Selamat membaca
Arka dan Yura memutuskan untuk pulang setelah selesai makan malam di luar. Sesampainya di rumah, Arka menemani Vano sejenak dan menunggu sampai tertidur sebelum dia kembali ke kamar.
"Aku mau kerja lagi," ujar Yura ketika Arka baru saja naik ke atas tempat tidur.
Arka seketika terdiam dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
"Uang yang aku kasih masih kurang?" tukasnya sarkas.
"Ini bukan masalah uang," sahut Yura lugas.
"Karena mantan bos kamu itu?" desis Arka sinis.
"Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan pak Marco. Jangan menyangkut-pautkan dia dalam pembicaraan kita," balas Yura.
"Terus apa alasannya kalau bukan karena dia, hah? Kamu tiba-tiba bilang mau kerja setelah bertemu dengan laki-laki itu."
"Aku bosan di rumah."
"Bosan? Jadi kamu lebih milih kerjaan dibandingkan ngurus suami dan anak kamu? Apa karir jauh lebih penting dibandingkan keluarga?" maki Arka sedikit menaikkan nada bicaranya.
"Memangnya Vano mau aku urus? Enggak, kan? Lagipula aku kerja bukan karena ingin mengejar karir, tapi karena aku ingin menghabiskan waktu dengan kegiatan yang lebih berguna," balas Yura.
"Kalau kamu memang ingin kerja, aku akan ijinkan. Tapi syaratnya harus kerja di kantor aku," pungkas Arka tegas.
"Apa bedanya sama aku dikasih uang bulanan sama kamu?"
"Uang bulanan sendiri, dan gaji kamu juga sendiri. Walaupun kamu kerja dengan aku, tapi aku akan tetap kasih kamu gaji," ungkap Arka.
"Pegawai yang lain akan merasa nggak adil kalau aku kerja di kantor kamu. Karena aku masuk dengan mudah tanpa persyaratan apa pun. Dan tentu saja perlakuan yang aku dapatkan jelas berbeda dengan mereka. Karena pekerjaan yang harus aku kerjakan pasti akan lebih ringan dibandingkan mereka yang gajinya sama dengan aku. Dan itu akan memicu konflik dari berbagai pihak," sahut Yura.
"Terus mau kamu apa? Kamu ingin aku biarin kamu kerja di tempat mantan bos kamu itu, hah?"
"Kalau kalau memang nggak cemburu, kamu nggak mungkin melarang aku kerja di sana," pungkas Yura lugas.
Arka seketika diam membisu dan tak bisa berkata-kata.
"Ya sudah, terserah! Silahkan lakukan apa pun sesuka kamu, aku nggak peduli!" desis Arka tajam dan beranjak dari tempat tidur.
Yura tersenyum getir. "Dari dulu kan kamu memang nggak pernah peduli sama aku, Mas."
Arka tiba-tiba terhenti ketika sudah bersiap pergi. Kemudian dia menoleh dan menatap lurus ke arah Yura.
"Aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah mengekspresikan perasaan aku. Itu juga yang sering kali membuat orang-orang salah paham dan menilai aku laki-laki yang dingin. Tapi satu hal yang nggak kamu tau, ada saat dimana aku memang peduli dengan kamu. Hanya saja aku nggak bisa menunjukkan apa yang aku rasakan saat itu."
"Seperti satu tahun yang lalu saat kamu harus dirawat di rumah sakit karena lambung kamu bermasalah. Kamu pikir aku nggak khawatir? Aku khawatir, Ra. Aku benar-benar takut terjadi apa-apa dengan kamu. Bahkan aku nggak bisa tenang karena setiap hari terus memikirkan keadaan kamu. Karena itu, aku selalu datang setiap hari ke rumah sakit untuk menjaga dan menemani kamu. Bahkan saat kerjaan sudah menumpuk dan aku harus lembur, aku memilih untuk meninggalkannya. Karena apa? Karena aku peduli dengan kamu, Ra," jelas Arka begitu dalam dengan tatapan sayu.
Yura tersenyum hambar. "Kamu bilang kamu peduli dengan aku? Terus apa arti sikap kamu selama ini, Mas? Apa kamu memikirkan perasaan aku di saat kamu justru lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan Giska dibandingkan aku? Kalau kamu memang peduli, seharusnya kamu mikirin perasaan aku setiap kali melihat kalian bertiga pergi menghabiskan waktu bersama. Sedangkan aku hanya di rumah sendiri menunggu kamu bersenang-senang dengan mantan istri kamu. Padahal aku istri kamu, kan? Tapi kenapa justru aku yang diasingkan?"
"Atau kamu memang sengaja ingin melukai perasaan aku?"
Arka menggelengkan kepala pelan dengan tatapan sendu. "Aku nggak pernah sedikit pun berniat menyakiti kamu dengan pergi bersama Giska, Ra. Aku hanya ingin menyenangkan Vano, itu saja. Tolong percaya dengan aku," tuturnya dengan nada suara rendah.
"Tapi tindakan kamu itu salah, Mas! Kamu nggak bisa memberikan batasan di antara kamu dan dia!" geram Yura dengan nada suara tinggi karena sudah tidak bisa lagi menahan amarah di dalam dirinya yang bergemuruh.
"Padahal kamu sudah punya keluarga sendiri, tapi kamu masih saja menoleh ke belakang."
"Kamu salah paham, Ra. Aku hanya nggak ingin menjauhkan Vano dari ibu kandungnya. Bukan karena aku ingin kembali pada masa lalu aku," jelas Arka dengan nada suara halus.
"Aku nggak meminta kamu menjauhkan Vano dari Giska. Aku hanya minta kamu bisa membatasi diri dan bisa membedakan masa lalu dengan keluarga kamu yang sekarang. Kalau memang Giska ingin mengajak Vano pergi menghabiskan waktu bersama, silahkan. Aku juga nggak pernah melarang. Walaupun dia sedikit nggak tau diri karena terus mengajak kalian pergi dan nggak memberi aku kesempatan untuk menghabiskan waktu libur bersama kamu dan Vano, tapi it's okay. Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu. Lagipula siapa aku sampai berani ingin memisahkan kalian? Aku juga sadar diri kalau aku ini nggak penting. Tapi aku minta pengertian kamu. Tolong sedikit hargai posisi aku sebagai istri kamu."
"Jangan karena kamu mencintai Giska, kamu jadi seenaknya sendiri dengan aku. Mungkin dulu aku masih bisa menerima dan memahami sikap kamu dan Vano. Tapi jujur saja, sekarang aku sudah menyerah. Aku benar-benar nggak peduli kalau kamu memang belum bisa melupakan Giska, atau Vano yang nggak bisa menerima aku. Terserah kalian, i'm done," pungkas Yura dengan tatapan lurus ke depan.
Arka terdiam kaku dengan raut wajah yang sulit diartikan. Ada rasa ketakutan yang tiba-tiba bergelenyar di sudut hati pria itu ketika mendengar ucapan Yura yang seperti memiliki arti tersembunyi di balik perkataannya.
TBC.