sherina bisa tidur dengan mudahnya hanya bersandar dibahu cowok asing berotak seperempat yang kini berstatus kekasihnya. Vasco menggendok tubuh wanitanya masuk kedalam kamar. Menidurkan Sherina diatas tempat tidur miliknya. Tersenyum menatap wajah lelah diwajah cantik Sherina. Pelan, Vasco mencium kening yang tertutup poni itu. “Kamu mudah banget tidur, yaang. Aku makin khawatir kalo kamu pergi sama cowok lain. Tebak aja, apa yang bakalan cowok itu lakuin liat kamu ngebo gini? Ppcck, pcckk, ppckk ....” menatap bagian perut Sherina yang kaosnya menyibak. Memperlihatkan kulit perut yang putih dan tipis. “Kamu sexi.” Mengambil selimut yang terlipat disamping kepala Sherina dan menutup tubuh ramping itu. Dia ikut naik ke atas tempat tidur, membaringkan tubuhnya disamping Sherina. Melingkarkan tangan dibagian perut. Gemes liat wajah imut Sherina, ia memajukan wajah, mengecup lembut pipi cubby yang putih. “Aduuh, aku gemes banget liat kamu. Pengennya nyium mulu. Bisa kebablasan kalo aku bobok disebelah kamu.” Ngedumel sendiri. Segera beranjak, mematikan lampu, lalu ia keluar dari kamar. Merebahkan tubuhnya diatas sofa, mengambil ponsel milik Sherina yang tadi sempat ia rebut. Membuka dengan mudah karna memang tadi melihat cara membuka kuncinya. Tersenyum sendiri melihat isi galery yang kebanyakan foto selfie. Di galery itu sama sekali tak ada foto keluarga, hanya foto Sherina bersama teman-teman kerjanya. Menghapus semua foto Sherina bersama teman cowok dan menyiskan foto yang tak ada cowoknya. Tiga puluh menit berlalu, Vasco mulai merasa ngantuk, meletakkan ponselnya dan ponsel milik sang kekasih diatas meja, lalu mulai memejamkan mata. ** Pukul 7.30am Sherina merenggangkan otot tangan, lalu menguap, masih dengan mata yang terpejam, ia bangun. Tidurnya terasa sangat nyenyak, kasur yang empuk dan suasana yang adem, nggak sumpek dan gerah. Ceklek! Matanya mentipit saat mendengar bunyi pintu dibuka. Siapa pagi-pagi begini sudah membuka pintu kamarnya? Begitu pikirnya. Sherina gelagapan saat melihat Vasco melangkah masuk dengan bertelanjang d**a. “Udah bangun, yaang?” tanyanya. Tak mempedulikan pacarnya yang menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia membuka lemari dan mengambil baju ganti. Tersenyum menatap kekasihnya yang masih dengan posisi sama. mulai iseng, berjalan mendekat, duduk ditepi tempat tidur. “Yaang, kamu ngapain?” “Vasco! Iihh, pakai baju sana. Malu, tauk!” teriaknya. Vasco terkekeh, membawa baju gantinya masuk kekamar mandi yang ada didalam kamar. Mendengar suara pintu tertutup, Sherina membuka kedua tangan. Menatap kesekitar. Merasa bingung kenapa dirinya bisa berada didalam kamar milik cowok sinting itu. Tapi, menit kemudian ingat jika semalam sudah ketiduran dibahu kekasihnya. Segera turun dari tempat tidur saat menyadari hari sudah beranjak siang. Keluar dari kamar, meraih ponsel yang menunjukkan jam 7.45am. “Astaga, gue bisa telat. Hari ini kan ada briving.” Keluhnya. “Kenapa, yaang?” tanya Vasco yang baru aja keluar dari kamar. Tangannya mengacak rambut yang sedikit basah. Sesaat Sherina terpaku menatap cowok sinting yang sialnya sangatlah tampan ini. Vasco tersenyum, menyadari tatapan Sherina. “Kenapa? Aku tampan?” tanyanya dengan senyum menggoda. Sherina gelagapan, mengalihkan pandangan. “Iissh, apaan!” memanyunkan bibir. “Kenapa semalam nggak anterin aku pulang? Aku bisa telat masuk kerja. Hari ini ada briving penting.” “Mulai sekarang kamu tinggal disini aja, ya. Sama aku.” “Hah?!” mata Sherina melotot mendengar yang baru saja keluar dari mulut Vasco. “Jan gila deh! Kita ini bukan saudara. Nggak bisa tinggal disatu atap. Apa lagi Cuma berdua, nggak! Nggak mau!” tolaknya tegas. “Aku pengen jagain kamu, yaang. Tinggal disini kan juga nyaman.” “Vasco, berhenti deh ngomongin hal gila. Aku harus balik ke kost, harus siap-siap buat kerja.” “Mandi dulu aja disini, ntar aku antar ke kost.” Suruhnya dengan sangat santai. Lalu ngeloyor masuk kedapur. Sherina yang sebenarnya kurang setuju memilih nurut, masuk lagi ke kamar Vasco lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebentar. Tak perlu waktu lama, ia sudah keluar kamar. Tentu sudah mandi tapi tak mengganti bajunya. “Sarapan dulu, yaang. Aku bikinin s**u sama roti panggang.” Menaruh dua gelas s**u putih serta beberapa helai roti diatas piring. Sherina merasa iba. Apa setiap harinya Vasco akan seperti ini? Sendirian menyiapakan segala kebutuhannya? Ikut duduk dikursi kosong, meraih gelas s**u dan meneguknya sedikit. Lalu ngambil sehelai roti, menggigitnya pelan. “Kamu tiap hari siapin semua ini sendiri ya?” tanyanya takut-takut. Vasco nagngguk, meneguk susunya, lalu kembali menggigit helaian roti yang ada ditangan. “Udah biasa sih. Hampir satu tahun ini.” Mendadak Sherina kesulitan menelan roti yang udah ia kunyah sejak tadi. Segera ngambil minum dan meneguknya pelan. Memilih menunduk menyembunyikan rasa iba. “Udah selesai?” tanyanya setelah menghabiskan s**u segelas. Sherina ngangguk, menelan roti kunyahan terakhirnya. “Habisin susunya, yaang. Kasihan lho, aku bikinnya udah ada taburan cinta.” Tersenyum memandangi wajah kekasihnya. Tertawa kecil saat melihat mulut Sherina yang ada sisa s**u melingkar ditepi bibirnya. Tangan Vasco terulur, mengelap sisa s**u dibibir Sherina. Berhenti saat mata keduanya bertemu. Saling tatap dengan jantung yang berdetak lebih cepat. “Tinggal disini ya, yaang. Nemenin aku.” Pintanya dengan tangan masih berada dibibir Sherina. Sherina mengalihkan pandangan, meraih tissu lalu mengelap bibirnya. “Aku nggak bisa, Vas. Apa kata orang-orang? Melihat kita yang tak ada ikatan apapun tinggal satu atap.” Vasco tertawa menyeringai. “Peduli banget kamu sama omongan orang luar. Padahal kita makan nggak pernah minta mereka. Aku nyiapin makan tiap hari mereka juga nggak bilang kasihan. Terus, kenapa saat ada kamu mereka harus komentar? Masih mau dengar kata orang?” Sherina membuang nafas melalui mulut. “Vas, aku bisa telat. Kalo kamu nggak bisa anterin, biarin aku balik ke kost sendiri.” Tak ingin berdebat, karna pasti Vasco akan dengan seenak jidat melakukan apa yang dia inginkan. Sherina beranjak, mengambil ponsel yang tergeletak dimeja depan teve. Lalu berjalan menuju pintu keluar. Berdiri menatap Vasco yang hanya diam menatapnya. “Bukain pintu.” Pintanya. “Bentar, aku ambil jaket dulu.” Masuk ke kamarnya, ngambil jaket dan kunci motor, lalu keluar. ** Motor merah itu berhenti didepan gerbang warna emas yang sudah terbuka, karna mayoritas penghuni kost adalah anak-anak karyawan mall, jadi mereka sudah berangkat kerja. Sherina buru-buru turun dari boncengan. Berlari masuk kedalam tanpa peduliin Vasco, udah yakin kalo cowok itu pasti akan menunggunya. “She, lo semalam nggak balik kost?” Arum, teman kost Sherina, yang jadi karyawan di mall juga, tapi selalu beda shif dengannya. Sherina tak menjawab, hanya nyengir sambil memasukkan kunci kamar, lalu masuk. Secepatnya ganti baju dan sedikit mengoles bedak serta lipstik. Sisanya, ia akan teruskan dikantor. Saat membuka pintu, ternyata Arum masih diteras depan, matanya tertuju pada Vasco yang diam diatas motor. “Oo ... kamu semalam sama cowok itu?” Arum tersenyum miring. “Udah punya pacar ya? Sekali punya pacar langsung nggak bener.” Sherina melotot mendengar ucapan Arum. “Astaga, gue emang semalam nggak tidur di kost. Gue emang pergi sama dia, tapi kita nggak ngapa-ngapain.” “Kalo tante Resti tau, pasti keren, kan?” Arum menyeringai, tersenyum penuh kesenangan. Tangan Sherina mengepal. “Lo—“ “Yaang, buruan, kamu nanti telat lho.” Teriak Vasco dari bawah. Tak peduliin Arum lagi, ia menabrak pundak Arum saat melewatinya. Lalu berjalan menuruni tangga, sedikit berlari, memegang kedua bahu Vasco dan naik ke boncengan. Motor langsung melaju meninggalakan area kost. Cukup lima menit, motor gede milik Vasco berhenti tepat dibelakang mall. Karna memang kantor swalayan Cae ada dibagian belakang. Sherina turun dari boncengan, berdiri disamping kekasihnya, sigap tangan Vasco merapikan rambut Sherina yang sangat berantakan, lalu mengelap bibir Sherina yang ternyata lipstiknya sedikit belepotan. Tersenyum lebar menatap Sherina yang diam dengan mata melotot. “Jangan lupa, nanti lipstiknya dibenerin. Pulang jam berapa? Kek kemaren?” tanyanya masih dengan senyum manis. Sherina terkesiap, gugup. Setiap kali Vasco menyentuh wajahnya, atau berlaku manis, jantungnya mendadak tak normal.”Aku—aku balik jam ... jam empat biasanya. Tapi, nggak tau nanti jam berapa. Soalnya hari ini tanggal merah, pasti nanti rame, biasanya suruh lembur.” “Yaudah, nanti kasih tau aku ya.” Mengelus lembut pipi cubby Sherina. “She! Buruan, briving dua menit lagi!” teriak Leon yang tetiba muncul dari pintu kantor. Sherina dan Vasco sama-sama menoleh kearah pintu. “Iya,” jawab Sherina cepat. Lengannya ditarik saat hampir melangkah masuk. Vasco menatapnya tak suka. “Kenapa?” “Aku nggak suka kamu deket-deket cowok itu. Dia pasti yang semalam kirim pesan, kan?” Sherina membuang nafasnya kasar. “Vasco, aku sama Leon kenal udah hampir dua tahun lho. Kita nggak ada hubungan apapun. Hanya sekedar sahabat dan rekan kerja aja. Kamu nggak bisa larang-larang kek gini.” Jelasnya lirih, ia tak mau teman-teman yang didalam mendengar keributannya. “Kamu itu pacar aku. Dia harus tau itu. Dia nggak bisa seenaknya deketin kamu. Sok perhatian pula!” wajah marah, cemberut yang menandakan jika ia tak menyukai yang baru saja terjadi. “Iya, iya, iya, aku nggak akan dekat sama cowok lain selain kamu.” Akhirnya Sherina memilih ngalah lagi. “Janji?” “Iya, janji.” Ucap Sherina lirih. Cup! Dengan seenak jidat cowok tampan ini mencium pipi Sherina. Lalu tersenyum senang. “Yaudah, masuk. Nanti aku jemput. Kita pindah ke apartemenku.” Kembali Sherina menggeram tertahan. Tangannya mengepal dengan wajah yang menahan marah. “Hah, terserah!” memilih segera masuk ke kantor. Tak ingin lebih pusing lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN