Chapter 4

1003 Kata
Selamat membaca Di sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada pembicaraan sama sekali di antara Arka dan Yura sampai akhirnya mereka berdua telah tiba di rumah pada siang hari. "Ano tidur ditemenin Mbak Sita, ya? Papa mau bicara sebentar sama Bunda," tutur Arka lembut ketika menyadari putranya mengantuk. Vano pun mengangguk dan pergi ke kamar bersama dengan Sita. Sedangkan Arka dan Yura berbicara empat mata di dalam kamar agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka berdua. Tak lupa Arka juga mengunci pintu dari dalam untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam ketika dirinya dan Yura masih belum selesai berbicara. "Bisa kamu jelaskan?" tukas Arka dingin. "Tentang apa?" tanya Yura balik dengan nada suara datar. "Aku rasa kamu sudah mengerti maksud aku. Jadi jangan bertele-tele, dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi," pungkas Arka tegas. "Aku nggak merasa melakukan kesalahan, jadi apa yang perlu aku jelaskan?" balas Yura santai. Arka menatap lurus kedua bola mata Yura. Wanita itu terlihat sangat tenang, dan tidak merasa terintimidasi sama sekali meski kini Arka menjadi lebih tegas dari biasanya. "Kamu sengaja melakukan semua ini, kan?" tukas Arka. "Melakukan apa?" tanya Yura ringan. "Jangan pura-pura bodoh!" maki Arka dengan nada suara tinggi. "Aku sudah cukup sabar menghadapi sikap kamu yang akhir-akhir ini berubah menjadi seenaknya sendiri. Aku mencoba mengerti dan memahami kamu yang mungkin jenuh dengan kegiatan rumah. Karena itu, aku sama sekali nggak pernah protes saat kamu tiba-tiba berhenti mengurus semua keperluan aku dan Vano. Aku nggak pernah komplain, atau pun maksa kamu untuk kembali masak dan menyiapkan semuanya. Tapi aku juga punya batas kesabaran. Aku nggak bisa terus mentoleransi sikap kamu yang setiap hari semakin keterlaluan." Yura hanya diam tanpa ekspresi mendengarkan ucapan Arka. "Ditambah lagi sekarang kamu sudah mulai berani pergi tanpa ijin dari aku. Bahkan kamu juga nggak bilang kalau mau menginap di rumah orang tua kamu." "Apa aku juga harus minta ijin untuk bertemu dengan orang tua aku sendiri?" tukas Yura dengan nada suara yang sulit dijelaskan. "Seenggaknya aku tau kemana kamu pergi kalau tiba-tiba kamu nggak bisa dihubungi. Jadi aku bisa bilang ke Vano biar dia nggak khawatir. Anak itu sampai nangis nunggu kamu yang nggak pulang-pulang ke rumah, karena pergi tanpa kabar. Ditambah lagi nomor kamu juga nggak aktif." "Baterai aku habis," pungkas Yura singkat. Arka sudah berniat membuka mulut, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Dia merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel. Lalu melirik sekilas nama seseorang yang tertera di layar sebelum akhirnya mematikan ponsel, dan kembali memasukkan ke dalam kantong celana. "Kenapa dimatiin hpnya? Kenapa nggak diangkat aja? Biasanya kamu langsung angkat kalau mantan istri kamu telfon," desis Yura sinis. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu masih belum menjelaskan alasan kenapa sekarang kamu berubah," tukas Arka tegas. "Kenapa harus nunggu aku bilang dulu? Kenapa kamu nggak mencoba intropeksi diri salah kamu di mana sampai aku bisa bersikap seperti ini?" "Ah, aku lupa. Kamu kan nggak pernah salah, jadi sudah pasti ini adalah kesalahan aku. Dan akulah pihak yang memang seharusnya disalahkan." "Dan ngomong-ngomong masalah Vano. Bukannya Vano yang nggak pernah mau sama aku? Bukannya dia yang selama ini selalu menolak kehadiran aku dan nggak mau dekat-dekat sama aku? Dia kan nggak pernah suka, dan nggak pernah berharap aku menjadi ibunya. Jadi untuk apa? Untuk apa aku terus mendekati seseorang yang jelas nggak bisa menerima kehadiran aku?" "Aku juga sudah berusaha, dan melakukan yang terbaik yang aku bisa untuk kamu dan Vano. Tapi apa? Apa yang aku dapat setelah semua perjuangan aku? Nggak ada! Kamu justru masih belum bisa melupakan Giska di dalam hidup kamu, dan nggak bisa membuka hati kamu untuk wanita lain." "Kalau memang dari awal kamu nggak berniat menikahi aku, seharusnya kamu nggak perlu menyetujui perjodohan s****n itu! Jadi aku nggak perlu hidup dengan penuh tekanan seperti ini, karena harus menikah dengan laki-laki yang bahkan masih mencintai mantan istrinya. Kamu nggak tau kan bagaimana tersiksanya aku selama ini karena harus hidup bersama kamu?" "Seharusnya saat itu aku menikah dengan laki-laki lain, jadi aku nggak perlu menderita luka batin seperti ini karena punya suami yang masih dibayangi masa lalu," desis Yura sarkas. Arka tertegun seperti ada sesuatu yang menusuk tepat di jantungnya. Tok Tok Tok Arka menatap ke arah Yura sejenak sebelum akhirnya berbalik untuk membuka pintu. "Maaf mengganggu, Pak. Itu ada bu Giska di bawah," ungkap Tatik. "Suruh tunggu dulu saja, Bi. Nanti saya turun ke bawah," ujar Arka. "Temuin saja sekarang. Toh, kita juga sudah selesai bicara," cetus Yura ketus. Arka menoleh ke arah Yura dengan raut wajah yang sulit diartikan sebelum akhirnya keluar dari kamar, dan turun ke bawah untuk menemui Giska. Giska langsung beranjak dari sofa dan menghampiri Arka yang tengah menuruni tangga. "Kamu kenapa? Wajah kamu kelihatan capek?" tanya Giska cemas sembari menyentuh wajah Arka. Namun Arka dengan cepat menahan tangan Giska yang hampir menyentuh wajahnya. "Kamu ngapain datang ke sini?" tukas Arka datar sembari melepaskan tangan Giska. "Tadi aku telfon kamu kenapa nggak diangkat?" tanya Giska balik. "Aku tanya bukan untuk ditanya balik," pungkas Arka dingin. Giska mengernyitkan dahi ketika mendengar nada suara, dan tatapan Arka yang berubah dingin terhadapnya. Padahal biasanya Arka akan berbicara dengan nada suara halus dan menatapnya hangat. Tapi kenapa sekarang sikap pria itu tiba-tiba berubah? "Ah, ini kan hari Minggu, jadi aku mau ngajak Vano jalan-jalan," ungkap Giska pelan. "Vano lagi tidur, dia capek habis pulang dari rumah akungnya. Jadi Minggu ini nggak pergi kemana-mana dulu. Kalau kamu mau pergi sama teman-teman kamu, silahkan," sahut Arka datar. "Kalau gitu aku akan tunggu sampai Vano bangun. Atau enggak kita bisa pergi malam sekalian makan bersama," tutur Giska. "Nggak perlu, karena hari ini aku juga capek dan nggak mood pergi. Jadi mendingan sekarang kamu pulang saja," ujar Arka lugas. "Tunggu, Mas." Giska menahan tangan Arka yang sudah bersiap pergi ke lantai atas. "Kamu kenapa? Lagi ada masalah? Nggak biasanya kamu begini," tanya Giska heran. "Tolong ya, Gis. Aku mau istirahat dan lagi nggak mau diganggu," pungkas Arka tanpa ekspresi sembari melepaskan tangan Giska. Lalu kembali ke kamar dan pergi meninggalkan wanita itu yang kini tengah menggerutu dalam hati karena diabaikan oleh Arka. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN